Dini Hari Bersama Bapak

511 54 14
                                    

Renjun termenung menatap layar cembung televisi miliknya sambil sesekali menyeka lendir di hidungnya dengan gumpalan tisu -yang ternyata sudah menggunung di sofa tempat ia memakukan mata suntuknya pada sinetron roman picisan tayang ulang ketika jam menunjukkan pukul 11 malam.

Ia boleh sedang tidak melakukan apapun, namun otaknya terasa penuh dengan semua peliknya masalah antara ia, ibunya, ayahnya, jeno, bahkan laki laki yang kemarin sore masih sempat memberikan senyuman teduhnya, eunwoo.

Atau mungkin haechan? Karib jeno yang selalu menjadi pion terdepan bagi lelakinya itu bisa saja kepalang sakit hati dengan perbuatannya. Mengabaikan jeno di sekolah, menyangkal hubungan spesialnya dengan lelaki itu di depan khalayak ramai hingga lelaki pucat itu menjadi bulan bulanan anak sekolahnya.

Belum lagi perselingkuhannya dengan eunwoo sudah pasti membuat teman jeno itu naik pitam.

Iya benar perselingkuhan, sudah pasti haechan berpikir demikian.

Belum lagi sahabatnya yang seharusnya menjadi orang terdepan menunjukkan dukungannya pada hubungan dirinya dengan jeno, justru beralih menikamnya dari belakang. Kalau boleh ia menghitung, waktu yang diberikan jeno kepada felix sudah pasti lebih banyak dibandingkan dengan dirinya.

Sebut saja senda gurau nan akrab hingga mengeringkan gigi bersama ibunya yang dinamakan "lumayan" oleh jeno itu ternyata hampir setiap hari dilakukan felix sampai bermalam pula. Apa jaminannya kalau jeno tak menaruh hati pada felix?

Apa jaminannya jika jeno tak berpaling darinya?

Merangkum semua masalah yang ada di otaknya barusan membuat renjun mendengus sarkas. Jeno selalu mengatakan bahwa jika tuhan tak berpihak pada mereka maka ia akan melawan takdir tuhan.

Sial tapi benar, tak baik menantang tuhan. Buktinya belum apa apa ia sudah merasa putus asa.

"Belum tidur nak?"

"Belum pak, bapak belum tidur?"

"Belum. Abis ngelonin ibumu tadi hehe"

"Bapak kenapa betah banget sih sama ibu"

"Hah? Kenapa kamu ngomong gitu?"

"Ya bapak aja kemarin abis ditolol tololin sama ibu. Kok masih bisa baikin ibu"

"Ya yang namanya emosi sesaat nak. Ga bapak ambil pusing yang gituan"

Renjun menghempaskan kepalanya pada sandaran sofa itu, memikirkan betapa lemahnya sang ayah sebagai kepala keluarga yang bahkan seperti tak ada harga diri di depan istrinya. Entah rapalan sihir apa yang diberikan ibunya kepada sang ayah, namun ayahnya terlalu berlapang dada pada ibunya yang terkadang sering bertindak semena mena.

Termasuk perjodohan sialan yang disepakati sepihak oleh ibunya dan hanya direspon oleh anggukan oleh sang ayah tanpa memberikan protesan apapun.

"Bapak juga sama aja sebenernya sama ibu. Kenapa bapak terima terima aja aku dijodohin padahal bapak aja sebenernya ga setuju?"

Mata tajam renjun terlihat gentar begitu ia melihat seulas senyum tulus dari ayahnya ini. Ia bisa melihat wajah yang sudah dihuni keriput halus itu memandangnya penuh rasa sayang. Sebenarnya ia merasa sangat amat beruntung memiliki sosok ayah seperti ayahnya ini, namun ia juga tidak suka dengan kerapuhan yang bisa ia rasakan ada di dalam diri orangtuanya ini.

"Karena bapak percaya ibumu pasti kasih yang terbaik buat kamu, anaknya"

"Emang iya?"

"Nak. Nyawa ibumu aja dikasih buat ngidupin kamu apalagi yang lain"

"Iyakan orang ngelahirin pasti begitu, bertaruh nyawa"

"Nak. Ini bukan sekedar ngelahirin kamu, tapi ibumu beneran utang nyawa sama neneknya ibumu waktu ngelahirin kamu. Sebenernya bisa aja kamu itu ga selamat karena ibumu juga ga selamat"

MIGNONETTE (KEMBANG DESA) || NOREN [END]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें