Pengakuan

797 108 25
                                    

Hari itu jeno sengaja mengajak renjun ke suatu tempat yang ia janjikan tempo hari. Renjun yang selalu merengek menagih janjinya itu membuat ia sedikit jengah, pasalnya berulang kali ia menjelaskan kepada kurcaci itu bahwa ia tak bisa sewaktu waktu menyeret bocah itu ke lokasi festival perlombaan balap burung.

Salahkan mulutnya waktu itu yang terlalu licin berbicara tentang betapa serunya ketika burung burung berbulu bagus itu dilepas dan diadu kecepatan terbangnya. Hal itu jelas memancing renjun untuk tertarik dan bersemangat terlihat dari binaran matanya yang cerah dan senyumnya yang merekah.

"jenooo, mana? Kok yang dateng baru dikit?"

Jeno dan renjun kini sudah berada di lokasi perlombaan. Keduanya datang dengan berjalan kaki sebab lokasinya memang terletak tak jauh dari rumah renjun.

"ya kamu udah dibilang lombanya sore, siang gini burungnya lagi pada tidur"

"emang iya?"

Renjun menolehkan pandangannya pada jeno dengan raut wajah penasaran. Jeno hanya terkekeh ringan sebab bocah itu terlalu polos hingga membuat dirinya gemas bukan kepalang.

"ya ngga lah ren. Biasanya lomba lomba gini tuh tergantung angin, apalagi kalo sampe hujan. Bisa batal"

"yahh, plis khusus hari ini jangan ujan plisss"

Lagi lagi jeno harus tersenyum hingga membuat matanya membentuk lengkungan sabit, renjun seperti tak henti hentinya membuat ia gemas hari ini. Bocah itu tengah bersungut sungut dan nampak khawatir sambil menatap kondisi langit di sekelilingnya. Maklum, bocah itu kepalang bersemangat menjemput hari ini, maka yang bisa ia lakukan adalah memanjatkan doa kepada Tuhan untuk mengabulkan keinginan kurcaci manis satu ini.

"ngga kok, doain aja ga hujan ren"

Dan selang kurang lebih satu jam, ketika matahari nampak condong ke arah barat, lokasi perlombaan sudah dipadati oleh orang orang yang hendak mengadu kecepatan peliharaannya masing masing. Samar di telinga jeno ia mendengar suara renjun yang berdecak kagum atas burung burung yang tak sedikit memiliki corak yang bagus.

Mulutnya tak berhenti terbuka menyuarakan kekagumannya kepada burung burung yang kini sudah siap untuk dilepas ke udara, tengah berjejer rapi di tangan pemiliknya yang direntangkan tinggi tinggi.

"nah, kalo ngelewatin bambu itu diitung sah. Kalo burungnya lewat di bawah bambu itu berarti ga keitung"

Renjun hanya mengangguk angguk mendengar penjelasan jeno. Sedangkan netranya tetap terpaku pada burung yang sudah terbang secara serempak setidaknya ketika bunyi peluit tertangkap di rungunya.

"woahh, yang itu cepet banget larinya jen"

"terbang renjun. Burung mana ada yang lari"

Saking semangatnya renjun kali itu, ia sampai sempat melupakan kosakata yang tepat untuk menggambarkan burung burung yang tengah membentangkan sayapnya di udara.

Lewat cahaya matahari yang sedikit keemasan itu ia yang berdiri di belakang renjun mendapati rambut halus renjun yang melambai malu malu akibat terpaan angin di sore itu. Dan tak lama ia memberikan senyum tulusnya kepada renjun ketika remaja itu menolehkan paras cantiknya ke arah jeno.

Wajah rupawan itu terlihat sangat indah dengan terpaan cahaya sore mentari yang membuat wajahnya nampak bersinar, pendar keemasan itu memperjelas pahatan indah milik Tuhan yang pernah ia ketahui. Rasanya ingin sekali ia memandangi wajah cantik itu dalam waktu yang lama, menyimpannya lalu memilikinya seorang diri.

Iya, ia ingin renjun menjadi miliknya.

Namun, apa yang bisa ia lakukan? Ia adalah orang yang penuh perhitungan, tak mudah bagi dia untuk mengutarakan perasaannya secara gamblang kepada renjun. Masa depan tidak ada yang tahu, seandainya pun renjun mau menerima pengakuan cintanya, ia tak yakin hubungan itu akan bertahan lama. Keduanya masihlah remaja labil yang memiliki sifat yang bertolak belakang, ia berpikir jika ia memadu kasih terlalu dini itu tidak akan bertahan lama dan mengorbankan tali pertemanan mereka yang akan merenggang untuk selamanya.

MIGNONETTE (KEMBANG DESA) || NOREN [END]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora