Perjodohan

659 66 6
                                    

"kenapa juyeon ga pernah kesini lagi?"

"Ga ngerti bu kenapa"

"Kamu apain dia?"

"Aku ga apa apain bu. Emang kenapa sih?"



Winwin menghela nafasnya begitu sang anak tengah mengikir kukunya santai sembari menjawabi pertanyaannya. Nampaknya anak sematawayangnya itu tak begitu ambil pusing dengan absennya "tamu" yang akhir akhir ini datang untuk menjumpai anaknya. Dari gelagat anaknya ini sepertinya ia tau alasan anak kenalannya itu tak mau bertandang ke rumahnya lagi.

"Renjun berenti main main"

"Apa bu? Emang aku salah apa? Apa dia ada ngomong macem macem tentang aku ke ibu? Ngga kan? Aku juga ga tau"




































"Ren... Kamu... yakin makan jengkol sebanyak itu?"

"Iya.. emang biasanya kalo aku makan rendang jengkol buatan ibu aku sepiring penuh gini"

Renjun merapihkan blus kuning muda yang ia kenakan terlebih dahulu sebelum menyantap hidangan yang disajikan oleh ibunya dihadapannya. Dengan duduk tegap dan senyum kecil di bibirnya yang tak lepas dari wajah itu ia terus menyendokkan salah satu hidangan berbau tak sedap itu ke piringnya, membuat laki laki di seberang meja itu nampak mengernyitkan dahi, yang tentu saja membuat renjun semakin melebarkan senyum anggunnya.

Karena bagaimana tidak, lelaki di depannya ini membuatnya tak nyaman di beberapa kali pertemuan mereka. Ia tak tahu apakah lelaki beruang selalu begitu tetapi cara lelaki di depannya ini meninggikan dirinya, memamerkan hartanya, ataupun memamerkan pekerjaan orangtuanya membuat dirinya muak. Tahukah lelaki yang tengah mengibas kibaskan tangannya di depan hidungnya ini, bahwa secara tidak langsung ia tengah mengatakan bahwa dirinya bukan siapa siapa. Karena nyatanya ia tak bisa mendeskripsikan keunggulan dirinya kecuali harta dan kedudukan orangtuanya.

Tipe pecundang, ia tak menyukai itu.

Awalnya ia hanya tak mau kenalan ibunya ini memiliki kesan buruk terhadap dirinya. Karena mau bagaimanapun, ia adalah representasi kedua orang tuanya. Ia adalah hasil dari didikan orang tuanya, oleh karena itu ia ingin memberikan semua tingkah baik yang telah kedua orangtuanya ajarkan kepada dirinya.

Namun sepertinya ia tak mau memegang prinsip itu lagi di depan lelaki bermulut besar ini. Dan benar saja, di pertemuan yang mereka bicarakan selanjutnya lelaki itu tak lagi menampakkan batang hidungnya.


Yang berarti, misinya berhasil.



Namun lelaki lain nampak kembali datang ke hadapannya. Menjadwalkan pertemuan pertama mereka lewat ibunya, lalu datang dengan pakaian necis, rambut rapih, dan wewangian semerbak di tubuhnya bersama orangtuanya. Perbincangan pertama mereka selalu meliputi kehidupan mereka, apa yang sedang ia lakukan sekarang, ataupun hobinya dengan mata tajam orangtua -ibu dari lawan bicaranya yang terus terusan menelisik dirinya.

Ia tak tau sebanyak apa kenalan ibunya yang nampak tak begitu suka bersosialisasi itu tetapi entah mengapa ia menemukan sebuah kesamaan di setiap pertemuannya dengan lelaki lelaki yang ia akui memiliki paras di atas rata rata itu. Pertemuan yang dijadwalkan, tata krama yang ibunya peringatkan kepada dirinya, ataupun baju baju berbau toko yang baru ibunya belikan kepada dirinya itu membuat ia mengernyitkan dahi, bahkan alisnya hampir menyatu begitu sang ibu dengan girangnya berbicara dengan seseorang di seberang telepon, melihat dirinya terlebih dahulu sebelum mengatakan bahwa ibunya dapat menyanggupi permintaan sang "kenalan" di seberang sana.

Kakinya yang berada di atas meja dapur yang juga dihuni ibunya yang tengah melakukan sesuatu di wastafel itu membuatnya duduk dengan baik. Ia tak mau jika kecurigaannya selama ini dibenarkan oleh ibunya, yang jujur saja dapat membuat dirinya murka kepada ibunya.

"Ibu..."

Renjun masih memakukan matanya pada punggung sang ibu yang tengah mengerjakan sesuatu di sana, ia menatap punggung itu seakan meminta sang ibu untuk segera menyudahi pekerjaannya dan berbicara empat mata dengan dirinya.

"Kenapa?"

"Ibu lagi ga berusaha jodoh jodohin aku kan?"

Dan bunyi berisik dari keran air yang dihidupkan itu berhenti seketika. Namun punggung itu tak kunjung juga berbalik, membuat renjun tak sabar untuk melihat raut wajah sang ibu.

"Ibu sudah ngomong sama kamu... Jangan buat semua ini jadi susah renjun"

"Maksud ibu?"

Dan begitu tubuh ibunya berbalik, renjun dapat melihat mata sang ibu yang menatap dingin dirinya. Bibirnya terkatup rapat dengan wajah yang terlihat begitu serius hingga membuat ia kehilangan kata katanya di perkataan sang ibu selanjutnya.

"Kamu pacaran sama jeno kan?"

"...."

"Renjun"

"Ngga, aku ga pacaran sama dia. Kita cuma temenan"


Pada kenyataannya memang seperti itu bukan? Ia dan jeno tak memiliki hubungan yang serius dari sekedar berteman. Entah mengapa status mereka saat ini membuat ia lega karena merasa tak perlu memutar otak untuk berbohong kepada ibunya.


"Ibu udah ngomong sama kamu, jangan pernah berhubungan sama anaknya johnny"

"Aku ga ada apa apa sama dia bu, kita cuma temen"

Tanpa sadar renjun menaikkan suaranya, menatap telak sang ibu yang seperti tengah menahan emosinya lewat matanya yang sedikit berair itu. Ibunya yang masih terlihat cantik di umurnya yang tak lagi muda itu nampak memalingkan sebentar wajahnya, menghela nafasnya sebelum kembali menatap dirinya tepat di matanya.

"Ibu tau kamu. Ibu yang ngelahirin kamu. Kalo kamu ga berulah kaya gini ibu ga akan coba jodoh jodohin kamu"

"Terus ke-"

"Ibu tau senakal nakalnya kamu, kamu ga pernah sampe ngebantah omongan ibu, pulang malem, ataupun sampe bolos sekolah. Tapi semenjak kamu berhubungan sama dia kamu jadi berubah"



Renjun kehilangan kata katanya ketika sang ibu menyimpulkan bahwa semua pelanggaran yang ia lakukan selama ini berkat hasutan dari jeno, yang sama sekali tidak benar. Semua tindakan tak tau aturannya yang ia lakukan selama ini murni karena kenakalan dirinya, bahkan justru lelaki itu yang selalu mencegahnya atau memberitahukannya bahwa yang ia lakukan itu dapat memicu amarah orangtuanya.

"Ngga bu... Itu... Itu karena aku sendiri yang gitu, ga ada hubungannya sama jeno"

Renjun berdiri dari duduknya untuk meyakinkan sang ibu bahwa itu sama sekali bukan kesalahan jeno. Bahwa dirinya yang pembangkang itu bukan akibat dari pengaruh siapapun. Ia secara sadar melakukan semua perbuatan itu atas dasar kemauannya sendiri, tanpa hasutan ataupun paksaan dari siapapun.

"Inget nak. Darah itu lebih kental daripada air. Darah ga mungkin bohong, liat bapaknya giman-"

"Ibu apaan sih! Jeno tuh ga kaya gitu! Justru dia yang selalu ngelarang aku pulang malem, bolos sekolah ataupun yang lainnya!"

Setelah suara tinggi renjun yang mengisi ruang dapur rumah itu, hening melanda sesudahnya sebab ibu remaja cantik ini tak membuka mulutnya kembali dan langsung membalikkan badan untuk menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda. Membuat renjun mengernyitkan dahi samar namun jantungnya berdegup ketika suara ibunya memecah keheningan.


"Bahkan kamu ga pernah ngebentak ibu kaya gitu, apalagi cuma karena orang lain"













Bukan jaemin ya ges ya

MIGNONETTE (KEMBANG DESA) || NOREN [END]Where stories live. Discover now