17.4 ; The Wedding Debt

1.9K 213 4
                                    

Tulip merasa begitu lelah, tapi dia tidak bisa berhenti. Sepertinya banyak hal mendadak menjadi pekerjaan rumah baginya. Mengurus Hippo memang urusannya, tapi kondisi mertuanya juga adalah hal yang harus Tulip perhatikan. Lalu, ada pertanyaan yang bersarang di kepala Tulip. Bagaimana kejadian yang sebenarnya hingga kecelakaan itu bisa terjadi? Tulip sendiri memikirkan ini karena banyaknya kunjungan dokter dan para asistennya yang datang bergantian dan bertanya mengenai bagaimana kecelakaan bisa terjadi. Padahal Tulip juga tidak tahu kronologinya. Mungkin memang dokter dan yang lainnya membutuhkan informasi untuk mengobservasi kondisi Hippo.

Dalam waktu dua hari, Tulip tidak bisa tidur dengan benar karena berada di rumah sakit memang tidak menyenangkan sama sekali. Hippo memang sudah dipindahkan ke ruang perawatan dan Tulip sudah meminta ranjang tambahan. Namun, melihat Hippo yang tidak bergerak dan tak bisa apa-apa menambah beban pikiran Tulip. 

Kemarin Tulip sudah mendapatkan kabar bahwa mertuanya sudah sadar dan ingin segera melihat kondisi Hippo. Sayangnya pihak rumah sakit tidak mengizinkan karena kondisi tubuh Agungsyah yang belum pulih sepenuhnya. Tulip tentu saja berjanji pada Lentera akan menjenguk Agungsyah ketika kondisi Hippo ada kemajuan. 

"Mama."

Pintu ruangan Hippo terbuka dan Nania tampak membawa sesuatu. Anak itu agak kesulitan membawa paper bag yang entah berisi apa ke arah mamanya.

"Nih! Nia bawain bekal. Mbak Ane yang buat, Ma."

Anak itu tampaknya sudah lebih hidup setelah banyaknya kejadian yang diketahuinya dalam waktu singkat. Nania menjelma menjadi selayaknya orang dewasa dalam menghadapi situasi orangtuanya. Padahal, Ane sudah memberitahu Tulip bahwa Nania sempat marah pada Hippo dan membentak papanya itu agar membiarkan Nania bersama Tulip saja. Kemarahan Nania tampaknya tidak bertahan lama, apalagi mengetahui kondisi papanya.

"Makasih anak mama yang cantik, baik, dan pintar."

Nania tersenyum manis dan memijak tangga kecil yang ada di bawah ranjang papanya. Setiap datang, Nania akan menatap papanya beberapa waktu tanpa mau diganggu. Anak itu berdiri di tangga kecil dan hanya diam menatap Hippo. Tulip tidak berani untuk mengganggu putrinya karena pasti Nania memiliki maksud melakukan hal demikian.

"Ma," panggil Nania.

"Ya?" sahut Tulip yang berusaha membuka kotak makanan yang Ane persiapkan. Pengasuh anaknya itu biasa menunggu diluar atau di kantin rumah sakit karena tak mau mengganggu waktu yang Tulip dan Nania punya. "Kenapa, Nia?"

"Papa kapan bangun?"

Akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulut Nania. Sejak awal Nania sepertinya sudah menahan untuk tidak mengeluarkan pertanyaan itu. 

"Mama juga belum tahu. Doakan supaya papa bisa segera bangun, ya, Nia."

"Aku selalu doa supaya papa cepet bangun, tapi aku takut kalo doaku nggak dikabulin, Ma."

"Kok, gitu?" Tulip benar-benar tidak tahu kenapa putrinya berkata demikian.

"Iya. Soalnya aku udah marah-marah sama papa sebelum papa celakaan. Aku jahat sama papa, Ma. Makanya papa sekarang begini."

Tulip langsung beranjak mendekati sang putri, menariknya ke dalam pelukan. Tulip tak mau Nania melihat airmata sang mama turun, jadi Tulip memeluk anaknya erat. 

"Nia nggak jahat, Sayang. Ini udah takdir Tuhan. Nia anak baik."

Rasanya sangat sakit melihat dan mendengar sendiri kalimat Nania yang sangat dewasa itu. Demi apa pun, Nania masih enam tahun!

"Kalo papa nggak bangun---"

"Sssttt. Papa pasti bangun. Papa tahu Nia sayang sama papa. Kita cuma harus tunggu kapan papa bangunnya, Nia. Bersabar, ya?"

Nania mengangguk dalam pelukan mamanya. Meski begitu, baik Nania dan Tulip, keduanya sama-sama menangis diam-diam dengan alasan yang jika dikaitkan solusinya hanya satu; Hippo membuka matanya. 

Bangun, Mas! Anak kita akan menyalahkan dirinya sendiri kalo kamu nggak bangun.

The Wedding Debt / TAMATWhere stories live. Discover now