5.2 ; The Wedding Debt

7.9K 1.1K 37
                                    

Ciuman mereka tak berhenti meskipun jam semakin bergulir dan memberitahu mereka untuk menyudahi sesi intim tersebut. Hippo tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri untuk bermain dalam waktu—yang dikatakannya—singkat dengan Tulip.

"Kita bisa telat, Mas." Tulip berusaha untuk menghentikan niatan pria itu, tapi tak bisa karena yang dilakukan Tulip sekarang juga pasrah berada di bawah tubuh Hippo.

Sofa yang dibelikan oleh Agungsyah tampaknya akan kotor dengan cairan cinta keduanya. Peduli amat, orang itu sendiri yang mau anaknya bikin aku hamil. Tulip mengungkapkannya di kepala agar tak keberatan dengan semua kegiatan ini.

"Umhh," erang Tulip seraya menjilat bibirnya yang menggunakan lipstick waterproof. Meski begitu, dia harus tetap merapikannya nanti.

"Saya butuh ini, Tulip. Saya janji nggak akan lama. Asal kamu nggak keberatan kalo tanpa foreplay."

Tulip mencengkeram lengan pria itu agak kuat dan bicara, "Kamu aja yang butuh? Saya juga tetap mau keseimbangan di'pertemanan' ini, Mas. Kalo ini hanya tentang kamu, aku nggak akan lanjut."

Hippo tertampar dengan ucapan Tulip. Dia terlalu memikirkan diri sendiri hingga tidak membaginya dengan perempuan itu yang pastinya memiliki suara untuk diberi keadilan. Ya, bukan hanya Hippo yang ada di dalam hubungan ini.

"Maaf. Saya salah. Maaf, Tulip." Hippo berusaha menjauhkan diri dan menjauhkan matanya dari pemandangan indah—Tulip—di depannya.

"Saya bilang bukan hanya kamu yang butuh, Mas Pome. Saya juga."

Hippo mengangguki dan mengangkat kedua tangannya lambang menyerah. "Iya, saya tahu. Maaf menuntut kamu seperti fuck buddy. Saya nggak bermaksud begitu, hanya saja kepala saya terlalu penuh—"

Hippo tidak memiliki waktu untuk mengatakan apa pun lagi karena Tulip yang lebih dulu menggunakan kesempatan untuk menyerang pria itu.

"Saya bilang saya juga butuh. Maka jangan menghindar, Mas. Take me to the cloud nine."

Sepertinya bukan Hippo saja yang gila dengan situasi mereka.

*

Tulip berjalan lebih dulu menuju kantor setelah memaksa turun di gedung agak jauh dari tempat dirinya bekerja. Hippo, pria itu memaksa mengantarnya dan sempat memaksa tidak menurunkan Tulip di tempat yang masih jauh dari kantor jaraknya. Ada perdebatan yang terjadi diantara mereka. Tidak ada hal terbaik yang bisa dilakukan jika sudah menyangkut perasaan.

Apalagi saat Tulip mendapati kekasih Hippo sedang duduk di kursi tunggu di depan ruangan pria itu. Apa ini saatnya menghadapi?

Tulip memasang senyuman profesionalnya. Tak mau mengacaukan pekerjaan karena belum tentu Tulip langsung mengandung bayi Hippo dalam semalam. Tapi tadi pagi ...

"Tulipa saya mau—" Hippo datang dengan tatapan terkejut. Semula pria itu yang akan mengatakan hal lain terpaksa menggantinya dan menurunkan suaranya karena melihat keberadaan Zia. "Tolong buatkan saya kopi. Saya mau kopi itu ada di meja saya segera."

Tulip mengangguk patuh. "Baik, Pak." Lalu tatapannya beralih pada Zia. "Ibu mau dibuatkan minum apa?"

Zia tersenyum tipis dan menjawab, "Saya nggak suka minuman manis dan berkafein."

Tulip yang tidak mengerti berpikir sangat keras. Teh juga ada sedikit kafein. Jadi minumnya apa? Memikirkan hal itu, Hippo mengambil alih untuk memberikan jawaban pasti. "Air mineral saja, Tulipa."

Semudah itu. Kenapa Zia rumit sekali mengatakan tidak suka minuman manis dan berkafein? Untuk melihat seberapa cerdasnya Tulip-kah?

"Baik, Pak. Saya akan segera antarkan ke ruangan Anda. Permisi."

Tulip tidak tahu apa yang dirasakannya kini. Dalam semalam kekacauan di hatinya mempengaruhi segalanya.

[Mereka ini gemesin banget, kan, ya😌 aku sampe kezel karena Tulip gak peka dan Hippo diem-diem baeeeee.]

The Wedding Debt / TAMATWhere stories live. Discover now