3.5 ; The Wedding Debt

8.6K 1.2K 82
                                    

Tulip mengamati atasannya yang masih saja menyerocos sana sini dan sekarang sudah terlihat frustrasi dengan topik pembahasan kekasih pria itu, Zia.

"Kamu sebagai perempuan keberatan nggak kalo punya anak?" tanya Hippo membuat Tulip mau tak mau terjerumus dalam pembahasan ini.

"Saya punya salah satu cita-cita untuk nggak hidup sendiri, Mas Pome. Saya nggak berniat melajang seumur hidup."

Hippo mengangguki jawaban Tulip dan meneguk wine-nya kembali. Tulip masih menaruh minuman di dal gelas itu di pangkuan dan baru terjamah sedikit saja. Sedangkan Hippo sudah tiga kali menuangkannya ke dalam gelas dan selalu meneguk seusai bicara.

"Berarti kamu nggak keberatan kalo hamil dan punya anak? Kamu nggak keberatan mengasuh anak dan mendidiknya sama pasangan kamu?"

Tulip tahu bahwa kini Hippo sedang sangat frustrasi dengan kondisi hubungannya dan Zia. Pria itu pasti merasa gagal untuk mengerti kemauan kekasihnya.

"Sama sekali nggak masalah, Mas Pome. Saya yakin bisa menyayangi anak-anak saya kelak." Tulip mendapati rasa keingintahuan yang besar setelah menjawab pertanyaan Hippo. "Kalo, Mas Pome ... keberatan punya anak?"

Ada jeda sejenak yang terjadi karena Hippo menimang jawaban. Mungkin pria itu bingung ingin menjawab iya atau tidak.

"Sejujurnya saya pengen punya anak. Dipanggil papa sepulang kerja, dan lihat rumah ramai sama celotehan mereka. Tapi Zia nggak menginginkannya, jadi saya harus menghargainya."

"Jadi itu pilihan mbak Zia sendiri? Bukan pilihan bersama?" Hippo menggelengkan kepala.

"Semula saya nggak tahu kalo dia punya pemikiran bahwa melahirkan dan mendidik anak adalah dua hal berbeda dengan kategori kesulitan yang berbeda pula. Zia bilang kalo menghadirkan anak ke dunia adalah tugas yang berat. Kalo gagal jadi orangtua, maka anak yang dilahirkan juga gagal. Zia akan merasa sangat bersalah kalo nanti kami jadi orangtua yang gagal."

"Tapi memang nggak ada kesempurnaan di dunia ini, kan, Mas Pome? Manusia pasti melakukan kesalahan dan itu hal normal. Kita bukan manusia pilihan."

Hippo tidak membalasnya, hanya ada ekspresi bingung yang kini diterima oleh Tulip.

"Saya ... sepertinya pemikiran saya sudah tergerus dengan milik Zia. Saya menurutinya dan itu menjadi visi misi kami bersama."

Tulip tidak memiliki pemikiran yang sama seperti Zia. Hidupnya tidak akan selayaknya milik Zia. Tulip tidak bisa membayangkan hidup tanpa keluarga. Meskipun kedua orangtuanya kacau dan meninggalkannya dalam kondisi seperti ini, Tulip memiliki keyakinan untuk tetap membangun keluarga yang terdiri atas dirinya, suaminya kelak, dan anak-anak yang akan dilahirkannya.

"Saya minta maaf, tapi saya nggak bisa mengerti pemikiran mbak Zia."

"Ya. Kamu pasti akan mengatakan hal itu, Tulipa. Saya juga awalnya begitu. Santai saja, jangan meminta maaf seperti itu."

Tangan keduanya kompak untuk meneguk wine yang ada di gelas. Kepala keduanya terisi dengan pemikiran masing-masing.

"Kamu tahu friend with benefit, Tulip?"

Tulip langsung menegang—hampir tersedak—dengan pertanyaan yang Hippo ajukan.

"Maksudnya ...?"

"Kalo kamu nggak tahu, nggak apa-apa."

"Apa saya terlihat sepolos itu untuk nggak paham artian tersebut? Meskipun saya nggak punya pengalaman FWB itu, saya yakin saya nggak salah mengartikan—"

"Kamu mau melakukan pengalaman pertama dengan saya?" Sela Hippo yang mengejutkan Tulip.

Tulip tidak tahu apa yang sedang berjalan diantara mereka, tapi Hippo yang membuka jalan ini sendiri.

"Ini bukan ajakan yang akan Anda sesali, kan, Mas Pome?"

Hippo tertawa kecil. "Harusnya saya yang tanya ke kamu, kalo kamu menerimanya apakah kamu nggak menyesal nantinya?"

"Saya nggak menyesal untuk semua hal yang bisa membantu saya untuk lepas dari kondisi saya saat ini."

Dan ajakan itu sukses membentuk halaman baru bagi mereka berdua.

[Bab 4 bermuatan dewasa, ya. Nanti kalo ada yg gak mau baca bab mature bisa skip👻]

The Wedding Debt / TAMATWhere stories live. Discover now