6.2 ; The Wedding Debt

7.6K 1.1K 10
                                    

Ada baiknya jika hubungan mereka tetap tertata rapi sebagai atasan dan bawahan saja. Namun, percikan yang ada diantara mereka jelas tak bisa diabaikan begitu saja. Sungguh, tidak ada yang ingin Hippo dan Tulip lakukan untuk menghentikan ikatan apa pun yang menjarah hati mereka. Karena rasanya akan sangat menjengkelkan untuk saling berjauhan dan berjarak. 

Seperti yang terjadi selama dua hari ini. Tulip sibuk membaca situasi yang membuat Hippo tak mau untuk menatapnya berlama-lama. Pria itu juga hanya menempatkan diri sebagai 'Pak Hippo' bagi Tulip. Dua malam ini, sosok 'Mas Pome' mendadak hilang bak ditelan bumi. Kenapa jadi gini, sih? 

"Tulip!" seru Maga yang melihat perempuan itu berjalan menuju kantin untuk makan siang. 

Tulip memberikan senyuman ramah dan melihat pria itu mendekatinya dan tanpa sungkan menarik bahu Tulip hingga bertabrakan dengan dada Maga. Hal itu mengejutkan Tulip, meski kemarin langsung memeluk Maga, tapi rasanya sekarang aneh. Tulip seolah dilingkupi rasa bersalah kepada Hippo yang bahkan ketika dicari oleh matanya tidak berada di sekitarnya. Aku kenapa, sih? 

Mencari-cari sosok Hippo tidak ada di sana, tapi rasa tak nyaman melingkupinya ... disebut apa itu?

"Ehm, iya, Mas Maga. Kenapa panggil saya, ya?" tanya Tulip seraya melepaskan diri secara samar. 

"Kamu mau makan siang, kan?" Maga dengan begitu percaya diri langsung melanjutkan kalimat ajakannya. "Ayo, makan bareng!"

Tulip tidak tahu apakah akan tetap baik-baik saja dengan ajakan tersebut atau tidak, tapi yang jelas, dia memang lapar dan ingin mengisi perut tanpa pusing memikirkan sikap aneh Hippo. 

"Iya, boleh." Menolak ajakan Maga pasti akan membawa kecurigaan. Maga jelas tidak berhubungan baik dengan Hippo dengan interaksi mereka di ruangan Hippo terakhir kali yang saling melemparkan tatapan laser. 

"Duduk sini, Tulip." Maga bersikap begitu gentle pada Tulip dengan menarikkan kursi dan mempersilakan Tulip duduk di ujung.

"Makasih, Mas Maga."

"Ya. Sama-sama."

Mereka duduk dengan saling berdampingan. Maga menatap Tulip dengan lekat hingga membuat perempuan itu salah tingkah karena tak nyaman.

"Mas Maga kenapa lihatin saya begitu?" 

"Karena kamu jadi makin terlalu kalem sekarang."

Kedua alis Tulip terangkat dan segera bertanya. "Emangnya saya dulu kenapa, Mas? Perasaan saya gini-gini aja."

Maga menggelengkan kepala dengan dramatis dan menunda jawabannya karena sibuk memesan makanan dan minuman lebih dulu. "Kamu dulu nggak terlalu kalem seperti ini. Kamu agak cerewet dulu. Kamu nggak ingat? Kamu sering protes karena saya aneh."

"Saya ingat beberapa bagian, tapi nggak bisa detil. Efek dari musibah yang sempat menimpa saya jadi begini."

"Iya, saya tahu. Maaf karena nggak ada di sana untuk menyelamatkan kamu, Tulip."

Tulip tidak merasa bahwa itu adalah kesalahan yang harus disesali oleh Maga. Sebab kejadian yang menimpa Tulip memang musibah. "Kenapa minta maaf, Mas? Kan, memang itu musibah."

Maga menghela napasnya. "Kamu memang terlalu baik, Tulip."

Tulip tersenyum dan berkata, "Terima kasih pujiannya, loh, Mas Maga."

Maga tidak tahu hal apa saja yang dilalui oleh Tulip selama mereka berpisah setelah kejadian itu. Maga yakin, Hippo yang sekarang mendapatkan jabatan tinggi di perusahaan ayahnya pasti menyulitkan hidup Tulip. Terbukti bagaimana pria itu menyuruh-nyuruh Tulip yang bekerja sebagai sekretarisnya. Maga tidak terima dengan semua perilaku Hippo yang seenaknya. Pria itu sudah membuat kekacauan dalam hidup Tulip sejak dulu, sekarang jangan sampai Hippo melakukannya lagi. Aku akan jauhkan kamu dari Hippo itu, Tulip. 

Sayangnya, Maga tak pernah tahu bahwa Tulip sendiri tidak akan pergi dari Hippo meski Maga menawarkan perlindungan. 

[Oh, iya. Udah baca special chapter 3? Perlahan akan semakin jelas kisah masa lalu mereka, ya. Baca detil di Karyakarsa 'kataromchick', ya.]

The Wedding Debt / TAMATWhere stories live. Discover now