3.4 ; The Wedding Debt

7K 1.1K 20
                                    

Tulip tidak tahu kenapa dirinya berdiri di depan pintu apartment atasannya yang tampak aneh saat mengundangnya untuk datang ke sana untuk perayaan yang tidak masuk akal. Harusnya ada kecurigaan yang datang di pikiran Hippo saat mengetahui Tulip tinggal di unit yang bersebalahan dengan pria itu, kan? Akan lebih normal jika Hippo mengira bahwa Tulip menguntit pria itu ketimbang mengundangnya untuk merayakan kepindahan Tulip dari rumah ke apartemen.

Ragu merajai diri Tulip kembali. Apa yang akan dilakukannya jika Hippo mengundang seperti ini? Tidak akan ada orang yang mencela apa yang dilakukan oleh Tulip, kan? Namun, tidak ada yang akan tahu karena semua ini didalangi oleh Agungsyah.

Pada akhirnya Tulip menekan bel unit Hippo tinggal. Tak lama pria itu membuka dengan senyuman lebar.

"Masuk, Tulipa!" ajak Hippo.

Pria itu benar-benar tidak seperti apa yang diharapkan. Kenapa kamu bersikap begini, sih, Pak? Harusnya Hippo bersikap dingin saja selayaknya para pimpinan di perusahaan yang digambarkan cerita romansa; kejam, jahat, kaku, dan jauh dari karakter yang memiliki perasaan.

"Baik, Pak."

"Eits!" Hippo mencegah langkah Tulip dan membuat perempuan itu kebingungan.

"Ada apa, Pak?"

"Kalau di luar kantor kamu jangan panggil saya dengan sebutan 'Pak'."

"Terus saya harus panggil apa, Pak?"

Hippo mengendikkan bahu dan melebarkan daun pintunya. "Nama saja juga bagus."

Gumaman yang hadir dari bibir Hippo membuat Tulip kebingungan. Namun, dia yakin bahwa ini adalah langkah untuk bisa saling dekat bukan sebagai atasan dan bawahan, melainkan teman.

Tulip tidak bisa mengagumi dekorasi tempat tinggal Hippo dengan baik karena fokusnya terbagi. Dia gugup masuk ke dalam ruang pribadi pria itu. Memang bukan kamar, tapi seluruh ruangan di unit tersebut memang bagian dari privasi pria itu.

"Duduk saja, Tulipa. Saya sudah siapkan beberapa makanan di meja dan sisanya menunggu diantar."

Tulip mengangguk dengan canggung. Dia tidak bisa mengerti dengan sikap Hippo yang terlihat sangat santai membawa masuk perempuan. Jika itu adalah kekasih Hippo sendiri, maka tidak aneh untuk didapati.

Sepuluh menit berjalan, Tulip mendapati dirinya menggunakan panggilan 'Mas Pome' sebagai bukti kedekatan mereka yang mengalami kemajuan.

"Aneh nggak kalo saya panggil, Mas Pome?"

Hippo menggeleng. "Ayah saya kalo di rumah panggil saya dengan nama Pome. Ternyata kalian punya kesamaan."

Dinilai demikian, Tulip menegang tanpa Hippo ketahui. Dia memang berhubungan dengan Agungsyah untuk rencana yang tidak bisa dijelaskan pada semua orang, tapi mengenai kesamaan untuk memanggil Hippo ... itu bukan hal yang disengaja.

"Kamu pasti kesepian di rumah sampai memilih tinggal ke apartemen," ucap Hippo tiba-tiba. "Saya juga begitu. Saya nggak ngerasa nyaman ada di rumah, rasanya aneh. Melihat kamu pindah ke apartemen setelah kepergian orangtua kamu secara bersamaan, saya jadi berkaca dengan kondisi saya sendiri. Kita sama, Tulipa. Sama-sama sakit dan kesepian. Keadaan membuat kita terpaksa berada dalam kondisi seperti ini."

Tulip mendengarkan semua racau yang keluar dari bibir Hippo. Pria ini rupanya sangat rapuh.

"Kamu mau wine?" tanya Hippo.

"Boleh, Pa—Mas Pome."

Hippo mengangguk. "Kamu pasti tahu wine yang saya punya bukan yang murahan." Pria itu sengaja menggunakan lelucon yang sebenarnya terdengar kasar untuk menunjukkan strata pria itu.

"Iya, Mas Pome, saya tahu."

Wine datang dan setelahnya Hippo selalu memilih cairan itu ketimbang air putih atau minuman kaleng yang lain. Selama pembicaraan mereka, Tulip mendapatkan kesimpulan bahwa ini bukan acara perayaan atas kepindahan Tulip ke unit sebelah, melainkan acara untuk mendengarkan sakit hati dan kecewa yang Hippo alami.

Astaga, Pak. Gimana saya mau deketin kalo Bapak sibuk curhat begini?

The Wedding Debt / TAMATحيث تعيش القصص. اكتشف الآن