8.3 ; The Wedding Debt

6.6K 1.1K 23
                                    

Perempuan adalah makhluk paling rapuh sekaligus kuat disaat bersamaan, juga lugu dan bodoh disaat bersamaan pula. Hati perempuan adalah logikanya. Ucapan tidak adalah kebohongannya. Tawanya adalah pertanda penghiburan, dan tangisnya adalah penanda bahwa ada bagian yang patah. Saat ini, Tulip melakukan segala definisi tersebut. Dia rapuh sekaligus kuat untuk menenangkan diri. Tulip yang lugu mempercayai tindakan pria pengecut dan membuat dirinya bodoh. Hatinya patah, disimbolkan dengan tangisan. Namun, Tulip juga tertawa menyikapi ucapan selamat dari dokter kandungan bernama Sasmita yang terdengar begitu nyaman ketika berada di ruangan pemeriksaan.

Ketika Tulip berada di taksi yang dia hentikan dengan gerakan tangan, tanpa lupa yang argo mahal—tanpa peduli adanya kendaraan online yang lebih murah—dia pulang ke unit apartemennya sendiri.

Tangisannya mulai mengisi ruangan karena ini menyesakkan. Sesak yang pria itu alami dengan keras membuat Tulip tak bisa kembali ke kantor karena pria itu hanya akan menambah daftar kecewa Tulip saja. Lebih baik di sini, sendiri, dan sibuk menangis tanpa henti. Tulip bisa mengeluarkan semua emosinya melalui tangisan tanpa harus sibuk mencari tempat di kantor yang aman baginya untuk menangis.

Jadwal menstruasi yang sudah tidak datang selama lebih dari dua bulan menjelaskan segalanya. Tulip memang hamil, tapi itu tidak membuat Tulip merasa lega atau senang sepenuhnya. Rencananya berhasil diraih, sudah satu langkah menuju keberhasilan. Namun, melihat reaksi Hippo ... dia ragu bahwa pria itu akan bertanggung jawab seperti ucapan Agungsyah.

Janinnya tak bersalah, tapi sudah harus menanggung hutang dari kakek dan neneknya yang memutuskan bunuh diri bersama. Bayinya akan lahir dengan tekanan besar karena hutang yang tanpa disadari sudah dibebankan pada bayi itu.

"Ya, ampun, Sayang. Maaf karena bikin kamu menanggung beban ini."

Tulip sudah sangat bersalah dengan melakukan tindakan keji seperti ini. Menghadirkan nyawa ke dunia sebagai penjamin hutang. Tulip merasa dirinya sudah menjadi seperti orangtuanya yang tega melakukan semua ini karena tak mau menanggungnya berdua dan melimpahkannya kepada anak yang tak mengerti apa pun.

Tulip membuka blazer yang dipakainya dan mulai melemaskan otot tubuhnya. Jadi, ini bagian dari risiko kehamilan yang dialaminya. Rasa lelah, mual, muntah, pusing, mengantuk. Semua itu adalah gejala dari kehamilannya, bukan karena sakit.

Kepalanya baru saja akan direbahkan, tapi urung karena ponselnya mengeluarkan bunyi hingga membuat Tulip kesal. Meraihnya dan membaca nama panggilan di sana, Tulip tidak mengenali nomor yang masuk.

Tulip mengira telepon itu sangat penting dan menyambutnya dengan sopan. "Halo! Selamat siang."

"Kamu dicari pak Hippo. Ke mana saja kamu?"

Tulip mengernyit. "Pak Lentera?" sahut Tulip menyebutkan nama yang terlintas di kepala.

"Mulai saat ini, kamu simpan nomor saya. Lain kali, kamu harusnya menyimpan nomor atasanmu bagaimana pun caranya. Saya ini tetap salah satu atasanmu, Tulipa."

Yang bisa dilakukan Tulip adalah mengangguk meski gerakan itu tidak dapat dilihat oleh Lentera.

"Kamu di mana, Tulipa? Saya sudah menanyakannya sejak tadi." Lentera terdengar kesal dengan Tulip yang malah melanjutkan diamnya.

"Maaf, Pak Lentera. Saya ... sedang sakit. Jadi, saya di rumah."

"Kamu sakit apa? Sudah diantar periksa pak Hippo tadi, kan?"

Tulip kembali terdiam. Dia kesulitan memberikan jawaban pada Lentera yang sepertinya tidak akan mau melepaskannya begitu saja.

"Tulipa? Kamu mau saya menunggu jawaban kamu berapa lama lagi?"

Tulip memejamkan matanya dan berkata, "Sakit saya urusan pribadi saya, Pak Lentera. Saya minta maaf, tapi pak Hippo tahu. Saya mohon berikan penjelasan kepada beliau saya tidak sanggup kembali ke kantor karena kondisi saya."

Dengan nekat Tulip memutuskan sambungan telepon itu lebih dulu. Dia tidak mau ditekan oleh Lentera lagi. Ini jalan terbaiknya, memutus pembicaraan dengan Lentera yang menurut Tulip tidak mengerti apa-apa.

The Wedding Debt / TAMATWhere stories live. Discover now