5.3 ; The Wedding Debt

7.4K 1.2K 38
                                    

Isi pikiran Tulip melayang kemana-mana. Dia tidak sepenuhnya bisa fokus sekarang, apalagi membayangkan obrolan yang berjalan antara Hippo dan kekasihnya. Sejauh ini, Tulip tetap merasakan keraguan untuk menjadi pihak ketiga yang akan berubah menjadi faktor paling penting untuk memutuskan hubungan antara Hippo dan Zia. Ya, saat dirinya berbadan dua nanti, pria itu pasti meninggalkan Zia, kan?

"Hai! Tulip, kan?" 

Tulip yang sedang memastikan takaran gula dan kopi untuk Hippo terkejut karena suara berat laki-laki menyapanya. 

"Oh, iya. Hai!" balas Tulip yang belum mendapatkan pandangan apa pun mengenai laki-laki tersebut. Kapan mereka pernah bertemu? Seingat Tulip, hampir tidak ada agenda bertemu teman lelaki meski di kantor. Tulip juga tidak akrab dengan siapa pun di kantor. 

"Saya Maga, anak magang yang dulu ketemu kamu di mal." 

Secara otomatis ingatan Tulip kembali pada masa-masa dimana dia pernah magang di salah satu mal terkenal. 

"Maga ...?" 

Lelaki itu tersenyum dan menyentil kening Tulip dengan sedikit canggung. Tujuannya jelas untuk membuat Tulip ingat bahwa mereka pernah melakukannya—sering—di masa lalu. 

Tulip tertawa pelan. "Ya, ampun Mas Maga!" 

Menyadari bahwa Maga adalah mahasiswa yang dulu mencari pekerjaan sampingan untuk biaya kuliahnya dan begitu baik pada Tulip dengan selalu membantu pekerjaannya, Tulip melepaskan sendok dan memeluk pria itu dengan akrab. 

"Nggak nyangka banget ketemu di sini lagi!" seru Tulip yang tiba-tiba merasa memiliki teman. 

"Aku juga nggak nyangka, ternyata kamu udah duluan masuk perusahaan ini. Padahal dulu aku lulus duluan dari kamu." 

Tulip tidak bisa menyembunyikan senyumannya, teman lama datang di waktu yang tepat. Disaat pikirannya kacau kemana-mana karena Hippo. 

"Hehe. Tuntutan hidup, Mas Maga. Aku sama sekali nggak berniat nunda buat kerja apalagi ada kesempatan besar masuk sini." 

"Ya, ya, ya. Kamu, kan, kesayangannya putra mahkota. Aku nggak heran kalo kamu masuk di sini dengan cepat." 

Tulip mengernyit tak paham. "Kesayangannya putra mahkota? Siapa, Mas?" 

"Masa kamu nggak tahu? Orang yang pal—"

Pintu terbuka dengan kasar dan Lentera masuk dengan wajah datar. "Kamu bisa bekerja atau tidak? Pak Hippo menghubungi ruangan saya berulang kali hanya karena kopinya belum datang. Butuh berapa lama kamu menghabiskan waktu di pantry untuk satu gelas kopi atasanmu?" 

Lentera terlihat kesal bukan main. Mata pria itu juga memerah seperti belum tertidur untuk waktu yang lama. Tentu saja Tulip terkejut bukan main dengan teguran Lentera yang keras dan menohok itu. 

"Maaf, Pak Lentera saya akan segera ke ruangan Pak Hippo." 

Lentera tidak mengangguk atau tidak bersikap baik. Dia menatap Maga dengan tajam. "Kamu karyawan baru, kenapa malah di sini? Jadwalmu untuk tahu semua orang di divisimu." 

Maga tidak berani untuk membantah. Di sana, semua orang tahu bahwa Lentera memiliki andil sangat besar untuk membuat jabatan pegawai turun dan naik, juga masuk dan keluarnya semua orang di sana, Lentera adalah orang penting sekaligus dipercaya. 

"Saya ... permisi, Pak." Maga memberikan tatapan pada Tulip sebagai kata maaf. Mereka seharusnya bertemu saat jam kantor luang. Mereka harus membagi cerita satu sama lain setelah lama tidak bertemu. 

"Kamu," ucap Lentera pada Tulip. "Jangan menyusahkan saya lagi. Kalau kamu mau semua rencana berjalan dengan baik, jangan pernah membawa-bawa orang lain ke dalamnya!"

Tulip tidak mengerti apa maksud dari ucapan Lentera. Dia sama sekali tidak memiliki niatan untuk membawa siapa pun ke dalam masalahnya. 

"Maksudnya Maga, Pak?" tanya Tulip. 

"Siapa pun. Ganti semua kepolosanmu dengan cara baru." Lentera mendecak. "Saya benci wanita sok lugu." 

Apa pria itu baru saja mengatai Tulip?





The Wedding Debt / TAMATWhere stories live. Discover now