1.3 ; The Wedding Debt

14.2K 2K 48
                                    

"Dimana anak saya, Anne?" tanya Hippo pada pengasuh Nania.

"Di mobil, Pak. Non nggak mau ditemani."

Hippo mendecak keras karena Anne tidak bisa lebih berusaha membujuk putrinya untuk mau ditemani. Anak itu pasti tidak akan pernah membagi masalahnya jika tidak didekati. Tulip pernah mengatakan bahwa Nania adalah pribadi yang sangat tertutup. Untuk mendekati anak itu, maka harus sabar dan bisa tahan dengan penolakan anak itu dengan cara diam.

Hippo mempercepat langkah kakinya hingga menemukan keberadaan mobil serta putrinya yang melipat kakinya untuk menenggelamkan wajah di sana. Nania tak mau orang lain melihat kesedihan dan tangisannya.

"Nia." Panggilan yang Hippo berikan membuat anak itu mengangkat sebagian wajahnya. Nania mengintip Hippo dari celah tangannya.

Nania tidak menjawab panggilan dari Hippo meski biasanya anak itu akan melakukannya. Semakin ditatap, semakin Hippo menegang karena Nania seolah mengeksekusi dirinya dengan tajam.

"Adik aku nggak ada lagi, ya, Pa?" tanya Nania dengan lirih.

Hippo bisa merasakan rongga pernapasannya menyempit, padahal riwayat kesehatannya bagus. Dia tidak bisa menghirup oksigen hingga tak bisa menjawab pertanyaan sederhana bagi Nania.

"Nia ..." Hippo mendekati putrinya dan berusaha menggenggam tangan anak itu dan tidak berhasil. Akhirnya dia hanya berusaha menjawab. "Mama keguguran. Adik Nia sudah di surga."

"Papa nggak suka sama adik Nia, ya?"

Satu pertanyaan itu bagai bom yang serupa untuk menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki. Hippo mungkin berlebihan, tapi dirinya merasa sedemikian takutnya. Menjawab pertanyaan Nania lebih rumit dari menjawab wanita dewasa yang hobi berkata 'terserah'.

"Papa sayang anak-anak papa, Nia. Kamu dan adik kami yang sekarang di surga."

"Tapi mama bilang kalo aku pengganggu hidup Papa. Kalo aku pengganggu, adik aku nggak ada, berarti Papa nggak suka adik aku. Makanya adik aku pergi."

Berapa usia Nania? Enam tahun? Kenapa pemikirannya terlalu kritis dan membahayakan? Apa karena semenjak hamil, Nania selalu berpikir mengikuti alur pikiran Tulip yang rumit dan sukar?

"Nia, kamu sama sekali bukan pengganggu hidup papa."

"Tapi papa bikin mama aku nangis!"

Nania adalah anak Tulip. Berada di rahim Tulip selama kurang lebih sembilan bulan membuat anak itu seperti membagi hidup serta perasaan dengan Tulip. Tidak heran jika Nania lebih mempercayai mamanya. Lebih masuk akal lagi, kehadiran Hippo selama ini tidak lebih dari seorang penanggung jawab biaya hidup Nania dan sibuk dengan pekerjaannya.

"Papa minta maaf bikin mama nangis, Nia. Papa sayang kalian. Maafin papa—"

"Nia mau sama mama." Pernyataan tersebut membuat Hippo terkejut.

"Apa maksudnya?" tanya Hippo.

"Nia mau sama mama. Nia nggak mau pulang sama papa."

Hippo menggeleng tidak setuju. "Ini rumah sakit, Nia. Kamu harus pulang dan tinggal di rumah. Mama akan pulang begitu sembuh."

"Nia nggak mau sama papa ..." Anak itu semakin menangis sedih. Nia memang tidak histeris saat menyuarakannya, tapi jelas kesedihan terpancar dari wajah anak itu yang tanpa mengedip saja airmatanya turun dengan lancar.

"Nia ... Papa sayang kamu. Papa akan bawa pulang mama."

"Nia nggak mau sama papa ... Nia nggak mau biarin mama nangis sendirian."

Karena papa selalu membiarkan mama kamu menangis sendirian, kan, Nia?

Hippo seperti terus ditampar oleh fakta yang secara tak langsung diungkap oleh Nania.

"Nia ... gimana sama papa kalo kamu sama mama?" tanya Hippo dengan pelas.

Nania tetap menggeleng dan berkata, "Papa bisa kerja. Aku sama mama. Nia maunya sama mama, Pa."

Sepertinya ada lubang besar yang menganga di rongga dada Hippo sekarang. Papa bisa kerja. Itu artinya, Nania menguak fakta bahwa Hippo selalu hidup dengan pekerjaan. Sedangkan Nania dan Tulip selalu menunggu dan hidup berdua—tanpa Hippo perlu ada diantara mereka. Begitu, kan?

The Wedding Debt / TAMATWhere stories live. Discover now