14.4 ; The Wedding Debt

1.2K 177 4
                                    

"Nania!" 

Banyak hal yang sangat baru dalam hidup Tulip sebagai ibu. Dia sebelumnya tidak yakin bisa menjadi ibu yang baik untuk Nania, ketika mendapati sosok ibu yang dimilikinya justru mengakhiri hidup bersama suaminya dan melupakan Tulip, itu adalah tanda mendiang ibunya tidak benar-benar menyayanginya, kan? Ibunya lebih menganggap suaminya yang paling penting di dunia ini. Jika suaminya mati, maka harus ikut mati. 

Berbeda dengan Tulip yang merasa putrinya adalah segalanya. Bukan berarti Hippo tak berarti, tapi pria itu berbeda dengan Nania. Putrinya adalah belahan jiwa, sebagian dari dirinya. Sedangkan Hippo adalah manusia utuh yang mungkin hatinya bisa berubah kapan saja dan melupakan Tulip. 

"Mama jaja."

Nania yang kini beranjak tiga tahun menjadi sangat aktif untuk mencoba hal baru. Hari kemarin terasa sangat singkat karena putrinya adalah penanda paling tepat dimana perjalanan waktu memang sangat cepat. Tiba-tiba saja sekarang Nania sudah pandai menunjukkan jajanan dan meminta dibelikan.

"Nanti diomelin Papa kalo kamu beli permen, Nak."

Nania memberengut. "Mo ini." Permen yang dimaksudkan didekap erat dalam pelukan.

Mereka sedang ikut Hippo mengecek gedung baru yang sedang dibangun. Hippo akan memiliki anak perusahaan sendiri dan menjadi pemimpin utama, tidak mengekor ayahnya. Meski begitu, Hippo tetap dituntut untuk menangani perusahaan seperti biasa karena hanya Hippo penerus yang ada.

Di sekitaran gedung yang sedang dibangun berada,  terdapat warung yang biasanya dihampiri oleh tukang proyek ketika istirahat sekadar membeli es atau makanan berat. Nania yang memang suka dengan deretan ciki serta camilan dengan bungkus yang menarik mata, tentu saja langsung menggunakan kaki gempalnya menuju warung ibu-ibu yang tersenyum ramah melihat putri cantik Tulip itu.

"Nia, Sayang ...." Sulit sekali membujuk Nania yang malah membawa stoples permen yang diinginkan.

"Nanti Papa marah, Nak."

"Kalian beli apa?" Hippo datang dengan wajah lega, mengira anak dan istrinya tersesat. "Aku cariin di gedung nggak ada. Aku takut Nania kenapa-kenapa, karena pekerja bisa aja nggak tahu ada anak kecil."

"Papa, jaja!" Nania menunjukkan stoples permen bergambar sapi pada Hippo.

"Jajan, Sayang? Kamu suka? Nania mau?" Anggukan dari kepala Nania yang sangat semangat membuat Hippo mengeluarkan dompet tanpa ragu.

"Maaaas!" Tulip langsung heboh. "Aku tadi pake alasan kamu marah kalo dia beli permen, kenapa malah kamu kasih!?"

Sebenarnya Tulip-lah yang tidak akan membiarkan anaknya mengoleksi permen karena terlalu manis. Hippo selalu memberikan putrinya apa pun yang diinginkan anak itu. Perbedaan itu yang membuat mereka sering salah paham dan berakhir membuat Nania paham bahwa dia akan tetap mendapatkan yang diinginkan jika ada papanya. Anak itu seolah tahu bahwa hanya perlu memperlama perdebatan dengan sang mama hingga papanya datang agar keinginannya dituruti.

"Kamu nggak bilang dari tadi, Li. Mana aku tahu?"

"Papa jaja!"

Mau tak mau Hippo membayar jajanan yang putrinya ambil stoples itu agar tidak membuat si penjual kecewa.

Tulip tetap kalah dengan Nania. Anak itu adalah ratu terkuat bagi Hippo, jadi tidak ada hal yang tidak akan Hippo berikan. Sedangkan Tulip berakhir kesal dengan sikap suaminya itu.

"Jangan ngambek, dong, Mama. Maafin papa, ya? Papa nggak tahu. Kalo tadi kamu kasih tahu, papa pasti—"

Tulip membekap mulut pria itu dengan tangannya. "Nggak usah ngomong lagi! Nggak ada jatah pokoknya."

Hippo tertegun. "Ma? Kok, gitu? Mamanya Nania!" seru Hippo yang ditinggal bersama Nania dalam pelukan.

"Mama amuk, ya, Papa?"

Hippo mengecup pipi putrinya. "Iya, Sayang. Nggak apa-apa, nanti malem papa usaha biar mama kamu nggak ngamuk, ya."

Nania mengangguk ceria dengan permen yang sudah dibukakan papanya. Anak itu tenang, tetapi Hippo cemas memikirkan jatahnya yang kemungkinan besar dipotong malam ini.

The Wedding Debt / TAMATजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें