2.4 ; The Wedding Debt

8.7K 1.3K 23
                                    

Tulip hanya bisa menatap lurus pada setiap langkah yang membawanya kini. Lagi-lagi ada orang utusan yang membawanya menuju lorong paling ujung yang merupakan ruangan anak dari Agungsyah. Tulip tidak pernah ke ruangan itu, dia tahu dan sering berpapasan dengan Hippomenes ketika pria itu turun dari ruangannya. Tulip juga tidak menyangka jika ruangan Hippomenes lebih unik dari ruangan ayahnya yang selayaknya ruang kerja mewah dalam bayangan Tulip.

Mata Tulip sibuk berselancar menyusuri sudut ruangan Hippomenes. Lebih banyak kayu dan ruangan itu terlihat seperti perpustakaan pribadi. Jika diperhatikan lebih dekat, jajaran kayu yang biasanya digunakan untuk menyimpan buku digunakan untuk menyimpan banyak map dan dokumen yang tidak Tulip paham. Penempatan itu memang membuat meja dan lantai di ruangan Hippo terlihat rapi.

"Pak, sekretaris pribadi Anda sudah datang."

Hippo yang tidak teralihkan mendongak dan tatapannya bertemu dengan milik Tulip. Pria itu tampan, seperti penilaian para pegawai di gedung tersebut. Tidak ada yang mengatakan bahwa Hippo tidak menarik pusat perhatian, baik itu perempuan maupun laki-laki. Tidak heran bila sekarang Tulip agak kewalahan dengan wajah bersinar Hippo yang tersenyum ramah padanya.

"Oh, kamu, Tulipa. Saya kira  Pak Agung kirim siapa buat jadi sekretaris saya. Ternyata kamu."

Hippo memang dikenal ramah pada semua karyawan yang ada. Namun, Tulip tidak tahu apakah Hippo akan tetap sama ramahnya jika tahu apa rencana Agungsyah untuk menutupi hutang Tulip yang menggunakan cara tidak wajar itu. Hippo mungkin akan langsung membencinya jika tahu bahwa posisi sekretaris yang Agungsyah berikan adalah imbalan dari hutang yang harus dilunasi. Beginilah cara yang harus aku tempuh. Mau tidak mau, Tulip tidak memiliki jalan keluar apa pun untuk hutang lima ratus juta rupiah yang bisa digunakan untuk membeli hunian dan kendaraan. Kapan Tulip bisa memiliki hunian dan kendaraan pribadi jika selama hidupnya harus membayar hutang sebesar itu? Harus diikat dengan apa lagi perutnya supaya tak meronta meminta diisi hingga tak perlu mengeluarkan biaya makan sehari-hari?

"Iya, Pak." Tulip membalas dengan tidak fokus. Dia juga tak tahu harus bicara apa atas sapaan atasannya yang baru.

Baru teringat sesuatu, Tulip menepuk keningnya dan meminta izin pada Hippo. "Maaf, Pak, saya izin ke bawah untuk mengambil perlengkapan—"

"Lentera yang mengambilkannya untuk kamu, Tulip. Duduk saja dulu, jangan gugup begitu."

Gimana saya bisa nggak gugup kalo ini semua bagian dari rencana ayah Anda, Pak?

"Terima kasih, Pak." Tulip menoleh pada pria bernama Lentera. "Terima kasih, Mas Lentera."

"Ya, sama-sama."

Lentera memberikan kertas pada Hippo yang entah berisi apa. Tulip secara otomatis hanya berdiri dengan canggung karena tak berani duduk sesuai perintah Hippo yang normal tadi.

"Bagus semua," ucap Hippo pada Lentera. "Kamu bisa mulai kerja hari ini, kan, Tulipa? Saya udah hampir sebulan kehilangan sekretaris pribadi, jadi kerjaan agak banyak. Kebetulan Lentera juga nggak bertugas sebagai sekretaris saya."

Hippo adalah orang yang mudah membuat karyawan nyaman bekerja dengannya. Sikap pria itu tidak sekaku Agungsyah, membuat Tulip ragu untuk melakukan rencana yang Agungsyah inginkan.

"Saya bisa bekerja, Pak."

Hippo tersenyum dan membuat Tulip semakin linglung. Ini akan menjadi rencana paling meragukan karena Tulip tak ingin lebur dalam pesona Hippo yang baik padanya.

"Kamu memang bisa bekerja, Tulipa. Bahkan saya yakin pekerjaan kamu sangatlah baik. Bekerja yang giat untuk saya, ya, Tulipa. I count on you."

Bagaimana aku bisa setega ini dengan pria yang bersikap baik ini?

[Hippo itu baek loh. 😌 Mereka terhimpit keadaan menunjukkan sisi buruknya aja. 🙊]

The Wedding Debt / TAMATWhere stories live. Discover now