9.5 ; The Wedding Debt

7.1K 1K 13
                                    

Ada satu lagi yang tidak bisa Tulip lakukan selain berbelanja seenaknya menggunakan uang Hippo; menggunakan pakaian seksi di rumah tanpa malu sedikitpun. Bagaimana bisa perempuan yang ada di butik pakaian dalam itu berkata dengan santai untuk berkeliaran di rumah untuk memamerkan bokong dan payudaranya?

"Ya, ampun, Lip. Kamu tadi udah mulai berkeras hati, 'kan? Kenapa malah jadi pengen gatel pake pakaian seksi??"

Hormon kehamilan membuat Tulip gila sendiri untuk menggoda Hippo. Namun, pria itu masih bertahan dengan pikirannya sendiri—entah apa. Tulip memandangi perutnya dan berkata, "Kamu genit banget. Kasih kerjasamanya, dong, bayik. Mama kamu ini nggak mau ganjen di depan papamu yang aneh."

Andai cinta tidak mengikutsertakan luka, Tulip mungkin tidak akan seperti ini. Dia tidak akan takut terluka hanya untuk menggoda pria yang hatinya inginkan.

"Bu Tulipa! Bu!"

Gedoran pintu yang disertai panggilan panik dari asisten rumah membuat Tulip melemparkan pakaian seksi yang dibelinya.

"Iya, sebentar!" sahut Tulip tak ingin meninggalkan jejak atas semua pakaian yang dibelinya.

Buru-buru bergerak, Tulip membawa dirinya keluar setelah melihat asisten rumahnya di depan pintu. "Kenapa, sih, Siwi? Kenapa panik begitu?"

"Ba—bapak, Bu. Bapak ..."

"Kenapa suami saya?" Demi menghindari banyak spekulasi yang bisa saja bocor keluar dari asisten rumah tangga dan supirnya, Tulip selalu mengaku bahwa dirinya dan Hippo adalah pasangan menikah.

"Duh ... dilihat dulu aja, Bu. Saya bingung jelasinnya."

Siwi memang sulit untuk menjelaskan sesuatu dengan bahasanya, tapi sangat rajin ketika bekerja. Itu sebabnya Tulip tidak mengizinkan Hippo memecat perempuan itu.

"Ya, sudah ayo."

Bersama-sama mereka menuju Hippo yang ternyata ada di teras depan. Pria itu tertidur di lantai dan membuat Tulip panik.

"Mas!"

Saat mendekat, Tulip bisa melihat kening pria itu yang  berdarah hebat.

"Kamu kenapa???"

"Tulip ... saya pusing."

Kepanikan mengisi pikiran Tulip hingga tubuhnya gemetar. Meski begitu, dia harus tetap waras untuk membuat kondisi Hippo tetap baik-baik saja.

"Tolong kamu hubungi dokter pribadi yang ada di buku di laci ruang tengah, Siwi. Bilang kalo suami saya keningnya berdarah dan robek."

Siwi juga sama tak tenangnya melangkah untuk menuruti titah Tulip. "I-iya, Bu."

Tulip tidak bisa melihat orang lain terluka, ini mengingatkannya pada orangtuanya yang kondisinya juga tak baik ketika mengakhiri nyawa mereka. Tangisan perempuan itu tidak bisa ditahan, meski seharusnya Tulip memang tidak menangis seperti ini.

"Tulip ... jangan nangis."

"Udah, kamu berhenti ngomong, Mas. Kamu nanti makin lemes."

Hippo tidak bisa banyak berkata dalam kondisi seperti ini. Dia sudah mencoba berhati-hati dan tak mau membuat Tulip cemas. Namun, keadaan membuatnya seperti ini.

"Bu, dokternya baru jalan." Siwi datang memberikan informasi.

"Panggil mang Dirja, saya nggak kuat angkat suami saya, Siwi."

Siwi bergerak cepat—berlari, untuk memanggil Dirja yang kebetulan rumahnya berada di belakang rumah milik Hippo karena memang sengaja diberikan Hippo demikian untuk dimintai tolong sewaktu-waktu.

Beberapa saat kemudian, Hippo sudah dipindahkan ke sofa bed terdekat karena kamar jaraknya terlalu jauh. Tulip juga berusaha untuk membersihkan bagian wajah yang terkena darah pria itu.

"Apa yang terjadi sama kamu, Mas? Kenapa jadi seperti ini?" tanya Tulip yang menginginkan jawaban dari pria itu.

Namun, Tulip harus mengalah untuk meminta jawaban karena dokter keluarga sudah datang dan mengurus luka Hippo bersama satu asistennya yang membawa peralatan lengkap untuk menutup luka di kening Hippo.

Sungguh, Tulip semakin penasaran masalah apa yang menaungi hidup suaminya belakangan ini.

The Wedding Debt / TAMATOù les histoires vivent. Découvrez maintenant