15.2 ; The Wedding Debt

1.6K 222 5
                                    

Tulip dan Nania sampai di kantor milik Agungsyah setelah 35 menit berada di perjalanan. Nania memang semangat, tapi berada di perjalanan selalu membuat anak itu mengantuk. Anak itu selalu mudah untuk tidur disetiap perjalanan. Namun, Nania akan langsung terbangun begitu mobil terasa berhenti. Sama seperti sekarang, ketika sudah memijakkan kaki di kantor kakeknya, Nania langsung memasang wajah ceria.

Sudah bertahun-tahun terlewati, Tulip tidak lagi ragu untuk mendatangi kantor itu. Meski beberapa pihak tahu cerita mengenai Hippo dan Tulip, tapi kebanyakan sudah tidak lagi peduli. Melihat kebahagiaan yang keluarga kecil itu tunjukkan, tidak ada lagi orang yang mau ikut campur untuk membahas masa lalu.

"Papa!" seru Nania.

Rupanya pria itu sudah lebih dulu turun dan langsung merentangkan tangan pada putrinya yang manis. Tulip tidak bisa menutupi gerakan bibirnya untuk tersenyum menatap kegiatan keduanya.

Nania masuk dalam pelukan papanya dan diangkat begitu mudahnya, padahal usia Nania yang bertambah juga membuat bobot tubuh anak itu ikut bertambah.

"Kok, kamu udah di bawah, Mas?" tanya Tulip.

"Aku mau beli kopi, Ma. Dari pada nanti bolak balik, mending sekalian." Hippo mengusap pipi anaknya dan bertanya. "Nia mau ikut papa beli kopi?"

"Mauuu!"

Apa yang tidak Nania mau jika sudah bersama papanya? Waktu yang tidak begitu banyak mereka miliki selalu digantikan dengan momen kebersamaan jika sudah saling bertemu. Nania tak mau lepas dari papanya untuk menggantikan waktu yang hilang karena Hippo lebih banyak bekerja.

"Kamu mau ikut atau langsung ke atas, Ma?" tanya Hippo pada istrinya.

"Aku nunggu di atas aja, ya? Sekalian mau siapin makanannya, jadi begitu kalian dateng tinggal makan aja."

Hippo mengangguk setuju. Dia lebih dulu mengecup kening istrinya sebelum mengajak Nania membeli kopi di kafe seberang kantor. Tulip melangkah dengan ringan untuk segera naik ke lantai dimana ruangan suaminya berada.

Dia sudah terbiasa melakukan ini jika Hippo berada di kantor yang masih dipimpin oleh Agungsyah itu. Mereka akan menghabiskan waktu untuk bersama dan makan siang tanpa gangguan siapa pun.

Tulip melihat meja sekretaris yang kosong menandakan bahwa pemiliknya sedang istirahat juga seperti atasannya. Tanpa ragu Tulip mendorong pintu tersebut dan meletakkan kotak makanan yang dirinya bawa.

Saat hendak mengeluarkan seluruh kotak makanan, dia melihat ke arah pintu yang dibuka.

"Kemana Pome?" tanya Agungsyah.

"Beli kopi bareng Nania, Yah."

Agungsyah mengangguk. Pria itu sepertinya ingin menanyakan pekerjaan pada Hippo, tapi karena ada nama Nania, tidak ada kemarahan yang keluar dari Agungsyah.

"Ada yang penting, Yah? Mau aku teleponin mereka?"

"Jangan. Kasihan Nania yang menghabiskan waktu sama papanya."

Agungsyah terlihat lebih manusiawi dengan sikapnya kini. Pria itu tidak terlihat seperti awal-awal meminta Tulip menjebak Hippo.

"Tulipa," panggil Agungsyah.

Tulip menatap sang mertua sepenuhnya.

"Terima kasih sudah melakukan apa yang saya minta sejak awal."

Tulip mengerti kemana arah pembicaraan ini.

"Saya minta maaf karena memaksa kamu menjebak Pome dengan kehamilan. Pada akhirnya kamu berhasil menikah dengan Pome dan memberikan saya cucu yang saya harapkan sejak awal."

"Ayah kenapa minta maaf? Yang salah adalah mendiang kedua orang tua saya, Yah. Kalo saja mereka nggak meninggalkan hutang dan menjadikan saya jaminan, mungkin nggak akan ada skenario ini. Saya berterima kasih kepada Ayah karena memberikan saya kesempatan melunasi hutang orang tua saya, meski cara yang dijalani memang tidak benar dengan menjebak Mas Pome."

Agungsyah hanya bisa terdiam dan mengangguk. Tulip tidak tahu apa pun, perempuan itu sangat lugu dan mengira orang tuanya yang bersalah. Agungsyah ingin menjelaskan, tapi sisi jahatnya tak mau semua keinginannya sia-sia. Biarkan saja Tulip berpikir demikian, yang terpenting, Hippo—anaknya dan cucu dari pemilik sebenarnya sudah menjadi satu. Kekayaan ini akan tetap menjadi bagian dari Agungsyah. Selamanya.

The Wedding Debt / TAMATWhere stories live. Discover now