17.1 ; The Wedding Debt

2.3K 257 6
                                    

"Papaaa!!"

Nania tidak bisa menghentikan teriakannya memanggil sang papa ketika sampai di rumah sakit begitu nomor telepon rumah dihubungi dan Ane membawa anak itu datang ke rumah sakit.

"Nania ...."

"Papa aku, Mbak Ane! Papa aku berdarah!"

Nania memang sempat melihat luka Hippo saat dibawa masuk ke ruang IGD setelah Ane mengisi seluruh persyaratan sesuai yang dirinya tahu. Mau tak mau Ane menjadi penanggung jawab bagi majikannya karena panik dan tidak mau Hippo tidak ditangani dengan cepat.

"Iya, Nia. Tenang, ya? Mbak Ane di sini. Papa Nia bakalan sehat. Dokter periksa papanya Nia."

Meskipun anak itu merajuk sebelumnya pada sang papa, kini Nania terlihat tidak bisa tenang dengan kondisi Hippo.

Ane kesulitan untuk meminta bantuan pada keluarga Hippo. Majikan perempuannya sedang dirawat pasca keguguran, dan ayah majikan lelakinya tidak Ane ketahui nomornya. Untung saja Hippo pernah memberikan kartu debit yang seharusnya digunakan Ane untuk memenuhi kebutuhan rumah setelah Tulip tidak bisa mengurus rumah. Sekarang kartu itu digunakan Ane untuk membayar bagian rumah sakit yang memang harus diakui agaknya jahat, karena tidak akan benar-benar peduli pada kondisi pasien jika tidak ada uang.

Jujur saja Ane sudah pusing dengan penjelasan pihak rumah sakit. Apa pun tindakannya, Ane diminta untuk mendekat dan memahami semua ucapan pihak medis. Sedangkan saat ini ada anak majikannya yang harus Ane urus dengan baik juga. Tanggung jawab Ane mendadak begitu besar. Untung saja dari segi pendidikan, Ane tidak bodoh-bodoh sekali. Dia bisa menyesuaikan diri setidaknya sebelum dia menerima ponsel milik Hippo dan segera mencari kontak kakek Nania.

Orang-orang di rumah sakit memang selalu dan terlalu sibuk hingga Ane sendiri ikut kelimpungan, padahal tidak melakukan apa-apa selain mengangguk dan mengikuti arahan untuk ke sana kemari saja. 

Dalam pangkuannya, Nania menangis dan telinganya harus mendengarkan sambungan di seberang sana agar bisa bicara dengan baik kepada Agungsyah. Nania memang tidak akan bisa ditenangkan dalam kondisi seperti ini. Jadi, Ane menyesuaikan dirinya sendiri sebagai orang dewasa yang harus lebih tenang. 

"Pome? Kenapa?"

Ane menelan ludahnya agak takut untuk bicara dengan Agungsyah.

"Pak Agungsyah, maaf ini bukan Pak Hippo. Saya Ane, pengasuhnya non Nania."

"Oh? Kenapa kamu telepon saya pakai nomor anak saya?" 

Sungguh Ane tidak siap mengatakan ini, tapi dia harus melakukannya. 

"Sekarang saya sedang di rumah sakit, Pak."

"Siapa yang sakit? Cucu saya?" 

"Bukan, Pak. Papanya non Nania kecelakaan, Pak. Sekarang saya dan non Nania ada di rumah sakit--" Ane tidak lagi mendengar apa pun. "Halo? Pak Agung?"

Saat melihat layar ponsel, Ane tidak mendapati apa pun. Panggilan itu sudah terputus dan tidak ada yang bisa Ane lakukan lagi karena panggilan berikutnya tidak diangkat oleh si pemilik nomor. 

"Mbak Ane, kenapa?" tanya Nania masih dengan tangisan yang tidak luntur.

"Kakek nggak jawab teleponnya, Sayang. Mbak jadi bingung."

Nania masuk dalam pelukan Ane dan kembali menangis. 

"Nania jangan nangis, ya? Kakek mungkin lagi perjalanan ke sini. Sabar, ya. Kita tunggu papanya sama-sama."

Ane berusaha untuk berpikiran baik. Tidak mungkin Agungsyah enggan menerima telepon untuk tahu kondisi anaknya yang berada di rumah sakit. Iya, nggak mungkin begitu. 

Meski berjam-jam kemudian tidak ada tanda-tanda Agungsyah akan muncul, Ane berusaha untuk tetap tenang. Kepalanya berisi skenario buruk, tapi kewarasannya harus tetap ada. Kalau memang semua kondisi ini benar-benar buruk, lalu Ane harus meminta bantuan siapa?

The Wedding Debt / TAMATWhere stories live. Discover now