3.3 ; The Wedding Debt

7.2K 1.1K 19
                                    

Tujuan Agungsyah sudah sangat jelas. Dia ingin Tulip berada sedekat mungkin dengan Hippo. Bahkan Agungsyah menyediakan tempat tinggal—apartemen—yang bersebelahan dengan milik Hippo. Tidak tahu bagaimana bila nantinya Tulip bertemu dengan atasannya itu untuk bersikap. Sungguh, Tulip tak enak hati dan tak mau jika sampai dinilai sebagai penguntit oleh Hippo nantinya.

"Dengan begini kamu memiliki akses untuk semakin dekat dengan Hippomenes. Waktu bertemu kalian akan menjadi lebih sering dan rencana kita akan berjalan lancar."

Rencana kita. Tulip tidak merasa memiliki rencana apa pun dengan Agungsyah. Namun, membantah pria itu hanya akan membuat ancaman yang sama sesaknya keluar dari mulut pria itu. 

Tulip tidak membalas dengan kalimat apa pun. Dia sudah berhenti ingin tahu mengenai semua yang Agungsyah rencanakan.

"Bagaimana dengan rumah orangtua saya, Pak? Barang-barang saya masih ada di sana." Tulip tidak bisa menutup mulut untuk yang satu ini.

"Cek sendiri kamar kamu. Anak buah saya tidak bekerja untuk makan gaji buta atau sibuk berhutang tanpa tahu cara membayar."

Kena lagi. Tulip sepertinya harus menyesuaikan telinganya setiap saat ketika berhadapan dengan Agungsyah yang hobi menyindir.

Tulip bergerak untuk melihat kamar yang dikatakan oleh Agungsyah sudah terisi dengan barang-barangnya. Dan memang benar adanya, barang-barang pribadi Tulip sudah tertata rapi di setiap sudut.

Rasanya jelas sangat tak nyaman. Membiarkan orang asing menyentuh barang pribadi kita ... itu sungguh tak mengenakkan. Namun, siapa Tulip hingga bisa mengatakan demikian? Nyaman tak nyaman, enak tak enak, Tulip harus menyesuaikan diri.

"Sudah jam tujuh, saya harus bertemu dengan Hippomenes dan kekasihnya yang tidak jelas itu. Saya juga tidak mau Hippomenes tahu rencana yang melibatkan saya dan kamu dengan berada di sini lebih lama." Agungsyah menatap ke belakang dimana anak buahnya berada. "Lentera akan lebih sering berkunjung karena dia anak buah Hippomenes yang dipercaya lebih. Jika saya mengutus anak buah saya sendiri, semua bisa gagal."

Saya tidak peduli, Pak. "Terima kasih, Pak."

Tulip ingin pria itu segera pergi dari sana dan menumpahkan emosinya yang bertumpuk.

Tak menunggu lama lagi, Agungsyah memang pergi dan sesuai agenda—menemui Hippo dan kekasihnya. Sekarang Tulip bisa menumpahkan tangisan dan amarah yang ia punya dengan berteriak di bantal. Dia tak bisa seenaknya di apartemen tersebut meski kedap suara.  Tulip tidak merasa memiliki tempat di sana.

"Tuhan, aku nggak tahu harus bagaimana lagi."

*

Pada minggu-minggu berikutnya, bekerja di bawah kepemimpinan Hippo menjadi kaku. Pria itu jelas tertekan dengan beban yang berhubungan dengan restu dari Agungsyah dan kekasihnya, Zia.

Tulip sudah lebih banyak tahu mengenai Hippo karena dia berada di satu ruangan dengan Hippo dan tinggal di unit apartemen yang bersebelahan dengan milik atasannya itu. Permasalahan yang sering tak sengaja Tulip temui ketika berniat pulang adalah Hippo dan kekasihnya yang berdebat dan bertengkar mengenai satu hal yang sama; restu.

Pembahasan mengenai tidak adanya anak dalam pernikahan memberatkan keduanya. Sekarang, Tulip sudah semakin paham dan memilih diam meski terkesan tidak melakukan progres apa pun untuk rencana melunasi hutangnya.

"Kopi Anda, Pak." Tulip meletakkan secangkir kopi dan berniat melenggang pergi. Namun, suara Hippo menghentikannya.

"Kamu tinggal di unit sebelah saya?" tanya Hippo.

Kini Tulip takut jika pria itu mengetahui sesuatu sebelum adanya kemajuan yang Tulip lakukan.

"Benar, Pak."  Tulip mengangguk meski sebenarnya jemarinya bergetar karena gugup.

"Kamu pasti mengalami masa yang berat sampai memilih tinggal di apartemen ketimbang tinggal di rumah. Iya, kan?"

Tulip memang mengalami masalah yang berat, tapi tidak pernah memilih sendiri tinggal di apartemen.

"Begitulah, Pak."

Hippo mengangguk-anggukan kepala dengan menyesap kopi yang Tulip buatkan di pantry.

"Nah, ini buatan kamu. Kalo OG atau OB yang bikin rasanya nggak enak. Saya suka buatan kamu."

Itu pujian yang belakangan selalu Tulip dengar. Pria itu tidak lagi mencari-cari menu kopi di salah satu kafe terkenal dan sudah menemukan rasa kopi yang dia mau yang tak lain buatan Tulip.

"Saya akan buatkan kopi terbaik untuk Anda, Pak."

Hippo tersenyum dan langsung berkata, "Nanti malam kita adakan acara penyambutan kamu yang tinggal di unit dekat saya, ya!"

"Apa, Pak?"

Hippo tertawa. "Saya akan siapkan khusus untuk sekretaris saya yang cekatan dan cerdas. Kamu datang ke unit saya jam tujuh!"

Apa ini kesempatannya?

The Wedding Debt / TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang