3.1 ; The Wedding Debt

8.6K 1.2K 26
                                    

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Hippo tanpa lupa menepuk bahu Tulip yang jelas menunjukkan sisi rapuhnya. "Ah, maaf. Saya harusnya nggak nanya seperti itu. Kamu jelas nggak baik-baik saja."

Tulip tidak bisa membalas atau mengucapkan kata terima kasih pada pria itu karena kini tenggorokannya sangat sakit dan perih. Keinginan untuk menangis sangatlah besar dalam diri Tulip.

"Berdiri, kamu pindah ke ruangan saya."

Tulip yang takut menangis jika berkata melakukan gelengan secara spontan.

"Jangan keras kepala, Tulipa. Di sini ada CCTV, kalau kamu menangis di sini, semua orang di CCTV room akan melihatnya." Hippo memaksa tubuh perempuan itu untuk berdiri dan membuat Tulip mau tak mau harus berjalan ke ruangan pria itu. "Setidaknya di dalam hanya saya yang tahu. Saya tidak akan membaginya pada orang lain kalau kamu menangis."

Sekarang, belum benar-benar memasuki ruangan pria itu saja Tulip sudah menjatuhkan airmatanya.

Hippo membiarkan Tulip yang menangis dan duduk di sofa kerja pria itu. Tidak ada yang akan mengganggu Tulip untuk menumpahkan airmatanya, termasuk Hippo yang memilih untuk bekerja dan seolah tidak melihat Tulip.

Semua yang Tulip tangisi kini bukan persoalan dirinya dituduh sebagai pelakor. Tulip menangisi banyak hal yang berhubungan dengan Hippo. Semua rencana yang Agungsyah inginkan adalah sumber tangisan Tulip saat ini. Takdir yang menhimpitnya sedemikian rupa juga menjadi alasan tangisannya semakin besar.

Mulanya Tulip mengatur ritme tangisan karena tak enak hati dengan atasannya yang baru. Namun, melihat Hippo tidak peduli, Tulip malah semakin merasa bersalah hingga tak bisa bernafas dengan baik.

"Bap—pak, kenap—kenapa bisa ... di sana?"

Tulip bahkan tidak peduli jika suaranya terputus-putus karena tangisan. Dia ingin tahu bagaimana Hippo bisa membelanya dan bersikap sebagai pahlawan.

"Pengirim makanannya chat berulang kali. Saya bilang ada yang ambil, tapi dia bilang belum ada. Saya pikir, kamu salah titik nunggu. Tapi ternyata kamu malah kecantol telinga sama omongan karyawan yang lain."

"Say—saya ... nggak, sengaja ... denger."

"Ya, ya, ya. Tapi kalo tadi saya nggak turun buat cek, kamu bakalan dengerin terus omongan mereka yang nggak berguna itu?"

Tulip hanya bisa menangis. Dirinya bingung untuk menjawab pertanyaan atasannya itu.

Setelahnya, Tulip hanya bisa menangis dan menangis menumpahkan rasa sedih yang menumpuk di dada.

"Maaf, Pak."

Tulip tidak mendengar apa pun lagi selain Hippo yang sibuk mengeluarkan makanan dari tas kertas.

"Ayo, makan. Kamu sudah selesai menangisnya, kan?"

Tulip mengangguk dan lebih dulu meminta izin ke kamar mandi. Riasan dan hasrat untuk menyeka hidungnya lebih penting saat ini. Malu sekali berhadapan dengan Hippo dalam tampilan memalukan begini.

Ketika berniat membuka pintu dengan lebar, Tulip bisa melihat ketegangan di wajah atasannya saat menerima panggilan.

"Nggak bisa gitu, Zia. Ayahku mau kita bicara baik-baik dan meminta izinnya. Aku nggak mungkin menikah dengan kamu tanpa restu ayahku."

Tulip semakin sadar dirinya berada masalah besar. Selain melakukan rencana besar seperti yang Agungsyah inginkan, ada kekasih Hippo yang pastinya harus disingkirkan  jika mau semuanya berjalan lancar. Namun, bagaimana cara Tulip menyingkirkan kekasih Hippo? Haruskah Tulip ikut mati saja seperti orangtuanya?

"Jangan menyinggung ayahku, Zia. Kamu harusnya bantu aku memohon sama ayah supaya merestui hubungan kita karena kamu nggak mau memiliki anak nantinya."

Tulip yang terkejut langsung menutup bibirnya dengan telapak tangan. Nggak mau punya anak? Apa maksudnya?

"Apa pun itu, Zi! Pandangan kamu soal child free itu nggak bisa diterima banyak orang gitu aja. Mereka yang anggap kita aneh, Zi, bukan sebaliknya."

Tulip mengetuk pintu sebelum masuk dan duduk di sofa ruangan Hippo dengan diam.

"Kita bicara nanti lagi. Kita bahas ini secara rinci pas ketemu nanti. Love you."

Kecanggungan menyapa mereka. Tidak ada yang bicara selama tangan dan mulut mereka sibuk digunakan untuk makan. Hanya satu yang Tulip pikirkan saat itu, mungkin permasalahan mereka bisa menjadi celah aku masuk?

The Wedding Debt / TAMATWhere stories live. Discover now