15.5 ; The Wedding Debt

1.5K 221 2
                                    

"Kenapa kamu diam?" tanya Hippo begitu dingin. "Kamu nggak mau membuat kalimat panjang untuk melakukan penyangkalan?"

Tulip tahu dirinya sudah melakukan kesalahan besar. Dia tidak akan mengingkari apa yang sudah dirinya lakukan, dan menyangkal bukanlah cara yang ingin perempuan itu lakukan untuk menyelesaikan masalah.

"Maaf, Mas. Maafkan aku yang memulai hubungan ini dengan cara yang salah."

Tulip bisa melihat suaminya yang muak dengan mendengkus. 

"Maaf karena memulai hubungan ini dengan cara yang salah? Kamu sudah menipuku, Tulip. Kamu sudah menghancurkan kepercayaanku."

Tangisan Tulip tidak bisa ditahan lagi. Kedua sisi pipinya mulai basah dengan air matanya sendiri. Tulip merasakan keinginan untuk memeluk suaminya, tapi pria itu tidak mengizinkan hal itu terjadi. 

Rahang Hippo yang mengetat mengantarkan kemarahan yang dilampiaskan pada hal lain. 

"Layani aku," ucap pria itu.

Tulip menerima perlakuan yang tidak pernah dirinya kira akan dapatkan dari pria ini. Pria yang menikahinya dan memberikan seorang putri. Tulip menangis karena kesalahannya yang besar tidak bisa dimaafkan begitu saja. Hubungan intim mereka terasa lebih keras dan tidak menyenangkan. Tulip tidak bisa merasakan kenikmatan, melainkan kesakitan karena pria yang dirinya sebut suami memaksa masuk disaat Tulip belum sepenuhnya siap.

Dibalik punggung pria itu, Tulip menangis dan tidak tahu harus berkata apa untuk membuat suaminya berhenti. Tulip hanya menunggu Hippo selesai dan berharap masalah mereka akan segeral terselesaikan dengan baik.

*

Keinginan Tulip untuk bisa dimaafkan oleh suaminya ternyata hanya mimpi yang datang ditengah badai rumah tangga mereka. Hippo mengabaikan Tulip sejak semalam. Tepat setelah mereka bercinta, Hippo memilih meninggalkan Tulip dan menghabiskan waktu di perpustakaannya entah mengerjakan apa. 

Mereka tidak lagi sama. Kesalahan yang sudah terlewati bertahun-tahun itu terkuak disaat Tulip mengira kebahagiaan sudah mereka genggam. Rupanya, memang tidak ada kebahagiaan yang akan benar-benar bisa digenggam.

"Papa nggak sarapan, Ma?" tanya Nania yang tidak melihat keberadaan papanya di meja makan pagi ini.

Tulip lemas mendengar pertanyaan putrinya. Nania akan sangat kecewa jika salah satu waktu bisa bertemu dengan papanya harus dipangkas karena kemarahan pria itu pada Tulip.

"Papa buru-buru ke kantor, Nia. Ada pekerjaan yang nggak bisa ditunda."

"Papa kenapa kerja terus, sih, Ma? Kenapa papa lebih sering kerja?"

Nania anak yang cerdas, juga terlalu peka untuk menilai sesuatu. Tulip cemas jika ini akan menjadi salah satu proses Nania menjadi jauh dari sosok papanya.

"Nania bisa makan enak, tidur dikasur yang nyaman, dan bisa dibeliin apa pun itu karena papa kerja keras buat Nia."

"Tapi Nia mau sama papa, Ma. Emangnya papa nggak pengen sama Nia, ya? Papa kenapa nggak kangen sama Nia? Papa nggak pernah pulang atau jemput Nia. Selalu Nia sama mama yang samperin papa. Kayaknya papa nggak nangis kalo nggak ketemu Nia lama."

Tulip menitikkan air mata. Dia tidak tahu harus membalas ucapan anaknya seperti apa. Hippo menghindarinya dan Nania menjadi korbannya. Apa yang harus Tulip lakukan supaya Nania tidak berprasangka terlalu jauh kepada papanya sendiri?

"Mama nangis kenapa?"

Nania menuruni kursi makan dan memeluk pinggang mamanya. Anak itu ikut menangis dengan Tulip yang mendadak tak bisa menghentikan tangisannya. 

"Mama ... jangan nangis. Mama, Nia ikut sedih."

Semakin mendengar suara Nania, semakin tersayat hati Tulip. Semakin dia mencoba menghentikan tangisan, semakin sakit dadanya. Entah apa yang akan terjadi lagi ke depannya, hanya satu keinginan Tulip, supaya putrinya tidak kehilangan arti kebahagiaan.

Mama melakukan kesalahan dan kamu harus menjadi korban seperti ini, Nia. Maafin mama. Maaf. 

The Wedding Debt / TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang