15.1 ; The Wedding Debt

1.7K 228 9
                                    

Rancangan untuk memberikan Nania adik nyatanya tidak bisa terealisasikan hingga usia anak itu yang sekarang sudah enam tahun. Padahal Tulip sudah tidak menggunakan kontrasepsi apa pun semenjak anak itu berusia tiga tahun. Sesuai yang Hippo inginkan, memiliki anak kedua untuk menemani Nania. Hippo dan Tulip yang sama-sama tak memiliki saudara merasakan ketidaknyamanan tanpa saudara. Nania sebisa mungkin jangan sampai menjadi anak tunggal seperti papa dan mamanya. Namun, hingga kini Nania masih saja menjadi anak satu-satunya bagi Tulip dan Hippo.

"Ma, aku pengen sekolah."

Nania adalah anak yang cerdas. Diusianya yang enam tahun, anak itu sudah pandai membaca dan meminta sekolah. Sebenarnya memang tak masalah karena itu adalah keinginan Nania sendiri, tapi ada regulasi dari sekolah yang sekarang harus dipatuhi.

"Nia belum tujuh tahun, Sayang. Belum bisa masuk SD."

Nania terlihat lesu. Mungkin karena sering melihat konten anak-anak sekolah, putri kecil Tulip itu ingin menggunakan seragam yang sama.

"Sabar, ya. Tahun depan Nia udah bisa sekolah, kok."

"Tahun depan, tuh, kapan?"

"Tahun depan Nia udah tujuh tahun."

"Kalo umur tujuh udah boleh sekolah?"

Tulip mengangguk sebagai jawaban.

"Yeyyyyy! Tahun depan aku sekolah!"

Tulip turut bahagia dengan antusias putrinya. Nania memang selalu membawa kebahagiaan di keluarga kecil mereka.

"Oke, sekarang kita siap-siap ke kantor papa."

"Kantor papa sendiri? Apa kantor papa sama kakek?" tanya anak itu.

Nania memang selalu cerdas dan detil saat menanyakan sesuatu. Bahkan karena sudah paham papanya memiliki dua kantor yang berbeda untuk bekerja, Nania selalu menanyakan kantor mana yang akan mereka datangi.

"Kantor papa dan kakek."

Nania mengangguk dan mulai menuruti ucapan mamanya. Bekal yang Tulip siapkan sudah dikemas dan masuk ke dalam tote bag. Hanya perlu memastikan pakaian Tulip dan Nania pantas untuk datang ke kantor Hippo. Tak lupa, Nania juga membawa botol air kesayangannya agar tidak kehausan.

"Aku mau pake topi kuning, Ma."

Nania yang dulu selalu menarik-narik topinya untuk lepas dari kepala, kini malah menjadi suka memakai topi. Koleksi topi anak itu luar biasa banyak semenjak usia lima tahun. Hippo tidak mengatakan tidak untuk topi yang ditunjuk oleh putrinya. Tulip menyadari bahwa Nania memiliki gaya berbusana yang trendi. Topi anak itu menjadi pusat perhatian orang karena Nania pandai sekali memadukannya dengan pakaian yang dipilih sendiri.

"Dah!" seru Nania. "Aku cantik, kan, Ma?" tanya anak itu pada Tulip yang tidak berhenti tersenyum sejak tadi.

"Cantik, dong! Anak mama nggak pernah jelek."

Nania tertawa senang dan menaik turunkan tangannya, pertanda bahwa Tulip harus menurunkan kepalanya.

"Muaaachhh!"

Nania tidak pernah absen untuk mencium kening mamanya setelah mendapatkan pujian dari wanita itu. Itu adalah kebiasaan Nania yang tidak pernah Tulip tolak.

"Terima kasih, anak mama yang cantik dan manis."

"Sama-sama, Mama cantiknya Nia!"

Dunia Tulip selalu penuh dengan bunga kebahagiaan oleh segala tingkah laku Nania. Sekalipun anak itu sedang merajuk, tingkahnya membuat Tulip gemas. Berbeda hal jika yang terjadi adalah Nania terserang sakit. Hidup Tulip akan langsung berada dalam kondisi terburuk.

"Berangkat sekarang?"

"Oke!"

Semangat Nania adalah semangat Tulip. Jika Nania tak memiliki semangat itu, maka Tulip tak merasa utuh lagi. Lalu, bagaimana jika setelah ini Tulip yang meredupkan semangatnya sendiri? Apakah Nania bisa tetap menunjukkan semangat yang ia punya?

The Wedding Debt / TAMATWhere stories live. Discover now