3.2 ; The Wedding Debt

7.4K 1.1K 16
                                    

Keterdiaman mereka bukan menjadi satu-satunya yang sukses membuat canggung. Hippo canggung karena merasa pembicaraannya di telepon sudah diketahui oleh sekretarisnya, dan Tulip canggung karena pemikiran untuk masuk dalam celah hubungan antara Hippo dan kekasihnya. Tiada hal yang membuat keduanya bisa nyaman menyantap makanan dan ujungnya mereka tak bicara sama sekali jika tak ada urusan mengenai pekerjaan.

Hingga jam pulang kerja selesai, Tulip belum juga merasakan kemajuan apa pun untuk melangkah 'melunasi' hutangnya. Hippo masih jauh terasa untuk dijangkau. Pria sempurna itu tidak selayaknya dipermainkan. Tapi aku nggak berniat mempermainkannya. Tulip hanya didorong keadaan untuk melakukan hal yang menurutnya memang salah, tapi akan membawa bencana jika tidak melakukannya.

"Tulipa, saya duluan, ya!" Hippo terlihat sangat buru-buru ketika keluar dari ruangan untuk pulang.

"Iya, Pak." Memangnya apa yang bisa Tulip lakukan selain mengiyakan seruan itu?

"Dia pasti mau nemuin pacarnya," gumam Tulip yang menyatukan ingatan saat Hippo menelepon kekasihnya.

Lelah merundung diri Tulip kembali. Dia meratapi apa yang ada sekarang. Pulang ke rumah hanya akan mengingatkan dirinya mengenai kepergian orangtuanya yang menyedihkan sekaligus jahat karena meninggalkan banyak beban.

"Kamu bisa pulang dengan bos besar."

Tulip terkejut saat Lentera tiba-tiba saja sudah ada di depan mejanya. Ekspresi pria itu sangat kaku membuat Tulip tak nyaman.

"Maaf?"

"Bos besar mengajak kamu pulang bersama. Beliau sudah menunggu di mobil."

Tulip ragu untuk mengambil keputusan ini. Pulang bersama Agungsyah akan membawa tekanan lain, kan? 

"Saya bisa pulang sendiri. Ada angkutan umum—"

"Rumah kamu akan jadi jaminan. Sepertinya kamu harus bicara dengan bos besar. Lagi pula ... kamu harus mulai mengubah penampilan jika menjadi sekretaris pribadi Hippomenes."

Ada apa dengan semua ini, sih? Kenapa harus ada skenario konyol begini? Tulip bingung bagaimana menjalani hidup jika yang tersisa adalah pilihan untuk menjadi boneka Agungsyah saja?

"Bisa kasih saya waktu?"

"Tidak. Bos besar tidak mau menunggu."

Ya ampun! Tulip sangat tersiksa dalam beberapa jam saja. Apa ini benar-benar kenyataan yang harus Tulip hadapi? Atau Tulip bisa berharap ini hanya mimpi?

*

"Oh, hai, Tulipa Dewi Atalanta. Masuk ke mobil dan ikut saya menuju tempat tinggal baru kamu."

Agungsyah menunjukkan bagian dirinya yang tidak Tulip sangka.

Tempat tinggal baru? Bagaimana bila Tulip memilih untuk menghentikan hal ini? Apa yang akan Agungsyah katakan nantinya?

"Maaf sebelumnya, Pak. Apa saya boleh untuk menolak perintah Anda kali ini?" Tulip tidak bisa merasakan perubahan emosi Agungsyah yang suka sekali berubah tiba-tiba.

"Bukankah Lentera sudah menyampaikannya tadi? Saya tidak suka untuk ditolak. Apalagi jika berhubungan dengan hutang yang harus dibayarkan. Jika kamu berniat untuk membangkang, kamu bisa membayar hutang lima ratus juta kepada saya, cash." Agungsyah kembali mengubah sikapnya. Emosi pria itu seakan sudah terbiasa untuk teralih cepat.

Tulip tidak memiliki pilihan. Hidupnya tidak akan bisa bebas lagi karena Agungsyah menyetir jalan hidupnya. Jika tidak diam dan menuruti, maka dia akan masuk dalam masalah yang lebih besar.

"Maaf, Pak. Maafkan saya yang lancang menolak solusi yang Anda berikan."

Agungsyah mengangguk dan memberikan tatapan lelah. "Saya memberikan cara ini bukan tanpa alasan, jadi, hentikan pemikiranmu yang rumit. Jalani saja apa yang saya perintahkan. Paham?"

Tulip ingin sekali menghela napasnya, tapi dia tak berani sama sekali. Jadi, dengan kepala tertunduk lemas, dia mengangguk dengan patuh.

The Wedding Debt / TAMATWhere stories live. Discover now