8.4 ; The Wedding Debt

6.5K 1.2K 18
                                    

Tulip sedang mengompres matanya yang bengkak akibat terlalu lama menangis saat bel apartemennya berbunyi berulang kali. Kentara sekali jika tamu yang datang tak memiliki stok kesabaran yang banyak. Hatinya sedang tak baik, tapi orang tersebut sangat memaksa. Sekarang rasanya kepala Tulip terisi penuh dan ingin mengeluarkan sesuatu dari sana. Pengen meledak, tapi nggak bagus juga buat si bayi. Tulip berusaha berpikir normal dan tidak gegabah dengan memarahi orang yang datang ke apartemennya.

Bergerak pelan, Tulip meletakkan handuk kecil berisi es balok ke dalam baskom kembali. Kakinya melangkah menuju pintu dan terkejut melihat pemandangan yang hadir di depan mata.

Pengawal berbadan tegap dan besar membawa sesuatu di masing-masing tangan mereka. Astaga, ini ulah siapa? Hanya ada dua kemungkinan di kepala Tulip, entah itu utusan Hippo atau Agungsyah. Namun, mengingat Hippo yang masih terlalu sibuk menyangkal, maka Tulip asumsikan semu ini adalah ulah Agungsyah.

"Siapa yang meminta kalian memenuhi lorong unit dengan semua itu?" tanya Tulip dengan lelah.

Semua pengawal yang terhitung oleh Tulip ada sepuluh orang mulai menyingkir dan membiarkan satu orang berjalan ke depan—Agungsyah.

"Mari kita masuk, Tulipa. Biarkan mereka menyelesaikan tugasnya untuk menata semua itu di dapurmu."

Tulip tidak bisa melayangkan protes sama sekali ketika Agungsyah mendorong bahunya agar masuk dan duduk di sofa yang ada.

"Kamu baru mendapatkan berita bahagia dan sibuk mengompres mata akibat banyak menangis?" tanya Agungsyah yang mendecak dan menggelengkan kepalanya.

"Berita bahagia?" tanya Tulip kebingungan.

"Ya. Berita bahagia. Kamu yang mengandung cucu saya adalah berita yang membahagiakan. Kenapa kamu malah menangis?"

Tulip mengalihkan tatapan supaya Agungsyah tidak membaca apa pun di wajahnya.

"Oh, jangan-jangan ini karena ulah ayah si bayi?" tebak Agungsyah dan Tulip tidak mengiyakan atau menyangkal. "Tulipa, apa kamu mencintai putra saya?" Agungsyah bertanya kembali.

Tanpa harus ditanya, Agungsyah sudah sepatutnya mengetahui segalanya.

"Kamu mencintainya," ucap Agungsyah sebagai pernyataan.

"Pak, semua barang sudah masuk dan tertata rapi." Salah seorang pria mendekat dan melapor pada Agungsyah.

"Kalian keluar lebih dulu. Saya akan bicara lebih dulu dengan calon menantu saya."

Setelah situasi kondusif, barulah Agungsyah memberikan kesediaan untuk bicara serius.

"Apa yang Hippo katakan sampai kamu menangisinya seperti ini?"

Tulip tidak ingin menyangkal apa pun lagi. Karena sebagian dirinya sangat lelah mengharapkan Hippo untuk mengejarnya yang memang bukan siapa-siapa dalam hidup pria itu.

"Pria itu tidak memiliki belas kasih sama sekali, Pak. Saya harus katakan, putra Anda sangat pengecut karena berharap saya nggak hamil. Sedangkan kami sering melakukannya dan tanpa—"

Tulip menghentikan kalimatnya karena menyadari bahwa yang dirinya ajak bicara ini adalah seorang pria dewasa—tua.

"Maaf, Pak. Saya benar-benar nggak bermaksud bicara sevulgar itu. Saya terbawa emosi."

Agungsyah mengangguk penuh maklum. "Kamu nggak perlu meminta maaf."

Diam-diam Agungsyah memikirkan cara yang paling aman dan benar untuk semua ini. Kepalanya terus diolah hingga setua ini. Demi menemukan calon penerus yang tepat.

"Saya tahu Hippo menyayangi kamu. Hanya saja dia tidak menyangka akan memiliki anak tanpa rencana. Selama ini dia terlalu merencanakan sesuatu, padahal terkadang rencana hanya rencana."

"Lalu, bagaimana, Pak? Hutang saya apakah bisa saya lunasi tanpa menikah dengan putra Anda?"

Agungsyah sebenarnya merasa keberatan jika cucunya hadir tanpa tali pernikahan, tapi menyiksa Tulip yang sedang hamil hanya akan membuat kondisi cucunya stres di dalam kandungan sang ibu.

"Ya. Kamu bisa melunasi hutang kamu dengan merawat cucu saya hingga lahir selamat dan besar dengan sehat. Tapi kalau Hippo mau menikahi kamu, saya akan langsung melunasi hutang itu. Hiduplah bersama Hippo agar cucu saya bisa menikmati jerih payah dari keluarganya."

The Wedding Debt / TAMATOnde histórias criam vida. Descubra agora