#100

35 6 0
                                    

Perlahan, Venka membuka kedua mata dan mengedarkan pandangan ke sekitar. Dan ia mendapati dirinya yang sedang berada di dalam kamarnya.

"Ternyata sudah pagi" ucapnya, saat ia melihat sinar matahari yang sedang berusaha untuk menembus jendela kamarnya yang masih ditutupi oleh gorden.

Ia pun segera menyingkap selimut, yang menutupi tubuhnya. Lalu ia menyentuh dahinya untuk mengecek tubuhnya.

"Ternyata aku sudah tidak demam" ucapnya, yang langsung tersenyum senang saat merasakan dahinya, yang tak lagi panas.

"Tapi, kenapa demamnya bisa turun secepat ini? Padahal, biasanya demamku akan hilang, setelah aku meminum obat dari dokter, dua atau tiga kali" gumamnya, yang kini mulai terheran, dan mengerutkan dahinya.

Namun tiba-tiba, ia teringat dengan kejadian, yang tadi malam, "Oh ya, tadi malam aku kan mencium bibirnya Draz" ucapnya, yang kemudian kembali terdiam. Lalu perlahan, ia menyentuh bibirnya dan mengusapnya, "Apa karena aku mencium dirinya? Sehingga saat ini demamku langsung turun, bahkan kepalaku juga sudah tidak terasa sakit" sambungnya, yang semakin terheran.

Clek. . .

Ia langsung menoleh, saat mendengar pintu kamarnya, yang dibuka dari luar sana. Dan dapat ia lihat, ibunya yang sedang berjalan memasuki kamarnya, dengan membawa sebuah nampan, yang berisi sepiring makanan, dan juga segelas air mineral.

"Ternyata kau sudah bangun, nak" ujar ibunya, sambil berjalan menghampirinya.

"Iya Bu, aku baru saja bangun" jawab Venka, sambil mengganggukkan kepalanya.

"Kalau begitu, kau langsung sarapan saja, ya? Setelah itu, kau minum obat, agar cepat sembuh" ujar ibunya, sambil mendudukkan tubuh, di tepi tempat tidurnya Venka.

"Tapi Bu, demamku sudah turun, bahkan kepalaku sudah tidak terasa sakit" ucap Venka, sehingga membuat ibunya, langsung menoleh ke arahnya.

Mendengar apa yang baru saja putrinya katakan, membuat wanita berumur lima puluh tahunan itu menjadi bingung, dan mengerutkan dahinya, "Benarkah? Coba ibu periksa" ucapnya, yang terlihat tidak percaya, sambil menyentuh dahinya Venka, "Iya, kau sudah tidak demam, padahal baru minum obatnya sekali" sambungnya, saat merasakan dahinya Venka, yang sudah tak terasa panas.

"Itu yang membuatku bingung, Bu. Setelah aku terbangun dari tidurku, tiba-tiba saja, demamku sudah turun" ujar Venka, sambil menatap ibunya dengan terheran.

"Apakah, obat yang diberikan oleh dokter, berbeda dari biasanya?" tanya ibunya, sambil mengerutkan dahinya.

"Kurasa tidak, karena obat yang diberikan oleh dokter, sama seperti biasanya, tidak ada yang berbeda" jawab Venka, yang masih menatap ibunya, dengan bingung.

"Berarti, obat yang diberikan oleh dokter itu, lebih tinggi dari biasanya, sehingga kau bisa sembuh lebih cepat" ujar ibunya, sambil memalingkan pandangannya pada sebuah nampan, yang ia taruh, di atas pangkuannya.

Segera Venka menggelengkan kepalanya, dan berkata, "Tidak mungkin juga Bu. Dan kalau memang benar, dokter itu memberikan obat yang berdosis lebih tinggi, pasti ia akan memberitahu sebelum memberikannya".

Ibunya pun langsung menoleh ke arahnya, dan menatapnya dengan bingung, "Benar juga" ucapnya, sambil mengganggukkan kepalanya, "Lalu, kenapa kau bisa sembuh secepat ini?" tanyanya.

"Aku juga tidak tahu, Bu" jawab Venka, sambil menggelengkan kepalanya, dan memalingkan pandangannya ke depan.


************************


Waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu siang, dan saat ini, Venka tengah melamun di dalam kamarnya, dan masih memikirkan, hal yang tadi pagi.

"Aku masih tak menyangka, kalau demamku akan turun, dalam waktu secepat ini. Padahal, biasanya membutuhkan waktu dua atau tiga hari" gumamnya.

Tok tok tok. . .

Ia langsung tersadar dari lamunannya, saat mendengar suara pintu kamarnya, yang diketuk dari luar.

"Venka, apakah kau sedang tidur, nak?" pekik ibunya, dari luar sana.

"Tidak Bu, memangnya ada apa?" pekik Venka, sambil menoleh ke arah pintu kamarnya.

"Ada seseorang, yang ingin menjenguk mu, nak" pekik ibunya kembali.

"Seseorang yang ingin menjengukku? Apakah Draz?" gumamnya.

"Boleh, ibu buka pintunya?" pekik ibunya, sehingga membuat Venka, langsung tersadar dari lamunannya.

"Boleh Bu, buka saja pintunya tidak dikunci" pekik Venka.

Namun tak ada jawaban apa pun lagi, dari luar sana.

Clek. . .

Pintu pun langsung terbuka, saat seseorang di luar sana membukanya.

"Selamat siang nak, lihatlah siapa yang datang" sapa ibunya, sambil berjalan memasuki kamarnya Venka, sambil menyunggingkan senyuman.

Venka yang tak mengerti pun, hanya mengerutkan dahinya, tanpa mengatakan apa-apa.

Tapi tiba-tiba, seorang pria berjalan memasuki kamarnya Venka, dan berkata, "Hai, selamat siang Venka".

"Edvard?" ucap Venka, saat melihat wajah pria itu, yang memanglah Edvard.

"Iya nak, Edvard datang ke sini, untuk menjenguk mu" ujar ibunya Venka, sambil menyunggingkan senyuman.

"Kau sakit apa, Venka?" tanya Edvard, yang berdiri di dekat ibunya Venka.

"Biasa, radang tenggorokan ku kambuh" jawab Venka.

"Ya sudah, kalau begitu silahkan duduk Edvard, Tante buatkan minuman dulu, ya?" ujar ibunya Venka, dengan disertai senyuman, yang masih terukir di wajahnya.

"Baik Tante, terima kasih. Dan maaf, saya jadi merepotkan" ucap Edvard, sambil mengganggukkan kepalanya, dan tersenyum kikuk.

"Kau sama sekali, tidak merepotkan Edvard" ujar ibunya Venka, yang kemudian berjalan keluar, dari kamar putrinya.

Segera Edvard berjalan menghampiri Venka, dan duduk di tepi tempat tidur, "Lalu bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah sudah ke dokter?" tanyanya.

"Sudah lebih baik, bahkan aku sudah tidak demam lagi. Dan hal itu, tentu saja sudah" jawab Venka.

Mendengar apa yang baru saja sahabatnya katakan, membuat Edvard sedikit terkejut, dan berkata, "Syukurlah, jika seperti itu. Tapi, kenapa demam mu bisa turun secepat itu?".

"Aku juga tidak tahu, dokter yang memeriksaku, adalah dokter langganan ku, tapi entah kenapa, demam ku bisa turun secepat ini" jawab Venka, sambil mengangkat kedua bahunya, dan memalingkan pandangannya.

"Mungkin, obat yang diberikan berbeda dari biasanya, atau dosisnya lebih tinggi, sehingga kau bisa sembuh lebih cepat" ujar Edvard, sambil menatap Venka, dengan dahinya yang ia kerutkan.

"Tidak juga, obat yang diberikan oleh dokter itu tadi malam, adalah obat yang biasa ia berikan, dosisnya pun juga sama" ucap Venka, sambil menoleh ke arah Edvard.

"Lalu, kenapa demam mu bisa turun secepat itu?" tanya Edvard, yang kini jadi semakin bingung.

"Entahlah, aku juga tidak tahu" jawab Venka, yang kembali mengangkat kedua bahunya, dan menatap ke depan. Tapi di dalam hatinya, ia berkata, "Kenapa aku jadi semakin yakin, kalau demamku bisa turun secepat ini, karena aku mencium Draz".













To be continue. . .

The Ghost Friend [COMPLETED]Where stories live. Discover now