#52

66 12 0
                                    

"Jadi, semuanya harus melewati tahap seleksi, terlebih dahulu?" ujar Draz.


Ya, saat ini Venka dan hantu itu, tengah membicarakan tentang beberapa penerbit, yang akan menerbitkan ceritanya Draz.

"Benar, jadi aku harus mengirimkan ceritamu ke salah satu penerbit, melalui email" jawab Venka, sambil mengganggukkan kepalanya.

"Kalau begitu, coba kirimkan saja, karena tidak ada salahnya, jika kita mencobanya" ujar Draz, sambil menatap gadis itu, dari samping.

"Tapi. . ." ucap Venka, yang sengaja menggantungkan ucapannya, sehingga membuat Draz, menjadi bingung dan mengerutkan dahinya, "Bagaimana jika ditolak?" sambungnya, yang kemudian menundukkan kepalanya.

Dengan berat, Draz menghela nafasnya, dan menepuk bahunya Venka, "Jangan menyerah sebelum berperang, kita kan belum mencobanya" katanya.

"Iya, tapi kalau misalnya ditolak bagaimana?" tanya Venka, sambil menoleh ke arah hantu itu.

"Kita kirim ke penerbit yang lain, mudah kan?" ucap Draz, dengan satu alisnya, yang terangkat.

Namun Venka hanya diam saja, dan menundukkan kepalanya, tanpa mengatakan apa-apa.

Karena melihat raut wajahnya Venka, Draz pun kembali menghela nafasnya, dan mengusap bahunya gadis itu, "Venka, kau tidak boleh seperti ini. Katanya mau menjadi seorang penulis yang terkenal. Apa kau lupa, dengan impian terbesarmu itu?" ucapnya.

"Iya, hanya saja aku tidak siap, jika naskahnya ditolak" ujar Venka, yang masih menundukkan kepalanya.

"Venka, kau tidak boleh putus asa. Jika naskahnya ditolak, kau cukup kirimkan, pada penerbit lain, dan terus melakukan hal itu, sampai ada penerbit, yang menerimanya. Dan lagipula, aku sangat yakin, jika naskahnya tidak akan ditolak" ucap Draz, tanpa melepaskan pandangannya, dari Venka.

Perlahan, Venka menoleh ke arah hantu itu, dan menatapnya dari samping, "Kau yakin?" tanyanya.

"Bahkan, sangat yakin" jawab Draz, sambil mengganggukkan kepalanya, dan menyunggingkan senyuman.

Sebuah senyuman pun mulai terukir di wajahnya Venka, lalu ia mengganggukkan kepalanya, dan berkata, "Baiklah, kalau begitu aku akan mencobanya!".

Mendengar apa yang baru saja gadis itu katakan, membuat Draz tersenyum senang.

Lalu Venka segera meraih laptopnya, yang berada di kasur, dan menaruhnya di atas pangkuannya, "Baiklah, kalau begitu sekarang kita kirimkan naskahnya" ucapnya.

"Memangnya, waktu seleksinya berapa lama?" tanya Draz, yang duduk di sebelahnya Venka.

"Paling lama 7 hari" jawab Venka, sambil menoleh ke arah Draz sesaat.

"Wow, cepat juga ya" ujar Draz.

Namun Venka hanya mengganggukkan kepalanya saja, dan sibuk menatap layar laptopnya.




************************




Venka membalikkan tubuhnya, dengan membawa sekaleng minuman bersoda, di tangannya. Lalu ia mengedarkan pandangannya, untuk mencari tempat, yang masih kosong.

Ya, saat ini ia memang sedang berada di kantin kampusnya. Dan ia datang ke sana, untuk membelikan minuman, sebab sedari tadi, tengorokannya terasa begitu kering, sehingga mau tak mau, ia harus ke kantin, untuk membeli minuman.

Namun taj sengaja, ia melihat Edvard, yang sedang duduk, tak jauh di depannya, dan hanya seorang diri saja.

"Edvard?" ucapnya.

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia pun segera berjalan, untuk menghampiri sahabatnya itu.

"Hey, boleh aku duduk di sini?" ucapnya, saat tiba di tempat, yang di duduki oleh Edvard.

Edvard pun segera mengangkat kepalanya, dan dapat ia lihat, Venka yang sedang berdiri di depannya, "Boleh, duduk saja tidak ada yang melarang" jawabnya, dengan sedikit datar.

Sebuah senyuman pun mulai terukir di wajahnya Venka, lalu ia segera mendudukkan tubuhnya, di sebuah kursi panjang, yang berada di depan mejanya Edvard, "Oh ya, aku ingin mengatakan sesuatu" ucapnya, sambil membuka penutup kaleng, minuman tersebut.

"Apa?" tanya Edvard, yang masih saja tetap datar. Bahkan ia menatap Venka, tanpa ekspresi di wajahnya sedikitpun.

"Aku ingin meminta maaf, karena aku sudah mengabaikan permintaan maaf darimu. Tapi jujur saja, waktu itu aku belum bisa memaafkan mu" jawab Venka, sambil menatap Edvard, yang duduk di depannya.

Dengan kasar, pria itu menghela nafasnya, dan memalingkan pandangan, dari Venka, "Itu bukan salahmu, dan wajar saja, jika kau tidak bisa memaafkanku" katanya.

"Tapi aku jadi merasa bersalah padamu, Ed. Kau adalah sahabatku, dan tak seharusnya, aku seperti itu" ucap Venka, sehingga membuat Edvard, langsung menundukkan kepalanya, "Namun sekarang, aku sudah bisa memaafkanmu" sambungnya, dengan disertai senyuman, yang terukir di wajahnya.

Segera Edvard mengangkat kepalanya, dan menatap Venka, dengan sedikit tidak percaya, "Kau sedang tidak bercanda, kan?" ucapnya.

"Tentu saja, dan tidak mungkin, aku menjadikan hal itu, sebagai bahan bercandaan" jawab Venka, sambil mengganggukkan kepalanya.

Sebuah senyuman pun mulai terukir di wajahnya Edvard, lalu ia segera meraih satu tangannya Venka, dan menggenggamnya, "Terima kasih Venka, kau sudah mau memaafkanku. Dan aku berjanji, aku tidak akan mengulanginya lagi. Jika aku mengingkarinya, kau boleh melakukan apapun padaku, termasuk mem--"

Ucapannya Edvard langsung terpotong, saat Venka menaruh jari telunjuknya, tepat di bibir pria itu, "Aku bukan seorang pembunuh, jadi aku tidak akan pernah membunuhmu, Ed" ujarnya, dengan disertai senyuman, yang terukir di wajahnya.

Mendengar apa yang baru saja gadis itu katakan, membuat Edvard kembali menyunggingkan senyuman, dan berkata, "Kalau begitu terima kasih Venka, kau memang begitu baik".

"Sama-sama Ed" jawab Venka, sambil mengganggukkan, dan dengan senyuman, yang masih terukir di wajahnya, "Oh ya, ada satu hal, yang harus kau ketahui" sambungnya.

"Satu hal, yang harus ku ketahui? Apa?" tanya Edvard, yang terlihat mulai penasaran, dan mengerutkan dahinya.

Melihat raut wajah sahabatnya, membuat Venka ingin tertawa geli. Sebab ia tak sengaja, membuat pria itu, jadi penasaran.
















To be continue. . .

The Ghost Friend [COMPLETED]Where stories live. Discover now