#47

84 20 0
                                    

Dengan kasar, Draz menghela nafasnya, dan menoleh ke arah Venka, "Ya sudah, kita tak perlu membahas hal itu. Karena kedatangan kita ke sini, untuk melepas penat, bukan?" ucapnya, dan Venka langsung mengganggukkan kepalanya, "Kalau begitu, ayo kita duduk. Dan kau jangan takut terjatuh, karena ada aku yang akan menjagamu" sambungnya, disertai dengan senyuman, yang terukir di wajahnya.


Namun Venka hanya mengganggukkan kepalanya saja, dan segera mendudukkan tubuhnya, di dekat tebing, dan diikuti oleh hantu itu, yang duduk di sebelahnya.

"Oh ya Draz, apakah sebelumnya kau sudah pernah datang, ke tebing ini?" tanya Venka, sambil menoleh ke arah Draz, dan menatapnya dari samping.

"Sudah" jawab Draz, sambil mengganggukkan kepalanya, "Tapi saat itu, aku belum merasakan, yang namanya pembullyan. Meskipun kala itu, ayahku tetap bersikap keras, dan tak peduli padaku" sambungnya.

"Tapi, saat itu kau tak berpikir, untuk bunuh diri, kan?" tanya Venka kembali.

"Kalau tentang hal itu. . . Tentu saja iya. Bagaimana tidak? Seorang ayah, yang seharusnya peduli, dan bersikap baik pada anaknya, tapi malah bersikap terbalik" jawab Draz, tanpa menoleh ke arah gadis itu, "Tapi saat itu, aku masih menahan-nahan niat tersebut, dan mencoba untuk tetap terus bertahan. Namun, hal itu hanya sia-sia, karena pada akhirnya, aku tetap saja memilih, untuk mengakhiri hidupku, karena semakin lama, aku semakin merasa tersiksa, dan hidupku semakin tak ada artinya lagi" sambungnya, sambil tersenyum kecut.

Mendengar apa yang baru saja hantu itu katakan, membuat Venka jadi merasa semakin kasihan padanya. Lalu ia pun berkata, "Tapi, aku salut padamu Draz, karena kau lebih memilih, untuk mengakhiri hidupmu, dari pada kau menjadi pria yang nakal, yaitu dengan memakai obat-obatan terlarang, mabuk-mabukan, dan mempermainkan para wanita".

Draz pun kembali mendengus, dan tetap tidak menoleh ke arah Venka, lalu ia berkata, "Aku bukanlah pria, yang seperti itu, Venka. Meskipun aku mempunyai wajah yang tampan, tapi aku tidak mau, memanfaatkan hal itu, untuk mendapatkan para wanita yang kuinginkan, atau untuk sekedar bersenang-senang saja, apalagi jika mengajak mereka, untuk tidur bersama. Ck, aku tidak akan pernah, melakukan hal itu. Dan mabuk-mabukkan, atau memakai obat-obatan terlarang? Hal tersebut, tidak akan pernah menyelesaikan masalah, justru malah semakin menambah masalah. Memangnya, dengan melakukan hal-hal itu, hidupku akan menjadi lebih baik? Dan, semua penderitaan yang kurasakan, akan berakhir? Maka dari itu, lebih baik aku mengakhiri hidupku. Karena, hanya dengan cara seperti itu, semua rasa sakit, dan segala penderitaan, yang kualami akan berakhir, bersamaan dengan hidupku".

"Tapi, kenapa pada saat itu, kau tidak memiliki satupun teman? Atau seseorang, untuk sekedar mendengarkan isi hatimu" ujar Venka, sambil menatap hantu itu, dari samping.

"Seperti yang kau lihat di dalam mimpimu, Venka. Aku adalah seseorang yang pendiam, dan lebih suka, menghabiskan waktu seorang diri saja. Dan lagipula. . . Terkadang percuma, berbagi cerita pada orang lain, karena mereka hanya penasaran saja, bukan karena benar-benar peduli. Jadi lebih baik, aku memendam semua itu, seorang diri saja, tanpa ada satupun yang mengetahuinya" tutur Draz, yang masih menatap ke depan, dan tidak menoleh ke arah Venka sedikitpun.

Lagi-lagi, Venka pun kembali terdiam, dan semakin merasa begitu kasihan, pada teman hantunya itu. Namun ia merasa, apa yang baru saja Draz katakan, memanglah benar. Dan ia setuju, dengan hal itu.




*************************



Hari ini, adalah hari Senin. Dan pelajaran di kelasnya Venka, sudah selesai sedari tadi.

Dan saat ini, gadis itu tengah berada, di halaman belakang kampusnya, dan hanya seorang diri saja. Sebab, tadi setelah jam pelajarannya selesai, ia langsung buru-buru meninggalkan kelasnya, agar Edvard tidak mengikutinya.

"Argh. . . Akhirnya, sudah sampai part 25" gumamnya, ketika ia baru saja, selesai mengetik part ke-25, dari ceritanya hantu itu. Kemudian, ia pun menaruh laptopnya di sebelahnya, dan meregangkan otot-otot tubuhnya, yang terasa sedikit pegal.

"Venka"

Ia pun langsung menoleh, saya mendengar suara tersebut. Dan dapat ia lihat, Edvard yang baru saja mendudukkan tubuh di sebelahnya.

Melihat wajah pria itu, membuat Venka langsung mendengus sebal, dan memalingkan pandangannya, dari Edvard, "Mau apa kau ke sini?" tanyanya.

"Venka, aku datang ke sini, untuk meminta maaf padamu, atas apa yang telah kulakukan padamu, dua hari yang lalu" ujar Edvard, sambil menatap Venka, dari samping.

Venka pun kembali mendengus, dan memutar bola matanya, "Apa kau lupa? Kalau aku tidak mau, dan tidak akan pernah memaafkanmu" katanya.

"Iya, aku tidak lupa dengan hal itu, Venka. Tapi kumohon, maafkan aku. Karena aku sangat menyesal, sudah melakukan hal itu padamu. Dan aku berjanji, aku tak akan mengulanginya lagi" tutur Edvard, sambil menatap teman satu kampusnya itu, dengan dalam.

"Tapi sayangnya, aku tidak bisa percaya padamu lagi, Ed. Karena kau telah mengecewakanku" ucap Venka, sambil melipat kedua tangannya di dada, dan tanpa menoleh, ke arah sahabatnya itu.

Mendengar apa yang baru saja gadis itu katakan, membuat Edvard menghela nafasnya dengan kasar, dan menundukkan kepalanya, "Baiklah, aku bisa memakluminya, jika kau belum bisa memaafkanku, Venka. Tapi ku yakin, suatu saat kau pasti akan memaafkanku" ucapnya, yang kemudian menoleh ke arah Venka, dan menatapnya dari samping, "Dan, tolong sampaikan kata maafku, pada Draz" sambungnya. Dan kemudian, ia segera bangkit dari posisinya, dan berjalan meninggalkan Venka.

Segera Venka memutar bola matanya, dan memalingkan pandangan, ke sebelah kirinya, "Kau pantas untuk mendapatkan itu, Ed. Setelah, apa yang telah kau lakukan padaku. Dan kini, aku percaya dengan kata-katanya Draz, kalau Manusia adalah Monster yang sesungguhnya" katanya.
















To be continue. . .

The Ghost Friend [COMPLETED]Where stories live. Discover now