#50

69 18 0
                                    

"Tapi jika aku boleh memberikan saran, sebaiknya kalian segera berbaikan lagi. Dan, jika ada salah satu dari kalian yang salah, kalian harus saling memaafkan. Sebab, kalian sudah bersahabat, sejak lama kan? Yaitu, sejak 3 tahun, yang lalu"


"Apa sebaiknya, aku memaafkan Edvard saja? Tapi. . . Aku masih begitu kecewa padanya, dan belum bisa memaafkannya. Dan aku takut, jika ia mengulanginya lagi" gumam Venka, sambil menatap ke depan, dengan pandangan yang kosong.

Ya, saat ini Venka memang sedang memikirkan sesuatu, yang tadi siang dikatakan, oleh teman satu kelasnya. Dan sebenarnya, ia merasa tidak tega, jika harus terus-menerus membenci Edvard, dan ingin rasanya, ia segera memaafkannya. Namun ia merasa belum bisa memaafkan sahabatnya itu.

"Kenapa melamun?"

Ia pun langsung menoleh ke arah sumber suara, dan dapat ia lihat, Draz yang sedang duduk di sebelahnya, "Sejak kapan, kau berada di situ?" tanyanya, dengan dahinya yang ia kerutkan.

"Baru saja" jawab Draz, sambil menatap Venka, dari samping, "Apa yang sedang kau lamunkan?" tanyanya, dengan satu alisnya, yang terangkat.

Dengan kasar, Venka menghela nafasnya, dan memalingkan pandangannya, ke depan, "Aku sedang memikirkan Edvard" ucapnya, sehingga membuat hantu itu, langsung mengerutkan dahinya, "Tadi siang, teman satu kelasku mengatakan, kalau ia tidak sengaja melihat Edvard, yang sedang duduk seorang diri di kantin, sambil melamun. Dan sepertinya, ia sedang merenungkan kesalahannya" sambungnya.

Draz pun langsung menggangguk paham, setelah mendengar, apa yang baru saja gadis itu ceritakan. Lalu ia memalingkan pandangannya ke depan, dan berkata, "Jadi, kau merasa bersalah padanya, karena kau belum memaafkannya?".

"Benar" jawab Venka, sambil mengganggukkan kepalanya, dan menoleh ke arah Draz, "Bahkan, aku jadi merasa jahat, karena tidak mau memaafkannya" sambungnya, dengan raut wajah, seperti terlihat bersalah.

"Kalau begitu, kau maafkan saja dia. Dan lagipula, manusia tidak luput dari salah, bukan?" ujar Draz, yang kemudian menoleh ke arah Venka.

Segera Venka mengganggukkan kepalanya, dan menatap ke depan, "Iya, itu menang benar. Tapi saat ini, aku belum bisa memaafkannya, karena aku merasa, kesalahannya itu tidak bisa dimaafkan. Dan jujur saja, aku sudah terlanjur kecewa padanya" ucapnya.

Dengan berat, Draz menghela nafasnya, dan menepuk bahu gadis itu, "Venka, sebagai manusia harus saling memaafkan. Dan aku bisa memaklumi, jika saat ini, kau belum bisa memaafkan Edvard, karena kau masih begitu marah padanya. Tapi aku yakin, suatu saat kau pasti bisa memaafkannya" tuturnya, dengan disertai senyuman, yang terukir di wajahnya.

"Tapi, bagaimana jika suatu saat nanti, ia mengulangi kesalahannya lagi?" tanya Venka, sambil menoleh ke arah Draz.

"Jangan khawatir, hal itu tidak akan terjadi, karena selama aku masih berada di sini, aku akan selalu menjaga, dan melindungi mu. Ya. . . Anggap saja, aku adalah Malaikat Penjaga mu" jawab Draz, dengan disertai senyuman, yang masih terukir di wajahnya.

Venka pun hanya terdiam, dan memalingkan pandangannya, tanpa mengatakan apa-apa. Namun di dalam hatinya, ia merasa tidak ada salahnya, jika ia memaafkan Edvard, tapi ia berpikir, kalau ia belum bisa memaafkan sahabatnya itu.




************************




Pelajaran tengah berlangsung, di dalam kelasnya Venka. Namun sedari tadi, Venka malah terus saja melamun. Dan untungnya, dosen yang sedang mengajar di depan sana, tidak menyadari hal tersebut.

Perlahan, Venka pun menoleh ke arah Edvard, yang duduk di sebelah kirinya, dan dapat ia lihat, sahabatnya itu yang sedang berfokus menatap papan tulis, di depan sana. Bahkan, ia sampai tak menyadari, kalau Venka tengah memperhatikannya.

"Venka?"

Venka pun langsung terkejut, saat mendengar suara dosen, yang memanggil namanya. Segera ia menatap ke depan, dan kembali terkejut, saat melihat dosen itu, yang tengah memperhatikannya.

"Kenapa kau memperhatikan ke arah Edvard? Memangnya, papan tulisnya ada di sana?" ujar dosen itu.

Segera Venka menggelengkan pelan, dan menundukkan kepalanya, "T-Tidak pak" ucapnya.

"Kalau begitu, fokuslah ke depan, dan awas kalau saya lihat, kau sedang memperhatikan ke arah lain!" ucap dosen itu, yang terdengar seperti sebuah ancaman.

Namun Venka hanya mengganggukkan kepalanya saja, tanpa mengatakan apa-apa. Tapi tanpa ia sadari, Edvard sedang memperhatikannya dari samping, dan mengerutkan dahinya.


1 jam kemudian. . .


Kini, Venka sudah berada di halaman belakang kampusnya, dan tengah menikmati waktu istirahatnya.

"Ini untukmu"

Segera ia menoleh ke arah sumber suara, dan dapat ia lihat, Edvard yang sedang berdiri di sebelahnya, sambil memberikan sekotak orange juice padanya, "Tidak usah" ucapnya, yang kemudian memalingkan pandangannya, ke depan.

Dengan kasar, Edvard menghela nafasnya, dan mendudukkan tubuhnya, di sebelahnya Venka, "Aku tahu, kau masih marah padaku. Tapi aku ke sini, untuk memberikanmu ini, sebab saat di dalam kelas tadi--"

"Tidak usah membahas hal itu" ujar Venka dengan datar, sehingga membuat ucapannya Edvard, jadi terpotong.

"Baiklah" jawab Edvard, sambil mengganggukkan kepalanya, "Tapi terima lah ini, sebagai tanda maaf ku" sambungnya, yang kembali memberikan minuman tersebut, pada Venka.

"Tidak usah, untukmu saja" ucap Venka, yang tetap saja datar, bahkan raut wajahnya, terlihat begitu jutek, dan tak seperti biasanya.

Mendengar apa yang baru saja gadis itu katakan, membuat Edvard kembali menghela nafasnya, dan menundukkan kepala, "Aku tidak tahu, bagaimana caranya agar kau mau memaafkanku. Karena jujur saja, aku sudah begitu menyesali perbuatanku itu. Dan aku berjanji, aku tak akan mengulanginya lagi. Jika aku mengulanginya, kau bisa lakukan apa pun padaku, termasuk melaporkanku pada polisi, atau membunuhku" tuturnya, sambil menggenggam sekotak orange juice.

Segera Venka menoleh ke arah sahabatnya itu, dan menatapnya tanpa mengatakan apa-apa.

"Ya sudah, aku pergi dulu, karena kau pasti tidak mau aku ganggu. Ini minumannya, jangan lupa diminum, karena ku tahu, kau pasti haus" ujar Edvard, sambil menaruh minuman tersebut, di sebelahnya Venka. Dan kemudian, ia segera berdiri, dan beranjak pergi.

Tapi lagi-lagi, Venka hanya diam saja, dan menatap Edvard, tanpa mengatakan apa-apa. Lalu ia beralih menatap sekotak orange juice tersebut, dan mengambilnya, "Maafkan aku Ed, tapi aku masih butuh waktu, untuk memaafkanmu" batinnya, yang kemudian beralih menatap punggungnya Edvard, yang sudah mulai menghilang.















To be continue. . .

The Ghost Friend [COMPLETED]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora