#86

47 7 0
                                    

Venka belum bisa tertidur, dan masih memikirkan ucapan ayahnya, yang tadi. Padahal, kini waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Tapi entah kenapa, ia belum merasa kantuk, bahkan matanya masih terasa segar.


"Ternyata dugaanku, memanglah benar. Kalau ayah, ingin menyuruh Draz, untuk melamar dan menikahiku" gumam Venka, sambil menatap langit-langit kamarnya.

Lalu dengan berat, ia menghela nafasnya, dan berkata, "Benar-benar sangat disayangkan, karena duniaku dengan Draz, sudah berbeda. Sehingga, kami berdua tidak bisa bersatu. Tapi kurasa, itu adalah takdir, karena kami tidak berjodoh. Bahkan, kami dipertemukan saat ia sudah menjadi hantu. Padahal, Draz adalah seorang pria yang baik, dan sangat pengertian, serta penuh dengan perhatian. Ditambah, ia juga begitu tampan. Wanita mana, yang tidak akan jatuh cinta padanya?"

Namun tiba-tiba ia menguap, dan kedua matanya, mulai terasa kantuk.

"Sepertinya, aku harus segera tidur. Dan lagipula, besok aku harus berkuliah lagi" gumamnya, sambil menarik selimut, dan menutupi tubuhnya. Dan kemudian, ia pun mulai memejamkan kedua matanya.



************************

5 hari kemudian. . .

"Sepertinya, aku tidak akan bisa mengerjakan tugas itu" ujar Edvard, sambil mendudukkan tubuhnya, di sebelahnya Venka.

"Lho, kenapa seperti itu?" tanya Venka, sambil mengerutkan dahinya, dan menatap sahabatnya itu, dari samping.

"Karena tugasnya susah" jawab Edvard, sambil menatap ke depan.

Sebuah senyuman pun mulai terukir di wajahnya Venka, lalu ia memegang bahunya Edvard, dan berkata, "Ed, kau tidak boleh menyerah, sebelum perang. Lagipula, tugasnya tidak harus mendapatkan nilai yang bagus kan? Jadi sebaiknya, kau tenang saja, dan tetap mengerjakan tugas tersebut".

Dengan berat, Edvard menghela nafasnya, dan mengganggukkan kepala, "Iya, aku tahu hal itu. Tapi semakin lama, tugas yang diberikan semakin susah saja, membuat otak terasa seolah mendidih, karena terlalu banyak berpikir" ujarnya.

Mendengar apa yang baru saja Edvard katakan, membuat Venka langsung terkekeh, dan menggeleng-gelengkan kepalanya, "Sudahlah Ed, jangan terus-menerus mengeluh, sebaiknya kau jalani saja" katanya.

Ddrrrttttt dddrrttttt. . .

Mereka langsung menatap satu sama lain, saat mendengar ponsel yang bergetar.

"Apakah itu suara ponselmu?" tanya Edvard, sambil mengerutkan dahinya.

"Sepertinya iya, coba aku cek dulu" jawab Venka, sambil membuka tas ransel, yang dibawanya. Lalu ia mengambil ponselnya, yang berada di dalam sana, dan menatap layarnya, "Benar, ada panggilan masuk dari nomor pak produser" ucapnya, yang beralih menatap Edvard.

"Ya sudah, angkat saja. Siapa tahu penting" ujar Edvard.

Hanya dengan sebuah anggukkan, Venka menjawabnya. Lalu ia segera menjawab panggilan tersebut, dan mendekatkan ponsel, pada telinganya.

"Hallo Venka, selamat siang. Apakah, saya mengganggu waktumu?" sapa seseorang di sebrang sana, yang merupakan produser film.

"Iya pak, selamat siang juga. Kebetulan tidak, karena saya sedang berada di sebuah cafe" jawab Venka, sambil menyunggingkan senyuman, dan beralih menatap Edvard, yang duduk di depannya.

"Syukurlah. Ada sesuatu, yang ingin saya beritahu padamu, Venka"

"Sesuatu? Sesuatu apa pak?" tanya Venka, yang terlihat mulai penasaran, sambil mengerutkan dahinya.

"Begini Venka, sampai saat ini, jumlah penonton film mu, terus meningkat setiap harinya"

"Benarkah pak? Bapak sedang tidak bercanda, kan?" tanya Venka kembali, yang terlihat tidak percaya.

"Tentu saja tidak Venka, saya tidak akan bercanda, dengan hal seperti ini"

"Ah baik, lalu bagaimana pak? Apa yang harus saya lakukan?" tanya Venka.

"Tidak ada yang harus kau lakukan Venka, cukup menjalani aktifitas mu, seperti biasa. Dan, dengan semakin bertambahnya jumlah penonton, maka film mu akan semakin lama, berada di bioskop"

"Wah, saya senang sekali mendengarnya pak" ucap Venka, dengan disertai senyuman, yang terukir di wajahnya.

"Tentu, kau patut berbahagia, dan berbangga pada dirimu sendiri, atas hasil yang kau capai ini".

"Bukan aku harus yang berbahagia, melainkan Draz" ucap Venka, di dalam hatinya.

"Venka, kenapa kau diam saja? Kau tidak pingsan kan?"

Segera Venka tersadar dari lamunannya, dan menggelengkan kepala, "Tentu saja tidak pak, saya hanya masih merasa tidak percaya saja, karena rasanya seperti mimpi" dustanya.

"Tapi itu lah kenyatannya, Venka"

"Iya pak, dan saya begitu senang" jawab Venka, sambil mengganggukkan kepalanya, dan kembali menyunggingkan senyuman.

"Ya sudah, kalau begitu cukup sampai di sini dulu obrolan kita, karena saya tidak mau, mengganggu waktu bersantaimu terlalu lama"

"Baik saya, kalau begitu saya ucapkan terima kasih, atas berita bahagia ini" ujar Venka.

"Kau tidak perlu berterima kasih pada saya Venka, tapi berterima kasihlah, pada dirimu sendiri. Kalau begitu, selamat siang. Tut!".

Venka langsung menghela nafasnya dengan lega, dan menjauhkan ponsel, dari telinganya.

"Ada apa?" tanya Edvard, yang terlihat begitu penasaran.

"Kata pak produser, jumlah penonton film itu, terus bertambah setiap harinya" jawab Venka, sambil memasukkan ponselnya kembali, di dalam tasnya.

"Oh ya?" ucap Edvard, yang terlihat terkejut, "Kalau begitu, aku ikut bahagia, Venka. Dan itu artinya, impianmu memang sudah tercapai" sambungnya.

Sebuah senyuman pun mulai terukir di wajahnya Venka, lalu ia mengganggukkan kepalanya, dan berkata, "Benar, dan ini karena Draz".

Mendengar nama hantu itu, membuat raut wajahnya Edvard, langsung berubah dalam seketika. Karena bagaimanapun, ia tetap merasa cemburu, pada Draz. Apalagi jika mengingat, Draz dan Venka, yang semakin dekat saja. Namun ia hanya diam, sambil menundukkan kepalanya.














To be continue. . .

The Ghost Friend [COMPLETED]Where stories live. Discover now