#2

440 44 0
                                    

"Venka, apa kau sudah bangun nak? Ayo sarapan!" pekik seseorang.


Mendengar suara teriakan tersebut, membuat Venka langsung membuka kedua matanya, dan mengedarkan pandangan, ke seluruh kamarnya. Lalu ia menghela nafasnya dengan kasar, dan bangkit dari posisinya, "Jadi itu cuma mimpi?" gumamnya.

"Nevenka, ayo sarapan" pekik seseorang kembali, dari luar kamarnya Venka.

Venka pun kembali menghela nafasnya dengan kasar, dan beralih menatap pintu kamarnya, "Iya Bu, kalian sarapan duluan saja, aku ingin mandi dulu" pekiknya.

"Ya sudah, ibu tunggu di ruang makan ya" pekik seseorang di luar sana, yang merupakan ibunya Venka.

Namun Venka hanya menghela nafasnya saja, dan menundukkan kepalanya, sambil memikirkan mimpinya itu.

"Kenapa aku bisa memimpikan pria itu? Dan kenapa, pria itu dibully?" gumamnya, yang terdiam sejenak, sambil mengumpulkan nyawanya.

Kemudian, ia menghela nafasnya lagi, dan segera bangkit dari tempat tidur. Lalu ia berjalan menuju sebuah kamar mandi, yang berada di dalam kamarnya.



5 jam kemudian. . .



Saat ini, Venka sedang menikmati jam istirahat, di halaman belakang kampusnya. Di sana, adalah salah satu tempat favoritnya, karena suasana di situ begitu sejuk, meskipun pada siang hari sekali pun. Dan hal tersebut, dikarenakan pepohonan tinggi dan rindang, yang banyak tumbuh di sana.

Namun kini, Venka malah teringat kembali, dengan mimpinya yang tadi malam. Dan ia masih bertanya-tanya pada dirinya sendiri, mengapa ia bisa bermimpi seperti itu?

"Hey!" ucap seseorang, sehingga membuatnya langsung menoleh ke arah sumber suara. Dan dapat ia lihat, seorang pria yang baru saja datang, dan duduk di sebelahnya.

"Hai Ed" jawab Venka, dengan disertai senyuman, yang terukir di wajahnya.

"Kau sedang apa?" tanya pria itu, yang merupakan Edvard Ferenčak, dan ia adalah teman satu kelasnya Venka.

"Aku sedang menikmati suasana di sini, sambil memikirkan mimpiku, yang tadi malam" jawab Venka, sambil menatap ke depan.

Mendengar jawabannya Venka, membuat dahinya Edvard, jadi mengerut. Bagaimana tidak? Karena biasanya, Venka tak pernah memikirkan mimpinya. Bahkan, ia pernah mengatakan pada Edvard, kalau mimpi itu, hanyalah bunga tidur saja.

"Sebentar, sejak kapan kau jadi suka memikirkan mimpimu? Bukankah, dulu kau pernah mengatakan padaku, kalau mimpi itu, hanyalah bunga tidur saja, bukan?" ujar Edvard.

Dengan berat, Venka menghela nafasnya, dan menundukkan kepalanya, "Iya, mimpi adalah bunga tidur. Tapi entah mengapa, mimpiku yang tadi malam, terasa sangat berbeda, seperti nyata" katanya, yang kemudian menoleh ke arah Edvard.

Edvard pun langsung terdiam sejenak, dengan dahinya yang ia kerutkan. Lalu ia berkata, "Memangnya, tadi malam kau bermimpi tentang apa?".

"Tentang seorang pria, yang menjadi korban bully, di kampusnya" jawab Venka, sambil memalingkan pandangannya ke depan.

"Kurasa, itu mimpi yang biasa saja" ujar Edvard, sambil menatap Venka dari samping.

Segera Venka menoleh ke arah Edvard, dan menatapnya, "Tapi aku merasa, mimpi itu seperti nyata! Dan aku juga merasa, benar-benar berada di tempat tersebut" ucapnya, dengan nada bicara, yang sedikit lebih tinggi.

Namun Edvard malah terkekeh pelan, dan merangkul bahunya Venka, "Venka Venka~ Setiap orang, akan merasa seperti itu, bukan hanya dirimu saja. Saat kita sedang bermimpi, kita memang merasa, seperti berada di dalam mimpi kita itu" tuturnya.

Mendengar penuturannya Edvard, membuat Venka langsung menghela nafasnya dengan kasar, dan memalingkan pandangannya ke depan, tanpa mengatakan apa-apa. Dan kini, ia menjadi kesal, karena Edvard tak mengerti, dengan yang ia maksud.














To be continue. . .

The Ghost Friend [COMPLETED]Where stories live. Discover now