#31

104 26 0
                                    

"Jadi, 1 latte, dan 1 espresso, benar" tanya seorang pelayan, pada Edvard dan Venka.


"Iya benar, cukup itu saja" jawab Edvard, sambil mengganggukkan kepala, dan tersenyum pada pelayan itu.

"Baiklah, kalau begitu mohon tunggu sebentar" ucap pelayan itu, sambil membungkukkan sedikit tubuhnya, dan segera beranjak pergi.

Ya, saat ini mereka berdua memang sedang berada di sebuah cafe. Dan sehabis pulang kuliah tadi, Edvard mengajak Venka untuk mengobrol di sebuah cafe, yang berada di kota tersebut.

"Jadi bagaimana, kau sudah menanyakan hal tersebut padanya?" ujar Edvard, yang beralih menatap Venka, yang duduk di depannya.

"Sudah, dan ia bilang, ia mati di tahun 2019. Dan itu berarti, 1 tahun yang lalu" jawab Venka, sambil mengganggukkan kepalanya.

"Kalau begitu, sekarang kita cari beritanya di internet" ucap Edvard, sambil merogoh saku celananya, untuk mengambil ponselnya.

Namun Venka hanya mengganggukkan kepalanya saja, sambil memperhatikan ke sekitar cafe tersebut, yang tidak terlalu ramai.

Beberapa saat kemudian, Edvard menepuk tangannya Venka dengan pelan, dan berkata, "Benar! Beritanya ada di internet".

Segera Venka beralih menatap teman satu kampusnya itu, dan mengerutkan dahinya, "Benarkah? Coba kulihat" katanya.

"Ini" ucap Edvard, sambil menaruh ponselnya, di atas meja.

Tanpa mengatakan apa-apa, Venka pun segera meraih ponselnya Edvard, dan menatap layarnya. Namun kedua matanya langsung membulat, saat melihat beberapa artikel, yang terpampang di sana.

"Seorang pria melompat dari atas tebing, dan diduga karena Depresi" ucap Venka, saat membaca judul dari salah satu, artikel tersebut.

"Berarti benar, itu memanglah Draz" ujar Edvard.

Namun Venka hanya diam saja, dan beralih menatap Edvard sesaat. Lalu ia membuka artikel tersebut, dan mulai membacanya.

"11 Maret 2019,

Seorang pria berusia 24 tahun, ditemukan mengambang di permukaan laut, dengan kondisi yang sudah tidak bernyawa. Dan setelah diselediki, ibunya mengatakan kalau ia bunuh diri, karena diduga depresi. Sebab, hampir setiap harinya, ia menjadi korban bully, di kampusnya. Dan tidak ada satupun, yang menolongnya. Bahkan tangan kanannya sampai patah, karena dipukuli oleh para pembully tersebut"

"Benar, ini memanglah kasusnya Draz" ujar Venka, yang segera beralih menatap Edvard, yang duduk di depannya.

"Tapi, apakah para pembully itu, sudah dihukum atau dipenjara?" tanya Edvard.

"Aku juga tidak tahu, karena di artikel ini, tidak ada penjelasannya" jawab Venka, yang kembali menatap layar ponselnya Edvard.



************************



Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 10 malam. Dan saat ini, Venka sedang termenung di dalam kamarnya, dan berdiri di dekat jendela.

"Aku jadi teringat kembali, saat Draz dipukuli, oleh para pembully itu" gumamnya, sambil menatap keluar jendela. Ya, saat ini Venka memang kembali teringat, ketika Draz dipukuli, oleh Riley dan keempat temannya. Bahkan, ia masih ingat benar, bagaimana menderitanya Draz, kala itu.

Mengingat hal tersebut, membuat raut wajahnya Venka, berubah menjadi murung.

"Andai saja, waktu itu aku ada di tempat kejadian tersebut, pasti aku bisa menolong Draz, dan menghentikan para pembully itu. Dan dengan begitu, tangan kanannya Draz tidak akan patah, dan mungkin saja, ia tidak akan pernah bunuh diri" ucapnya, yang mulai merasa bersalah, dan mengusap lengannya.

"Itu bukan salahmu, Venka"

Segera ia menoleh ke arah sumber suara, dan dapat ia lihat, Draz yang sedang berdiri, tidak jauh di belakangnya, "Draz? Sejak kapan, kau berdiri di sana?" tanyanya, dengan dahinya yang ia kerutkan.

Sebuah senyuman pun mulai terukir di wajahnya Draz, lalu ia berjalan menghampiri Venka, dan berdiri di sebelahnya, "Belum lama" katanya, sambil menoleh ke arah Venka, "Kau jangan bersedih, apalagi menyalahkan dirimu sendiri, karena itu bukanlah salahmu" sambungnya.

"Iya, itu memang bukan salahku. Tapi andai saja, waktu itu kita sudah saling kenal, seperti sekarang ini. Maka kuyakin, aku bisa menghentikan, apa yang dilakukan, oleh para pembully itu. Dan jika kala itu, kita sudah saling kenal, maka kuyakin kau tidak akan pernah bunuh diri. Karena aku tak akan membiarkanmu, melakukan hal tersebut. Ditambah, aku begitu tidak tega, saat melihatmu yang kesakitan, saat para pembully itu memukulimu dan menyiksamu habis-habisan, seakan kau telah melakukan kesalahan, yang fatal" tutur Venka, sambil menundukkan kepalanya, dengan matanya yang mulai berkaca-kaca.

Segera Draz menarik Venka ke dalam pelukannya, dan mengusap-usap punggungnya.

Namun pada saat itu pula, Venka merasakan seperti sedang dipeluk, dengan es balok. Karena ia merasa, begitu dingin.

"Jangan bersedih, Venka. Itu bukanlah salahmu, melainkan takdir. Takdir yang sudah digariskan untukku. Jadi kumohon, kau jangan bersedih dan menyalahkan dirimu, karena aku tidak tega, melihatmu bersedih apalagi jika sampai menangis. Dan kau jangan khawatir, sekarang aku sudah tak merasakan sakit lagi, ataupun menderita. Bahkan aku merasa begitu lega, dan juga bahagia, karena semua penderitaan yang kurasakan, sudah hilang begitu saja, bersamaan dengan hilangnya nyawaku" tutur Draz, dengan disertai senyuman, yang terukir di wajahnya.

Perlahan, Venka pun membalas pelukannya Draz, dan air mata, mulai membasahi wajahnya. Ya, apa yang baru saja Draz katakan memanglah benar, tapi tetap saja Venka merasa bersalah, karena waktu begitu telat, mempertemukannya dengan hantu tersebut.














To be continue. . .

The Ghost Friend [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang