#73

47 10 0
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, dan saat ini, Draz sedang berada di sebuah rumah, yang merupakan rumahnya, sewaktu ia masih hidup.


"Bu, ayah ke mana?" tanya seorang anak perempuan, yang merupakan adiknya Draz.

"Ayah sedang ke makam kakakmu, nak" jawab wanita paruh baya, yang merupakan ibunya Draz.

"Ke makam kakak? Untuk apa? Ini kan sudah malam" ujar anak perempuan itu, yang terlihat bingung.

Sebuah senyuman yang tipis, mulai terukir di wajah wanita paruh baya itu, lalu ia memegang bahu putrinya, dan berkata, "Katanya ia rindu pada kakakmu".

"Rindu? Untuk apa ia rindu pada kakak? Bukankah, ia tidak pernah peduli padanya? Bahkan, sewaktu ia masih hidup, ayah malah menyia-nyiakannya, seolah kak Draz bukanlah anaknya" ujar adiknya Draz.

Mendengar apa yang baru saja putrinya katakan, membuat wanita paruh baya itu menjadi sedih, tapi ia tetap tersenyum, dan berkata, "Kau tidak boleh berkata seperti itu, nak. Bagaimana pun, ia adalah ayahmu, dan ia sudah menyesali perbuatannya".

"Percuma menyesal, karena sekarang kak Draz sudah tiada!" ucap adiknya Draz, yang langsung berlari begitu saja.

Melihat pemandangan tersebut, membuat Draz menjadi sedih, dan menghela nafasnya dengan kasar. Tapi untungnya, saat ini ia sedang tidak menjelma menjadi manusia, sehingga siapapun tidak bisa melihatnya, termasuk keluarganya. Dan kemudian, ia pun segera menghilang dari sana begitu saja.

Beberapa saat kemudian. . .

Kini, Draz sedang berada di sebuah pemakaman, yang begitu sepi dan juga gelap. Ia pun berjalan di sekitar pemakaman tersebut, dengan kedua matanya, yang sibuk memperhatikan sekitar.

Namun tiba-tiba, ia langsung menghentikan langkahnya, saat melihat seorang pria paruh baya, yang sedang berjongkok, di dekat sebuah makam, tak jauh di depan sana.

Segera ia berjalan menghampiri pria itu, dan berdiri di dekatnya.

"Draz, maafkan ayah karena selama ini, sudah menyia-nyiakanmu. Sungguh, ayah sangat menyesal, karena sudah memperlakukanmu, dengan sangat tidak baik" ujar pria paruh baya itu, sambil memegang batu nisan, dari makam tersebut.

Ya, makam itu memanglah makamnya Draz, dan pria paruh baya itu, adalah ayahnya Draz.

"Andai saja, waktu bisa diulang kembali, maka ayah akan memperlakukanmu dengan sangat baik, dan akan begitu menyayangimu. Tapi sayang, semuanya sudah terlambat. Dan ayah sangat menyesal, karena telah menyia-nyiakan mu, sehingga membuatmu menjadi depresi, dan memilih untuk bunuh diri. Ayah yakin, kau tidak akan pernah melakukan hal itu, kalau saja ayah bersikap baik padamu" tutur ayahnya, dengan air mata yang perlahan mulai membasahi pipinya.

Sebuah senyuman pun mulai terukir di wajahnya Draz, lalu ia berkata dengan mata yang berkaca-kaca, "Penyesalan selalu datang terlambat, Yah. Karena semuanya telah terjadi, nasi telah menjadi bubur".

"Draz, maafkan ayah. Kau pasti sangat membenci ayah, kan? Tidak apa-apa, ayah dapat memakluminya, karena itu memang salah ayah. Tapi kau harus tahu, ayah bersikap keras padamu, agar kau bisa menjadi seorang pria yang kuat, dan tahan banting, bukan karena ayah tak menyayangimu" ujar ayahnya, yang masih memegang batu nisannya Draz.

"Aku sudah memaafkan mu, jauh sebelum kau meminta maaf, Yah. Dan kutahu, kalau kau pasti begitu menyayangiku" ucap Draz, sambil menyunggingkan senyuman, dan air mata yang mulai membasahi pipinya.

Karena tak ingin berlarut dalam kesedihan, Draz pun memutuskan untuk pergi dari sana, dan menghilang begitu saja.




*************************




Seperti yang sudah-sudah, hampir setiap malam, Venka selalu sibuk menatap layar laptop, dan mengetik ceritanya, begitu pula dengan malam ini.

"Ku kira, kau sudah tidur"

Mendengar suara itu, membuatnya langsung menghentikan aktivitasnya, dan menoleh ke arah sumber suara, dapat ia lihat, Draz yang sedang berjalan menghampirinya, dalam wujud dirinya sendiri. Dan, jika dalam wujud seperti itu, maka ia tidak bisa dilihat oleh orang lain, terkecuali jika ia ingin menampakkan dirinya, pada orang tersebut.

"Belum, aku sedang mengetik ceritaku" jawab Venka, dengan disertai senyuman, yang terukir di wajahnya.

Namun Draz hanya mengganggukkan kepalanya saja, dan mendudukkan tubuhnya di sebelahnya Venka.

Melihat Draz yang hanya diam saja, membuat Venka menjadi bingung, dan mengerutkan dahinya, "Tumben kau diam saja, biasanya banyak bertanya" ucapnya, sambil menatap hantu itu, dari samping.

Draz pun menghela nafasnya dengan kasar, dan menundukkan kepala, "Aku habis dari rumahku, dan mengunjungi keluargaku" ujarnya.

"Oh ya? Lalu bagaimana, mereka baik-baik saja, kan?" tanya Venka.

"Mereka baik-baik saja, tapi sepertinya, adikku membenci ayahku" jawab Draz, yang masih menundukkan kepalanya.

"Membenci ayahmu? Kenapa seperti itu? Memangnya, apa yang telah ia lakukan pada adikmu?" tanya Venka kembali, yang terlihat semakin bingung.

"Ia tidak melakukan apa-apa pada adikku, hanya saja adikku membencinya, karena ia berpikir, kalau ayahku lah penyebab kematian ku" jawab Draz.

"Penyebab kematian mu?" ucap Venka, dan Draz langsung mengganggukkan kepalanya, "Tapi kurasa, adikmu ada benarnya juga. Maksudku, kau bunuh diri kan, karena ayahmu selalu bersikap begitu keras padamu, seolah kau bukanlah anaknya, sehingga membuatmu jadi depresi" sambungnya.

Dengan kasar, Draz menghela nafasnya, dan menoleh ke arah Venka, "Benar, tapi ia sudah menyesali perbuatannya itu. Karena tadi, saat aku datang ke rumah, rupanya ia sedang ke pergi, untuk mengunjungi makam ku, dan setelah aku menghampirinya, ia sedang menangis di sana, dan menyesali perbuatannya" tuturnya.

"Syukurlah, kalau ia sudah menyesalinya. Tapi sayang, penyesalannya tidak akan membuatmu hidup kembali" ujar Venka, sambil memalingkan pandangannya, dari hantu itu.

"Benar, karena nasi sudah menjadi bubur" ucap Draz, sambil menggangguk setuju, dan mengiyakan ucapannya Venka.














To be continue. . .

The Ghost Friend [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang