81 - Kisah kamera penguntit

Mulai dari awal
                                    

Rahmat mengusap kepalanya. Dania mulai menangis.

"Kenapa coba huh? Kenapa hidup gue gak ada enaknya sama sekali? Gue tuh udah kayak mau nyerah. Mau ngakhirin semuanya. Gue udah gak kuat lagi." nada bicaranya meninggi. Rahmat terus memperhatikannya.

"Lo nangis aja, keluarin semua bebannya. Teriakin juga gapapa. Gue ngerti kok."

Dania menoleh dan berteriak.

Angin mulai berhembus kencang. Cuaca mulai terasa dingin. Rahmat melihat Dania sesekali mengepal tangannya kedinginan. Ia melepas jaketnya dan memakaikannya pada Dania.

Teriakannya terhenti saat Rahmat memberi tubuhnya jaket. Ia menatapnya. Rahmat tersenyum dan merebahkan kepala Dania ke bahunya.

Darisitu tangisan Dania semakin menjadi. Ia benar-benar mengerahkan semua air matanya untuk melimpahkan kekesalannya. Rahmat memeluknya. Setidaknya itu mungkin membuatnya lebih tenang.

Beberapa menit kemudian.

Rahmat meneliti. Ia melihat Dania melamun di bahunya. Matanya sembab. Hidungnya merah. Wajahnya basah oleh air mata.

Rahmat merapikan rambutnya. Mengusap air matanya dan memberikan senyuman hangatnya.

"Diantara semua masalah yang paling gue bisa bantu cuma masalah Citra. Masalah yang lain terlalu privasi. Itu tergantung lo. Tapi yang jelas gue selalu berusaha buat ganti posisi Erfan dihati lo."

Deg.

Hening.

"Besok kita cabut CCTV nya. Terus kita bicara baik-baik sama Citra ya. Gak baik musuhan lama-lama. Gimanapun dia pernah selalu ada kan buat lo?"

Dania menghela napas. Ia merasa beruntung bisa kenal dan dekat dengan lelaki seperti Rahmat.

***

Esoknya sepulang sekolah Rahmat menjemput Dania dan pergi ke rumahnya. Di rumah masih sepi. Bu Desi dan suami barunya belum pulang mengajar. Begitupun Kak Tya yang belum pulang untuk bertemu dengan calon mertuanya.

Dania menyimpan tas di kursi. Rahmat mulai berkeliling memeriksa.

Ia menemukan satu CCTV di ujung sudut ruang tamu.

"Dan ini dia. Tolong ambilin kursi."

Dania mengambil sebuah kursi di meja makan. Rahmat naik dan berusaha mencabut kamera kecil itu.

Setelah tercabut mereka kembali berkeliling. Memeriksa setiap sudut ruangan. Dan akhirnya...

"Mat itu." Dania menunjuk ke sudut kamarnya.

"Yaampun sampe ke kamar segala."

Rahmat hendak naik ke kursi rias Dania. Namun Dania menahannya. Ia ingin Citra melihat semua ini. Dania mengajak Rahmat untuk bertingkah konyol dan seolah olah kesal dengan kamera pengintai itu.

Disisi lain Citra sendiri sedang memeriksa rekaman. Ia benar-benar terkejut saat Dania dan Rahmat bertingkah seperti itu. Tapi bagaimana mereka tahu adanya kamera kecil yang selama ini mengintai Dania?

"Hah? Kok..." kata Citra kesal dan langsung bangkit dari duduknya. Ia menggebrak meja dan mengumpat.

"Hallo Citra."

Citra menoleh. Ia seratus persen kaget saat sosok Dania dan Rahmat tiba-tiba ada dibelakangnya.

"Ka.. Kalian. Kok bisa...." tanya Citra gugup. Ia berusaha menutupi seluruh layar laptopnya.

Dania senyum sinis. Rahmat menyerahkan sebuah kantung kresek hitam yang isinya dua kamera itu.

"Nih ambil lagi. Kita gak butuh."

Dania tersenyum lagi dibuatnya. Ia sangat puas akan ekspresi kaget dan gugupnya Citra saat itu.

"Kenapa? Kaget? Atau takut?"

"Dan gue bisa jelasin."

"Jelasin apa lagi? Gak perlu dijelasin lagi. Orang semuanya udah jelas."

"Tapi Dan.."

Dania memutar video rekaman yang kemarin Rani perlihatkan padanya. Rekaman yang memperkuat semua perbuatannya.

Citra menganga. Ia sudah tak bisa berkata apa-apa lagi.

"Puas lo puas huh?" bentak Dania. Kebetulan saat itu Ibu Citra sedang tidak ada di rumah. Ya mungkin dia pergi mencuci baju di sungai seperti rutinitasnya sehari-hari.

"Gue kira lo berubah dengan tulus. Tulus buat jadi temen gue. Tulus buat baik selama ini ke gue!"

"Dan. Gue gak bermaksud gitu." Citra meraih lengannya. Lantas Dania melepaskannya.

"Kalo lo masih iri, masih benci bilang aja. Mending jujur kayak dulu daripada bermuka dua kayak gini."

Citra menghela napas. Ia bersiap untuk melawannya.

"Oke. Iya gue masih sirik iri benci sama lo, sama kehidupan lo yang sempurna. Dari dulu perasaan itu gak berubah sedikitpun. Selama ini gue emang pura-pura baik. Pura-pura care. Pura-pura selalu ada buat lo. Kenapa? Karena gue ingin lebih tau seluk beluk kehidupan lo yang serba ada itu. Puas?"

Dania terhentak. Kakinya melemas. Ia hampir terjatuh dan Rahmat menahannya dari belakang.

Dania sudah kehabisan kata. Badannya sudah lemas semua.

"Kita pulang aja Dan." ajak Rahmat.

"Gak, gue harus selesain masalah ini."

"Terus sekarang mau lo apa?" tanya Dania merendah

Citra kelihatan bingung. Ia terduduk dan menangis.

"Gak usah nangis. Lo tinggal jelasin apa yang lo mau. Apapun yang berhubungan sama kehidupan gue lo benci. Gue gak tau harus berbuat apa."

"Bukan cuma kehidupan lo yang gue benci. Gue pun benci sama diri sendiri. Semua yang gue lakuin gak ada baiknya sama sekali. Ada orang yang bisa nerima gue jadi sahabatnya tapi malah gue sia-siain. Gue balas kebaikannya sama kebencian gue. Maafin gue Dan."

"Gue juga gak tau harus berbuat apa. Gue udah bener-bener hancur dimata lo." lanjutnya

Dania terdiam lalu perlahan mendekati Citra.

"Gue maafin lo. Asal lo jangan ngulangin lagi. Jadiin pelajaran aja. Cuman ya maaf kalo misalkan gue belum bisa kayak dulu lagi. Hati gue udah terlanjur hancur. Udah sekarang lo bangun. Perbaiki diri. Belajar. Sebentar lagi kan mau Ujian Nasional. Sayang loh. Lo juga kan anak yang berprestasi. Gue pamit pulang. Makasih semuanya."

Dania dan Rahmat pergi. Citra menyesal atas semua perbuatannya.

•••

Diam [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang