15 - Olimpiade

8.2K 282 2
                                    

Minions si kuning. Minions si kuning. Gambar itu masih terngiang dipikirannya. Ia tak bermaksud untuk ambigu. Hanya saja si kuning bermata satu itu entah mengapa selalu hadir dalam ingatannya. Padahal kartun kesukaan Dania si kuning kotak.

"Aduh aduh minions nyebelin banget sih. Emang ganggu banget!" Dania mencaci dalam hatinya

"Anak-anak hari ini ibu bagikan hasil ulangan kemarin ya."

Ibu guru itu lantas memanggil satu persatu murid lalu memberinya sebuah kertas bercoretkan nilai.

"Dania. Lagi dan lagi kamu mendapatkan nilai yang tertinggi di kelas. Bahkan kamu bisa meraih juara umum lagi tahun ini." puji beliau

Semua mata memandang. Dan mengucapkan selamat padanya.

Dania tersipu malu. Lalu ia bangkit untuk menerima kertas nilai miliknya.

"Dania istirahat nanti kamu temui ibu di ruang guru ya."

"Baik bu."

Disisi lain Citra menatap sinis.

Entah mengapa hari ini mentari agak terlambat untuk bersinar terang. Siang ini agak mendung. Sungguh!

Dania memenuhi keinginan bu Vivi untuk menemuinya di ruang guru. Ia kini tengah berhadapan dengan beliau.

"Dania. Ibu dan pihak sekolah sudah sangat puas dan bangga akan hasil belajar kamu. Kini saatnya kami untuk mengapresiasikannya. Kamu mau kan dapat beasiswa penuh selama kuliah?"

Dania berpikir.

"Ini formulir isiannya. Kamu tinggal mengisinya dan menyerahkannya kembali sebelum semester delapan. Kami akan sangat bahagia sekali jika kamu menerima semua ini."

"Tapi bu saya belum memikirkan hal itu."

"Kamu berunding dulu sama orang tua dan pihak keluarga. Jangan ragu untuk memilih apa yang terbaik bagi kamu. Ibu sangat menantinya." bu Vivi lagi-lagi mengulang senyum manisnya yang membuat Dania kikuk.

"Dia dapet beasiswa penuh selama kuliah? Enak banget. Sampe kapan dia jadi murid kesayangan sekolah? Gue bakal berusaha buat merebut itu semua." bisik Citra yang ternyata sedang menguping dibalik pintu ruang guru.

"Oh iya. Beberapa menit lagi akan ada pengumuman di Aula. Kamu kesana gih." bu Vivi bukannya mengusir namun menyuruh Dania untuk mengetahui pengumuman apa yang akan segera tersampaikan oleh pihak sekolah.

"Baik bu. Saya pamit dulu. Terimakasih." Dania bersalaman lalu meninggalkan ruang guru bersama Citra yang menguntitnya dari belakang.

"Selamat siang muridku sekalian. Siang ini bapak akan mengumumkan sesuatu yang akan membuat kalian sangat heboh." kata Pak kepsek di panggung aula

"Ujian?"

"Pensi?"

"Artis berkunjung?"

Semua pertanyaan itu serentak keluar dari mulut mereka.

"Lusa..." sambung Pak kepsek

"Lusa gue nikah." celetuk Erfan

"Edannnn..." seru yang lain

"Lusa akan diadakan Olimpiade Nasional di Senayan Jakarta. Dan yang akan mewakili sekolah kita adalah Dania Putri dan Citra Kusuma dari kelas 12."

Tepuk tangan meriah menyambut. Dua perwakilan sekolah itu tak menyangka jika merekalah yang akan terpilih.

"Gue? Lusa? Oke minta Dani beliin kopi sekardus." komentar Dania

"Asikk akhirnya gue diakui sekolah juga. Semoga dengan ini mereka bisa ngasih beasiswa kuliah itu buat gue." komentar Citra

"Bagi kalian yang ingin jadi suporter silahkan daftarkan nama kalian kepada bu Vivi. Semangat!" Pak kepsek akhirnya mengakhiri suasana ricuh di Aula ini.

Lusa lusa lusa. Hari yang menanti Dania dan Citra akhirnya datang. Sehari setengah yang lalu mereka habiskan untuk belajar dan belajar. Bahkan sebelumnya pun mereka diperbolehkan untuk tidak mengikuti KBM dan hanya diminta untuk tetap fokus pada olimpiade.

Satu bus pariwisata sudah terisi penuh. Kebanyakan dari mereka adalah teman sekelas Dania dan Citra sendiri. Termasuk Erfan! Ia ditugaskan untuk mendata dan mengabsen semua siswa yang ikut.

"Citra ayo masuk." katanya

Namun seorang wanita paruh baya dengan penampilan yang lusuh menahannya.

"Citra kamu lupa bawa bekal." wanita yang ternyata ibunya itu menyodorkan sebuah kotak makan.

"Ini pembantu di rumah gue. Hehe." Citra berbicara pada Erfan yang tengah sibuk memperhatikannya.

"Iya bi aku lupa. Makasih ya. Udah sana bibi pulang."

"Bibi?" tanya ibunya lirih. Putrinya itu tak menghiraukannya lagi. Kini ia sudah berada diantara banyaknya siswa yang sudah memenuhi bus.

"Kami pamit. Hati-hati dijalannya bu." ucap Erfan seraya naik dan menutup pintu bus

Jelas sakit hatinya saat ini. Batinnya sangat tergores atas perlakuan anak satu-satunya itu. Kasian. Padahal beliau sudah tua renta bahkan sudah bongkok.

•••

Diam [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang