65 - Rumor

2.6K 122 2
                                    

Galau terus saja melanda. Sesosok Erfan tak mau pergi dalam benak Dania. Bagaimanapun dia adalah orang baik yang pernah singgah dikehidupannya.

Bagaimana ya keadaannya sekarang? Apa dia baik-baik aja? Dia udah makan?

Entahlah kekhawatiran ini selalu saja muncul. Dania takkan pernah bisa melupakan seseorang begitu saja. Apalagi Erfan sangat berarti.

Hari kamis, saat jamkos.

"Dan lo kenapa galau mulu?" tanya Citra yang duduk disampingnya.

"Nggak."

"Erfan?"

Dania lantas menoleh.

"Nggak kok."

"Jangan dipendem gitu ah. Ayo cerita siapa tau gue bisa bantu."

Dania hening. Lalu beberapa saat akhirnya ia menceritakan semuanya.

"Bangsat." komentar Citra dengan nada tinggi.

"Awalnya aja mati-matian biar bisa dapetin lo. Eh giliran udah dapet malah disia-siain. Goblok. Eh btw kalian udah putus apa gimana nih?"

"Nggak tau."

"Loh?"

"Dia maupun gue gak bilang putus. Semua berjalan dengan sendirinya. Lagian kan dia udah lamaran juga sama Dian. Ya pasti gue sama dia putus lah."

"Sialan!"

"Udah Cit. Gue juga udah nggak mau mikirin dia. Walau masih susah."

"Fighting! Diluaran sana masih banyak yang seribu kali lebih baik dari dia."

"Iya." Sekeras-kerasnya Dania pikirkan pun, ia tak pernah mengerti apa salahnya sehingga Erfan tak ragu untuk melakukan itu padanya.

Satu minggu, dua minggu bahkan satu bulan pun tak pernah terdengar lagi kabar dari Erfan. Mungkin dia sudah tak lagi memikirkan Dania.

Tapi sebaliknya. Dania malah penasaran dan berniat untuk pergi ke rumahnya sepulang sekolah.

"Assalamualaikum."

"Assalamualaikum." belum ada yang menjawab atau membuka pintu.

"Neng?" panggil seseorang. Ia menoleh. Ibu-ibu dilihatnya.

"Cari siapa?" lanjutnya. Mungkin tetangganya atau seseorang yang tinggal disekitar sini.

"Em Erfan kemana ya bu? Saya ketuk dari tadi gak ada yang nyaut."

"Erfan? Keluarga gila itu?"

"Ma..maksud ibu?"

"Mereka kan udah lama pindah. Lagian kenapa sih kamu cari mereka? Emangnya gak takut ya?"

"Takut?"

"Iya. Mereka tuh ya pada gila semua semenjak Pak Haris meninggal."

"Pak Haris siapa ya bu?"

"Ya bapaknya si Erfan lah."

"Bukannya beliau kerja diluar kota?"

"Itu dia. Jadi dulu tuh ya Pak Haris mau poligami. Udah siap akad gitu. Tapi pas dijalan mobil mereka kecelakaan. Di dalemnya ada Erfan sama ibunya juga. Tapi yang meninggal Pak Haris sama supirnya doang. Udah mah mau punya istri baru, bapaknya meninggal, stress lah mereka tuh. Jadi selalu bayangin kalo Pak Haris masih ada." celotehnya.

"Gak mungkin."

"Udah ah ya neng malah jadi ngegosip gini hehe." ibu itu pergi dengan jinjingan belanjaannya.

Dania bingung sebingung-bingungnya. Apa lagi ini? Benarkah semua yang dikatakan ibu-ibu barusan? Tapi yang selama ini terlihat mereka normal-normal saja. Atau mungkin...

"Terus harus gimana?" Dania mengusap wajahnya dan nampak gelisah. Sesaat ia teringat bahwa no hp Erfan masih tersimpan. Lantas Dania pun menelponnya.

Tutt.. Tutt..
Tersambung, tapi tidak diangkat.

"Erfan...." Mata Dania berkaca-kaca. Ia terus saja menelponnya tanpa henti.

Satu jam kemudian ia menyerah. Mungkin inilah takdirnya. Dania dan Erfan takkan pernah lagi bisa bertemu apalagi bersama. Sudahlah. Keadaan sudah memaksa untuk melupakannya.

Dania menjauh dan berjalan meninggalkan rumah itu.

Tittttt...
Suara klakson itu sangat nyaring. Klakson dari sebuah motor Matic.

Dania terperanjat. Motor itu berhenti.

"Lo gakpapa?" tanya lelaki itu membuka helm.

Dia...

"Lo gakpapa?" tanyanya lagi pada Dania yang malah bengong.

"Em gakpapa." jawabnya gugup. Wajah itu rasanya sangat familiar. Tapi siapa?

"Yaudah." lelaki itu mengangguk dan kembali menjalankan motornya.

Tapi ternyata dia berhenti di sebuah rumah di samping rumah Erfan. Dia tetangganya.

"Oh." kata Dania dalam hati dan berbalik meneruskan langkahnya. Namun ia baru tersadar akan sesuatu.

"Eh dia kan Reynand anak Psikolog UI itu. Dia tetangganya Erfan? Mungkin gue bisa tanya sesuatu sama dia."

Dania berpikir.

"Iya gue harus tanya dia."

"Dania." langkah Dania terhenti. Ia berbalik dan didapatinya Rahmat.

"Lo ngapain disini?" tanya Rahmat seolah-olah tak tahu kalau itu rumahnya Erfan.

"Mat." Dania tak tahu harus berkata apa.

"Gue anter pulang ya."

"Gue masih belum pengen pulang."

"Ini udah sore. Bentar lagi maghrib."

"Duluan aja."

"Dan.. Ayo." Rahmat keukeuh.

"Yaudah." Dania naik sambil terus memperhatikan rumah Reynand. Mungkin lain waktu dia bisa menanyakan sesuatu padanya.

***

"Hallo Dan." sahut Citra dalam video call.

"Hai." jawab Dania yang berbaring diatas kasur.

"Udah gak galau kan?"

"Gak tau nih."

"Kok gitu? Kita nonton aja yuk."

"Gue gak mood Cit."

"Yah. Jangan mikirin Erfan terus lah."

"Dia segalanya bagi gue."

"Dan masih banyak diluaran sana yang..."

"Sekali Erfan tetep Erfan." Dania ngotot. Citra terdiam sejenak.

"Gue yakin ada sesuatu yang salah."

"Salah gimana?"

"Gue belum bisa jelasin. Gue masih harus gali informasi lebih tentang dia."

"Em. Kalo bisa gue bantu deh." kata Citra. "Eh bentar Toni nelpon." Citra meraih ponselnya karena video call itu berlangsung lewat laptopnya.

"Toni? Gue pasti bisa tanya sesuatu sama dia. Gimanapun dia sahabat baiknya Erfan kan." bisik Dania dalam hati.

"Em Cit. Gue boleh minta nomernya Toni gak?"

"Hah?"

"Gak bakal gue tikung sumpah. Gue butuh dia sebagai informan."

•••

Diam [COMPLETED]Where stories live. Discover now