64 - Cinta Datang Terlambat

3.1K 138 8
                                    

Kenyataan itu sungguh menyebalkan. Sebuah kenyataan yang membuat Dania tak ingin bernapas lagi rasanya. Sungguh!

Dania berlari ke kamar dan langsung mencuci muka. Dia terus melamun sambil menatap pantulan dirinya sendiri di kaca toilet.

Matanya sembab, wajahnya memerah. Ia meratapi nasib percintaannya yang amat perih itu.

"Seandainya aku tahu akan sesakit ini. Pasti sebelumnya aku akan memilih tempat dimana seharusnya hatiku berada." Dania yang galau tiba-tiba mendadak puitis.

Sakit. Benar-benar sakit. Jika kalian menganggapnya lebay terserah. Yang pasti kalian akan mengerti saat kalian sendiri yang merasakannya.

Tetesan air mata keluar lagi dari pelupuknya. Entah sedalam apa luka ini. Erfan yang dulu jauh berbeda dengan yang sekarang. Seperti kata orang. Cowok itu dari 100-0. Kalian tahu apa artinya? Cowok biasanya berjuang diawal dan kalau sudah didapat mereka berlaku seenaknya. Tidak semuanya. Tapi kebanyakan.

Dania berusaha untuk menahan semuanya. Tidak baik juga berlarut dalam kesedihan menangisi seorang lelaki brengsek sepertinya. Tapi dalam lubuk hatinya kata brengsek terdengar terlalu jahat untuk Erfan. Dania benci dia. Tapi sayangnya hatinya berkata tidak.

Ia meraih sebuah buku dan naik ke atas kasur. Ia memakai kacamata dan menarik selimut mencari posisi enak untuk membaca.

Tok.. Tok..
Krekk..

"Dania ada temen kamu tuh." kata Mamah dan berlalu setelahnya.

Teman? Siapa yang datang malam-malam begini? Dania turun dan mendapati seorang cowok di ruang tamu.

"Eh Dania." senyuman itu hadir kembali

"Jajang?" Dania menghampirinya. "Ada apa?"

"Bisa kita ngobrol diluar sebentar?"

Dania mengiyakan ajakannya dan memilih duduk di kursi teras depan.

"Kamu kenapa?"

"Hmm?" Dania tak mengerti maksudnya

"Aku khawatir kamu buat story galau terus di Whatsapp. Ada masalah?"

"Nggak kok Jang." Dania berusaha senyum senatural mungkin

Namun jari-jemarinya tiba-tiba mendarat di pipi Dania. Tepatnya di kelopak mata bawah yang sembab.

"Kamu nangis. Aku tau itu." Jajang mengusapnya sebentar dan kembali menarik lengannya.

"Aku beneran gakpapa Jang." Kalian tahu Dania berbohong. Tapi menurutnya memendam semuanya sendiri lebih baik tanpa harus menceritakan detailnya pada orang lain. Setidaknya itulah yang selalu ia lakukan setiap kali bersedih.

"Gakpapa kalo kamu nggak mau cerita. Liat kamu senyum aja udah cukup."

Dania tersenyum, sungguh.

"Kamu belum ke Bandung lagi?"

Seperti yang kalian ketahui Jajang itu teman SMP Dania yang asli orang Jakarta. Tapi semenjak SMP ia tinggal di Bandung sampai sekarang. Itulah kenapa mereka bisa satu sekolahan karena memang Dania sendiri pindah ke Jakarta saat akan masuk SMA. Oh iya. Sekarang Jajang sekolah kedokteran disana. Katanya cita-cita dia ingin jadi dokter.

"Belum. Baru aja tadi sampe disini."

"Serius? Kamu lagi libur sekolah?"

"Aku sengaja kembali karena khawatir sama kamu."

Deg.

"Dan satu hal lagi. Ada sesuatu yang belum aku omongin." (kalian bisa lihat part 42 dimana omongan Jajang terpotong)

"Apa?"

"Aku suka kamu."

Deg.

"Aku sayang kamu. Kamu tau itu kan?"

Dania kaget. Tapi entah kenapa ekspresinya biasa-biasa saja.

Dania membalasnya dengan senyuman.

"Kamu mau..." omongannya terpotong lagi

"Maaf Jang."

"Aku lagi pengen sendiri."

"Hmmm?"

"Maksudnya aku lagi sedih. Dan aku butuh waktu untuk sendiri. Kamu besok sekolah. Jangan sampe ketinggalan kereta. Aku gak mau nyusahin hidup orang lain."

Jajang terdiam dan menunduk sejenak.

"Aku ngerti Dan. Maaf ya udah ganggu waktu kamu. Lain kali kalo ada apa-apa cerita aja. Aku bakal selalu ada buat kamu."

Entah, Jajang sebenarnya mengerti ada cowok lain dihatinya atau memang mengerti bahwa Dania hanya ingin sendirian saat galau. Hati Jajang susah ditebak.

Jajang tersenyum dan bangkit.

"Aku pamit dulu sama Mamah kamu ya."

"Iya aku panggilin." Dania masuk dan kembali bersama Mamahnya.

"Nginep aja padahal. Udah malem loh. Takut ada apa-apa di jalan." kata bu Desi khawatir.

"Nggakpapa Mah. Eh Bu." Jajang salting. Tapi serius perkataan itu membuat Dania tersenyum tulus.

"Saya pamit. Besok harus sekolah juga. Maaf udah ganggu malam-malam gini. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Tas ransel warna abu dengan jaketnya yang berwarna senada itu hilang dalam hitungan detik.

"Maaf Jang. Saat ini aku benci lelaki. Terkecuali Papahku."

•••

Diam [COMPLETED]Where stories live. Discover now