RELLAWAY

By AdineNaylaara

106K 13.1K 3K

"Kita punya tujuan yang sama Hel, bedanya lo ngelindungi gue untuk masa depan sedangkan gue melindungi lo dar... More

Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
CHAPTER 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chpater 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
ILUSTRASI VISUAL
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
ILUSTRASI VISUAL (GIRL VER.)
Chapter 67
Chapter 68
Chapter 69
Chapter 70
Chapter 71
Chapter 72
Chapter 73
Chapter 74
Chapter 75
Chapter 76
Chapter 77
Chapter 78
Chapter 79
Chapter 80
Chapter 81
Chapter 82
Chapter 83
Chapter 84
Chapter 85
Chapter 86
Chapter 87 (Rahel Flashback)
Chapter 88
Chapter 89
Chapter 90
Chapter 91
Chapter 92
Chapter 93
Chapter 94
Chapter 95
Chapter 96
Chapter 97
BIODATA KARAKTER
Chapter 98
Chapter 99
Chapter 100
Chapter 101
Chapter 102
Chapter 103
Chapter 104
Chapter 105

Chapter 38

812 102 18
By AdineNaylaara


‧͙⁺˚*・༓☾RELLAWAY☽༓・*˚⁺‧͙

Setelah penerimaan raport kemarin, kini semua sekolah mengalami libur semester. Berbeda dengan orang pada umumnya yang akan menghabiskan masa liburannya untuk bersantai dan jalan-jalan.

Sean sekarang malah harus berada di rumah sakit untuk melihat perkembangan pengobatan nenek Kanaya.

"Sean" Panggil Kanaya saat Sean baru aja mau melangkah untuk pulang. Sean berhenti dan berbalik dengan ekspresi datar namun tatapannya terlihat menanyakan alasan Kanaya memanggilnya.

"Itu... " Kanaya menjeda ucapannya untuk sekedar membungkuk pada Sean "Makasih banyak, berkat kamu pengobatan nenek aku di lanjutkan dan juga berkat kamu aku bisa lepas dari orang-orang itu. Makasih banyak Sean" Lanjut Kanaya dengan posisi yang masih membungkuk.

Sean memandang Kanaya lama lalu menghela nafas.

"Gue gak ngelakuin apapun, kalo lo mau bilang makasih. Bilang ke bapak gue, jangan ke gue" Ucap Sean membuat Kanaya mendongakan kepalanya lalu menegapkan tubuhnya kembali.

"Ah itu aku pasti bakal bilang makasih ke Tuan Galen kok, tapi kamu juga udah ngelakuin banyak hal untuk aku karena itu aku rasa aku harus bilang makasih ke kamu" Balas Kanaya.

Sean tak membalas dan hanya terus menatap gadis itu membuat Kanaya jadi canggung sendiri karena Sean terus menatapnya dalam waktu yang cukup lama.

"... Dah ya" Setelah cukup lama diam Sean akhirnya bersuara untuk pamit.

Kanaya tersentak kaget dan reflek menarik tangan Sean. Masih ada yang harus ia bicarakan dengan Sean.

"T-tunggu dulu!"

Sean mendengus dan terpaksa berhenti, ia menoleh ke belakang memandangi Kanaya lalu memandangi tangannya yang di genggam oleh gadis itu, melihat arah pandang Sean Kanaya langsung melepas tangannya.

"Ah maaf"

"Apa lagi?" Tanya Sean terdengar malas membuat Kanaya tidak enakan, tapi ia harus menanyakan hal ini pada pria itu.

"Itu... Soal Bela, sekarang dia gimana?" Tanya Kanaya talut-takut.

Satu alis Sean terangkat. Kenapa Kanaya menanyakan keadaan Bela? Apa gadis itu tidak ingat apa yang di lakukan Bela padanya?

"Mana gue tau" Jawab Sean dingin.

"A-anu Sean, aku boleh minta tolong gak?"

"Apa?"

"Tolong bantu Bela... Aku gak tau apa yang terjadi sama dia sekarang tapi aku yakin dia masih berurusan sama orang-orang itu. Orang-orang itu bahaya aku takut Bela kenapa-napa, karena itu kamu bisa tolong cariin Bela?" Jawab Kanaya memainkan jemarinya dengan suara yang bergetar gugup.

Mendengar jawaban Kanaya Sean mendengus tak percaya.

"Hah? Emang gue babu lo apa?" Sarkas Sean.

Kanaya melotot dan menggeleng kuat "Nggak! Maksud aku bukan gitu, aku cuma khawatir"

Sean menjetikan jarinya ke dahi Kanaya membuat gadis itu tersentak kaget dan meringis kesakitan.

"Dengerin gue, lo jadi orang jangan terlalu naif. Lo lupa apa yang udah di lakuin dia ke lo?"

"Itu... Aku yakin Bela gak bermaksud ngelakuin itu, dia juga pasti gak punya pilihan lain makanya dia ngelakuin itu" Cicit Kanaya sambil mengelus-elus dahinya yang di jitak oleh Sean tadi.

"Gak bermaksud? Omong kosong apaan tuh?" Sindir Sean tersenyum mengejek "Justru karena ada maksud dia ngelakuin itu. Udah gue bilang Kanaya, jadi orang jangan naif. Karena lo begitu makanya lo sampe ngalamin semua itu, goblok" Sambung Sean sarkas.

"T-tapi Sean gimana kalo Bela di bawa ketempat itu juga?"

"Ya itu urusannya, gue gak peduli" Ucap Sean dan kembali melanjutkan langkahnya begitu saja meninggalkan Kanaya yang masih ingin bicara.

Sean memang bilang dia tidak suka orang seperti Bela yang licik dan jahat tapi ia juga tidak begitu menyukai orang yang terlalu baik, karena menghadapi orang yang terlalu baik itu melelahkan.

Dan juga Sean tidak ingin berurusan dengan The Kingdom lagi, membantu Bela sama aja dia harus berurusan dengan Valcer lagi, males banget.

***

Gue memandangi sekitar gue memperhatikan orang-orang yang berdatangan dan orang-orang yang lagi duduk di cafe tempat gue berada sekarang.

Untuk ukuran cafe yang bisa di bilang kecil, ni tempat rame juga.

Klang

"Hah... Maaf ya, kakak lama" Perhatian gue teralihkan ke kak Dayen yang baru aja tiba di depan gue dengan membawa sebuah nampan stainless. Masih dengan baju kerjanya dia menduduki diri di depan gue.

"Kerjaan kakak udah selesai?" Tanya gue memandangi pengunjung cafe yang terus berdatangan.

Kak Dayen tersenyum tipis "Udah, udah ganti shift kok" Jawabnya yang cuma gue balas anggukan "Kamu ke sini sendirian? Abang kamu gak ikut?" Sambung Kak Dayen nanya.

Gue ngegeleng "Nggak, dia sibuk modifin motornya"

"Jadi? Ada yang mau kamu omongin?" Tanya Kak Dayen lagi dengan senyum yang gak pernah luntur.

Terkadang gue heran sama orang-orang kek gini, emang gak capek apa senyum terus? Kok bisa ada orang yang selalu senyum begini?

Gue menghela nafas "Nggak, gabut aja" Ucap gue menjawab pertanyaan kak Dayen tadi sambil ngaduk-ngaduk minuman gue.

Setelah pembicaraan singkat itu gue dan Kak Dayen saling diam sambil merhatiin sekitar gue, ya gue tadi awalnya cuma jalan-jalan doang dan gak sengaja lewat ni cafe jadi ya gue putusin buat mampir bentar.

"Jadi, gimana?" Gue balik natap Kak Dayen lagi waktu dia bersuara.

"Apanya?"

"Kamu bisa ngehadapin rasa takut kamu?" Tanya Kak Dayen memperjelas pertanyaannya di awal.

Ah, jadi dia ngebahas soal itu ya.

Gue menyengir "Hehehe, belum sih. Aku rasa aku harus nyiapin diri dulu sebelum ngehadapin mereka" Jawab gue sembari mengingat wajah songong tiga serangkai itu.

Ya, gue memang harus nyiapin diri gak hanya secara fisik tapi juga mental. Dan juga gue masih bingung ama diri gue sendiri. Apa gue bisa atau kagak?

Di bilang gak bisa tapi ingatan di mana gue ngalahin Shion masih sering terputar di kepala gue, tapi di bilang bisa gue kadang masih gak tau harus gerak gimana dan juga gue masih sering ragu.

Saat gue melawan Shion, tubuh gue bergerak dengan refleks dan gue gak bisa setiap saat bisa refleks begitu.

Naluri...? Insting...? Sebenarnya gimana gue bisa ngalahin mereka ya? Apa gue harus di buat terdesak dulu baru bisa ngelawan? Kalo gitu caranya setiap bertarung gue bakal babak belur.

Saat ngelawan Elang, Rangga dan Erpan nanti gue gak mau terdesak... Gue mau, gue yang ngedesak mereka. Tapi, gimana caranya?

"Kamu pasti bisa ngehadapin nya" Gue yang tadi melamun langsung tersentak dan praktis menatap Kak Dayen yang kini tersenyum teduh.

Ah kayaknya dia ngebaca ekspresi gue selama ngelamun tadi.

Gue tertawa hambar "Hahaha entahlah"

Gue gak tau apa yang di pikirin Kak Dayen tentang gue. Sebenarnya apa yang dia bayangkan soal ketakutan gue, binatang? Tempat? Kondisi? Ya gue gak pernah ngasih tau secara jelas soal ketakutan gue ke dia, jadi gue gak terlalu merasa terharu dengan keyakinan dia ke gue.

Dia bilang gitu karena gak paham kondisi gue, kalo dia tau ketakutan gue sebenarnya itu pada manusia dia gak akan seyakin itu bilang gue bisa ngehadapin mereka.

Tapi ya bukan salah kal Dayen juga sih, dia juga gak tau apapun. Hah... Terserahlah.

"Gotcha, ketemu juga lo banci" Perhatian gue langsung terfokus ke pintu cafe saat suara yang cukup kencang mendominasi keriuhan di cafe ini.

Gue mengernyit heran melihat sosok bertubuh besar yang menatap ke arah gue, apa gue kenal dia ya? Kenapa dia liatin gue dengan senyum cabul gitu?

"Rian?" Gue beralih lagi menatap Kak Dayen yang keliatan kaget, bahkan mungkin saking kagetnya Kak Dayen sampai berdiri.

"Setelah apa yang lo lakuin ke gue hari itu, lo pikir gue bakal lepasin lo gitu aja hah?" Cowok berbadan besar yang gue denger namanya Rian itu berjalan cepat mendekati meja yang gue duduki sekarang.

Dan waktu dia udah di dekat meja gue dia langsung mengambil langkah untuk berhadapan dengan kak Dayen. Sebenarnya ini kenapa dah?

"Gue udah cukup berbaik hati dengan lo ya selama ini" Ucap Rian sambil nepuk-nepuk pipi kak Dayen, yang mungkin keliatannya pelan tapi dari gerakan kepala kak Dayen yang selalu tersentak udah jelas tepukannya itu sebenarnya tamparan.

Apa ini pembullyan?!

"R-rian jangan di si–Brukh!" Gue tersentak kala kepala lak Dayen di banting ke atas meja gue sekarang bahkan minuman gue sampai tumpah saking kerasnya.

Orang-orang di sekitar gue mulai berdiri menjauh menghindari pertikaian ini, sedangkan beberapa pegawai terlihat ingin mendekat namun ragu

"Berani banget lo nyebut nama gue, lo lupa status lo hah?! Lo itu budak gue!" Teriak Rian.

Gue tertegun kala tatapan gue bertemu dengan kak Dayen dengan posisi kepalanya yang masih di tekan ke atas meja.

Apa-apaan ini? Perbudakan? Satu-satunya tempat yang masih menggunakan sistem itu cuma satu, Lyanharth... Apa ni cowok murid Lyanharth dan Kak Dayen adalah budaknya apakah itu berarti kak Dayen juga murid Lyanharth?

"Kayaknya di bantuin si No 2 ngebuat lo lupa diri ya? Ingat posisi lo banci, mau sebanyak apapun orang yang membela lo. Lo tetap aja pecundang bajingan!"

Brukh!

Kepala Kak Dayen di tarik ke atas dan kembali di hantamkan ke atas meja.

"Ugh!" Ringisan kesakitan terdengar lirih dari kak Dayen, wajahnya yang tadi menghantam permukaan meja kini perlahan menoleh ke gue "pergi... " Lirih kak Dayen. Tapi gue gak bisa gerak sama sekali karena kaget.

Gue hanya diam membatu melihat wajah kak Dayen yang di banting berkali-kali ke atas meja.

Tunggu dulu... Sekarang di depan mata gue terjadi kekerasan, apa yang harus gue lakuin? Apa gue harus ngebantu? Tapi gimana caranya dengan badan segede itu gimana gue bisa ngelawannya? Minta tolong?

Gue menatap ke kerumunan orang yang berkumpul di sudut cafe menonton kejadian ini, omong kosong. Gak akan ada yang mau nolongin hal seperti ini. Semuanya sekarang tergantung pada gue, tapi gimana cara gue ngelawan ni orang? Apa gue bisa? Sebenarnya apa yang raguin sekarang?! Ada orang butuh pertolongan gue lalu kenapa gue ragu begini?!

Ingat Rakel lo pernah ngalahin petinggi Twoll, itu sudah cukup sebagai bukti kalo lo mampu. Terus kenapa... Kenapa gue ragu sekarang?!

'Inferior' satu kata tiba-tiba aja terlintas di kepala gue.

Inferior ya... Apa ini semua karena perasaan itu? Apa keraguan gue karena rasa inferior gue? Kalo gitu gue tinggal harus ngebuang perasaan itu, kan?

"Nah ayo kita selesaikan ini sekarang" Rian yang tadi meninju perut kak Dayen kini beralih hendak membantingkan kepala Kak Dayen lagi ke meja, namun sedikit berbeda. Sekarang dia ngarahin kepala kak Dayen ke arah gelang beling yang tergeletak di atas meja itu.

Grep!

Pergerakan Rian langsung terhenti kala gue mencengkram pergelangan tangannya yang mencengkram tengkuk kak Dayen. Dia menatap tangan gue lalu menatap gue dengan tatapan membunuh yang membuat siapapun takut, tapi entah kenapa gue biasa aja.

"Apa-apaan nih bocah?" Desisnya terdengar marah.

"R-rakel?"

"Apa lo gak di ajarin tata krama?" Tanya gue ikut berdesis dengan pupil mata yang bergerak melirik tajam tu cowok.

"Apa?!"

"Datang ke sini, gak beli apapun, menganggu pegawai, dan membuat keributan. Keliatan jelas lo gak di ajarin tata kramakan?" Ucap gue sembari berdiri.

"Bocah sialan–Argh!" Rian berteriak kesakitan kala gue menguatkan cengkraman gue pada tangannya hingga cengkramannya pada leher kak Dayen terlepas, mendengar ringisan Rian membuat gue tersentak kaget dan langsung melepaskan tangan gue darinya.

"Eh?! Apa sekuat itu?!" Heran gue, perasaan gue cengkraman begitu gak akan berefek apa-apa ke orang dengan badan kayak dia. Apa dia cuma lebay doang ya?

Rian yang tadi sibuk mengelus-elus pergelangan tangannya langsung menatap gue dengan mata melotot usai mendengar ucapan gue.

"Lo ngejek gue hah?!" Bentaknya marah.

"Ngejek apaan? Gue nanya doang" Balas gue masih keheranan, apa ni orang serius kesakitan ya? Soalnya gue sering ngehadapin orang yang suka pura-pura kesakitan terus tiba-tiba dia ngebalas gue dua kali lipat dari perbuatan gue sebelumnya, kampret memang.

"Lo masih nanya setelah ngeluarin kekuatan begitu?!"

"Perasaan gak kuat banget" Gumam gue sambil mengelus dagu gue mencoba mengingat kekuatan cengkraman gue tadi, dan sejauh yang gue ingat ya gak sekuat itu.

"Sialan!"

"Rakel awas!"

Gue tersentak dan membelalak kala si Rian sudah melayangkan tinjunya ke arah gue, gak ada kesempatan ngelak! Dengan tubuh gede gini damage tinjunya pasti besar, kalau gitu gue dengan cepat mengambil nampan yang di bawa kak Dayen tadi dan langsung meletakkannya di depan wajah gue membuat tinju Rian menghantam nampan stainlees itu.

TANG!

Suara nyaring terdengar sangat keras, gue meringis pelan kala melihat kepalan tangan Rian membekas di nampan itu. Dan saat gue menurunkan nampan itu dari depan wajah gue dapat gue lihat Rian yang meringis kesakitan sambil mengibas-ngibaskan tangannya yang tampak memerah.

Ah.. Pasti sakit banget.

"Gakpapa bang?" Tanya gue, dan Rian langsung menatap nyalang ke gue.

"Brengsek! Mati lo!" Dia kembali melayangkan tinjunya ke gue dan dengan jangkauan sempit begini sudah pasti gue gak bisa ngelak lagi, apa lagi nampan yang gue pakek tadi udah gak bisa di pakek buat nahan serangannya. Kalau gitu, cuma ada satu cara.

Tangan kiri gue mencengkram pergelangan tangan Rian sebelum menghantam gue dan tangan kanan gue menarik lehernya membuat ke seimbangan tubuhnya hilang seketika, gue lalu membanting tubuh Rian kelantai dengan sedikit memutar tubuh gue ke samping.

Bugh! Brakh!

Suara tubuh Rian yang menghantam lantai dan kursi yang ada di samping meja gue tadi di sambut dengan teriakan kaget dari beberapa pengunjung.

Gue membelalak tak percaya kala melihat mulut Rian yang mengeluarkan buih putih, anjing apa gue berlebihan ya?! Ya tadi pas kepalanya mau ngebentur tanah gue memang langsung ngelepas tangan gue yang ada di lehernya, apa benturan di kepala nya keras banget?!

Gimana kalo dia geger otak?! Mampus gue!

Prok! Prok! Prok!

Perhatian langsung teralihkan kala suara riuh tepukan tangan terdengar dari sudut lain cafe ini, dan saat gue membalik tubuh gue semua pengunjung cafe ini langsung menyerbu ke arah gue.

"Hebat!"

"Gila dek lo keren banget anjir!"

"Belajar dari mana lo hah?!"

Decakan kagum bersaut-sautan memuji gue ngebuat gue kikuk seketika, apa segitunya ya? Emang ini patut di apresiasi? Kenapa mereka keliatan takjub banget?

Gue melirik kak Dayen yang terdorong jauh akibat pengunjung-pengunjung cafe ini, dan kala mata kami bertemu. Kak Dayen langsung tersenyum sembari mengangguk.

Apa itu maksudnya gue pantas dapat pujian begini?

Ah gue suka sih di puji, tapi kalo begini gue pusing anj!!!

***

"Gak ada yang lecetkan? Yang sakit ada?" Gue cuma pasrah waktu kak Alexa menyentuh wajah gue buat sekedar memastikan kondisi gue.

Gue menggeleng dengan wajah yang masih di tangkup olehnya.

"Gak ada, gue oke" Ucap gue entah sudah yang keberapa kalinya.

Kak Alexa mendengus lalu menjauh dari gue "Syukur kalo gitu, nanti kalo lo ada lecet dikit aja. Ni cafe pasti di gusur ama abang lo" Ujarnya cuma gue balas dengan senyum paksa.

Grep!

"Tapi, serius lo yang ngalahin si Rian sampe pingsan begitu?"

Gue mendengus "Lepasin tangan lo!" Sinis gue ke Dafa yang seenaknya ngerangkul bahu gue.

Tapi bukannya ngejauh Dafa sekarang malah ngedekatin mukanya ke gue.

"Eeyy, lo memang menarik banget ya" Ucapnya dengan senyum mesum yang ngebuat langsung ngeberontak buat lepas dari rangkulannya.

"Lepas anjing! Dasar cabul! Lepasin gue!" Teriak gue tapi Dafa malah beralih memeluk gue dari belakang dengan kepala yang di tumpukan di atas kepala gue.

"Pffth" Gue langsung berhenti memberontak kala melihat sosok Kak Dayen yang datang sambil ngebawa sebaskok air hangat, kayaknya buat memar dia.

Dan melihat kedatangan kak Dayen kak Alexa langsung mendekatinya untuk membantunya.

"Kak Lexa kok bisa kenal kak Dayen?" Tanya gue bingung.

"Gue ama Dayen itu udah temenan dari SD, sama kayak sekarang dulu dia suka di ganggui anak lain dan gue yang nolongin" Jawab kak Alexa sambil memeras kain yang tadi ia rendam di air hangat.

"Ah Alexa kalo kamu bilang gitu aku malu–aw sssh"

"Ngapain malu? Fakta kok" Ucap Kak Alexa dengan ekspresi polos membuat kak Dayen hanya bisa tersenyum pasrah.

Gue diam memperhatikan interaksi kak Alexa dan Kak Dayen.

"Kalian pacaran ya?" Tebak gue.

Kak Alexa dan Kak Dayen sontak natap gue dengan ekspresi kaget.

"Ngaco lo! Kita sahabatan doang!" Bantah kak Alexa gak terima sedangkan kak Dayen cuma geleng-geleng doang dengan muka yang udah merah. Hmm... Gue jadi makin curiga.

"Bohong ya?" Tuduh dan ekspresi gak terima kak Alexa semakin jadi begitupun kak Dayen yang makin kuat ngegelengin kepalanya.

"Lo ngomong apa sih? Alexa itu calon pacar gue" Saut Dafa yang masih menyandarkan wajahnya di atas kepala gue.

Gue mendelik jijik "Mimpi"

"Lo gak percaya? Tadi aja gue ke sini bareng diakan? Perlu bukti apa lagi? Perlu gue cium Alexa di sini sekar–PLAK!" Ucapan Dafa langsung terhenti kala kain basah yang di pakek kak Alexa tadi kini namplok di mukanya.

"Jangan nyebar berita yang nggak-nggak ya kampret!" Teriak kak Alexa marah, Dafa menyingkirkan kain di wajahnya.

"Yakan emang bener yang" Dafa melepaskan pelukannya dari leher gue tadi dan beralih mendekati kak Alexa yang udah kek macan bunting.

"Yang-Yang bapak lo melayang!"

Gue memandangi keduanya bergantian, hmm kalo kak Alexa dan kak Dayen kek orang pacaran maka Dafa dan Kak Alexa itu lebih mirip... Pasangan suami istri.

Ah entahlah gue gak paham percintaan orang dewasa walaupun gue sempat dewasa. Apa cinta segitiga begini emang lagi trand ya?

Gue menatap kak Dayen yang cuma senyum doang melihat pertikaian kak Alexa dan Dafa lalu berjalan mendekatinya.

"Kak bukannya memar harus pakek yang dingin dingin ya?" Tanya gue heran.

Kak Dayen tersenyum dengan tangan yang terulur ke pucuk kepala gue.

"Muka kakak ada lecet dikit jadi di bersihin dulu lukanya" Jawabnya menunjukkan ujung jidatnya yang masih mengeluarkan darah.

"Mau aku bantu?" Tawar gue.

"Boleh, ayo kita di sana aja" Ajak kak Dayen sembari berdiri dan berjalan ke meja lain dengan gue.

Ya gak mungkin gue ngobatin kak Dayen di tengah pertikaian suami istri begitu yang ada nanti kak Dayen ketonjok lagi.

Tapi... Sejak kapan Dafa dekat dengan kak Alexa?

To Be Continued...

HOLLAAA Im Back guys! Hohoho aku up tengah malam begini karena malam-malam begini inspirasi mengucur sangat deras di kepala ku. Aku tidak bisa melewatkannya begitu saja hohoho

Hahaha apa sih.

Udah ah, enjoy reading yaa

Dont forget vote dan komen.

Sorry bila ada typo, cause im only humaann~😅

Dah yaaa See you in the next chapter guysss!!!

Dan ya ini ilustrasi visual Alexa guys

° ALEXA NIANA PUSTAKARYA °

Continue Reading

You'll Also Like

64.4K 5.8K 52
Shen Qing adalah Tuan muda dari keluarga Shen,ia mengantikan saudari perempuannya yang kabur di hari pernikahan dan menikah dengan musuh bebuyutan ny...
160K 12.4K 23
"GILA! LEPAS!" Anessa memberontak namun cengkeraman itu semakin kencang dan membuat kesadaran Anessa kepada jalanan yang sekarang dia lewati hilang...
134K 13.7K 53
gatau 🗿 nikmati saja.
43K 3.6K 33
Zee seorang anak ke 4 dari 5 bersaudara, ia dibenci oleh tiga kakaknya karena kesalahan pahaman, tetapi berbeda dengan adiknya, adiknya percaya kalau...