RELLAWAY

AdineNaylaara által

107K 13.2K 3.1K

"Kita punya tujuan yang sama Hel, bedanya lo ngelindungi gue untuk masa depan sedangkan gue melindungi lo dar... Több

Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
CHAPTER 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chpater 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
ILUSTRASI VISUAL
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
ILUSTRASI VISUAL (GIRL VER.)
Chapter 67
Chapter 68
Chapter 69
Chapter 70
Chapter 71
Chapter 72
Chapter 73
Chapter 74
Chapter 75
Chapter 76
Chapter 77
Chapter 78
Chapter 79
Chapter 80
Chapter 81
Chapter 82
Chapter 83
Chapter 84
Chapter 85
Chapter 86
Chapter 87 (Rahel Flashback)
Chapter 88
Chapter 89
Chapter 90
Chapter 91
Chapter 92
Chapter 93
Chapter 94
Chapter 95
Chapter 96
Chapter 97
BIODATA KARAKTER
Chapter 98
Chapter 99
Chapter 100
Chapter 101
Chapter 102
Chapter 103
Chapter 104
Chapter 105
Chapter 106

Chapter 35

857 118 3
AdineNaylaara által

‧͙⁺˚*・༓☾RELLAWAY☽༓・*˚⁺‧͙

Sean dan Willyan kini berdiri di depan pintu rumah Rakel, ya setelah memberikan pelajaran pada tiga serangkai tadi keduanya langsung menuju ke rumah Rakel. Mereka tidak mungkin mengabaikan Rakel yang terlihat sangat kacau tadi.

Ceklek

Pintu terbuka menghadirkan sosok Rahel dengan kaos hijau dan celana hitam pendek selutut.

"Huh? Kalian? Kenapa ya?" Tanya Rahel agak keheranan.

"Kita mau ketemu Rakel" Jawab Sean dan saat itu raut wajah Rahel langsung berubah.

"Rakel? Bukannya dia sama kalian?"

Sean dan Lyan tersentak dan sontak menatap satu sama lain. Itu artinya Rakel tidak pulang, lalu di mana anak itu?

Lyan menggeleng pelan "Tadi Rakel memang sama kami, tapi dia tiba-tiba aja pergi. Jadi kami pikir dia udah pulang, makanya kami ke sini" Ucap Lyan menjawab pertanyaan Rahel.

Ekspresi Rahel berubah semakin tak enak. Rahel tidak marah, ia hanya khawatir. Rakel tak bersama Lyan maupun Sean, dan juga sekarang sudah malam hari, ia takut Rakel kenapa-kenapa. Adiknya itu jika di tinggal sendiri 1 jam saja mungkin ia akan kembali dalam keadaan babak belur atau lebih parahnya sekarat. Ah! Rahel harus cepat-cepat menemukannya.

Tanpa mengatakan apapun Rahel langsung masuk kerumahnya, mengambil jaket beserta kunci motornya lalu kembali keluar.

"Lyan ini tanggung jawab lo, lo tau apa yang harus lo lakuin" Desis Rahel saat melewati Lyan dengan lirikan sinisnya.

Mendengar ucapan Rahel, Lyan mengangguk singkat.

  

    Sedangkan di sebuah jalan sempit yang merupakan jeda antara satu bangunan dengan bangunan lainnya, terdapat seorang anak remaja yang duduk dengan menekuk lututnya di samping tong sampah dengan nafas terengah-engah.

Ia adalah Rakel yang sedang mencoba bersembunyi dari tiga serangkai yang ia pikir sedang mencarinya saat ini. Sedari mulai bersembunyi jantung Rakel tak berhentian berdetak sangat cepat, otaknya terus mengulang kejadian-kejadian di mana ia di siksa oleh tiga serangkai itu dan apa yang akan ia terima jika ia tertangkap nanti.

Wajah yang sebelumnya sudah pucat itu kini semakin pucat hingga terlihat seperti seorang mayat, keringat dingin pun terus keluar dari tubuh Rakel, menandakan anak itu benar-benar ketakutan.

Rakel benar-benar tidak bisa berpikir lagi, ia bahkan lupa bahwa ia memiliki rumah dan orang yang menunggunya saat ini. Rakel lupa bahwa ia memiliki orang-orang yang peduli padanya saat ini, Rakel benar-benar melupakan semua itu.

Mungkin saat ini Rakel berpikir bahwa ia adalah Rakel  sebelumnya yang hidup sebatang kara tanpa ada seorang pun di sisinya dan tempat berlindung. Bertemu Elang dan kawan-kawannya benar-benar membuat kewarasan Rakel hancur.

"Anu... Permisi" Rakel tersentak dari pikirannya dan langsung mendongak kala mendengar suara yang di tujukan kepadanya dan saat ia mendongak terlihat seorang pria yang membawa banyak plastik sampah di tangannya.

"M-maaf" Ujar Rakel dan bergeser memberikan tempat kepada pria itu, saat pria itu sibuk memasukan plastik sampah yang ia bawa tadi ke tong sampah itu Rakel sibuk memperhatikan sekitarnya. Sepertinya kewarasannya kembali saat pria ini menegurnya tadi, menyadari kondisinya Rakel mendengus pelan.

'Jadi gue kabur ya...' Batin Rakel menunduk lemas, ya Rakel tidak terlalu ingat tadi karena pikirannya benar-benar di ambil alih oleh rasa takutnya. Tapi setelah sadar seperti sekarang rasanya Rakel menyesal dan agak kelas dengan dirinya yang masih belum bisa mengatasi rasa takutnya.

"Pecundang" Gumam Rakel kepada dirinya sendiri.

Sedangkan pria tadi setelah meletakan plastik sampah itu pria itu langsung melangkah kembali memasuki cafe tempatnya bekerja meninggalkan Rakel yang masih sibuk bergelut dengan pikirannya.

Namun tak lama Rakel kembali di kejutkan saat pria tadi ikut berjongkok di sampingnya.

"Ini udah jam 10, gak mau pulang?" Tanyanya menoleh pada Rakel dengan senyum tipis. Rakel tak menjawab dan malah menundukkan kepalanya.

"Hmm, kakak gak tau apa masalah kamu. Tapi kabur bukan pilihan yang bagus, kamu punya keluargakan? Mereka pasti khawatir" Ucapnya membuat Rakel tertegun, seketika wajah Rahel terlintas di kepalanya.

Ah ya, benar juga ia punya Rahel. Rahel masih hidup sekarang... Tapi, Rakel takut jika ia melihat wajah Rahel sekarang pertahanannya selama ini akan hancur begitu saja. Ia tidak ingin menunjukkan sisi lemahnya pada Rahel, tidak setelah semua ini.

"Kakak... Pernah takut? " Rakel bersuara dengan nada serak membuat pria di sampingan sedikit terkejut terutama dengan pertanyaan Rakel.

"Takut? Jelas pernahlah" Jawabnya dengan senyum lebar yang seolah berniat menghibur Rakel.

"Gitu ya... Ya udah pasti, setiap orang punya rasa takut" Lirih Rakel memeluk kedua lututnya erat lalu menumpukan dagunya di antara kedua lututnya dengan tatapan kosong ke tanah.

Melihat sikap Rakel pria tadi tersenyum tipis.

"He'em, tapi kamu tau gak kakak takut sama apa?" Ujarnya membuat Rakel menoleh dengan tatapan bingung.

"... Apa?"

Pria itu tersenyum lagi "Semuanya, kakak takut dengan semua yang ada di dunia bahkan di diri kakak sendiri. Aneh ya hahaha" Ia tertawa namun tak membuat Rakel ikut tertawa, Rakel malah tertegun akan ucapannya dengan tatapan yang seolah mengatakan 'apa yang lucu?'

"Bahkan untuk bernafas aja rasanya menakutkan" Lanjutnya lagi dengan senyuman yang memudar "Kakak takut saat kakak bernafas ada yang marah dan menyuruh kakak berhenti bernafas..." Lirihnya dengan raut wajah yang berubah senduh.

"Memangnya siapa yang akan marah?" Tanya Rakel dengan mata yang tak berkedip sama sekali saat memandang pria di sampingnya ini.

Pria itu menoleh dan tersenyum "Orang yang membuat kakak hadir di dunia ini" Jawabnya benar-benar membuat Rakel tak berkutik.

Kenapa rasanya ia seperti melihat dirinya dulu, persis sekali. Keadaannya, benar-benar mirip dengan dirinya dulu. Bahkan sepertinya usianya sama dengan dirinya saat menghadapi kematian dulu.

"Tapi ya jika di turutin kakak gak akan bisa bernafas lagi. Jadi karena itu, walau menakutkan kakak akan terus bernafas karena kakak ingin hidup... Walau nanti dia tau dan marah bahkan sampai membuat kakak berhenti bernafas. Kakak akan menghadapinya dan terus bernafas. Ini memang menakutkan membayangkan kakak berhadapan dengan dia, tapi itu lebih baik dari pada melarikan diri" Ucapnya si akhiri senyuman teduh yang bukannya membuat Rakel tenang malah membuat Rakel seolah tertampar.

"Dari pada takut berhadapan dengannya kakak lebih takut berhadapan dengan diri kakak yang marah karena kakak melarikan diri. Ya rasanya saat kabur diri kakak di masa lalu seolah bilang 'padahal kamu udah janji gak akan lari, terus kenapa kamu lari?' Seperti ini. Hahaha takut ya ngebayangin di marahin diri sendiri" Sambungnya lagi.

Sedangkan Rakel sudah benar-benar tenggelam dengan pikirannya sendiri, dan semakin tenggelam hingga ia merasa seolah dirinya kini tengah berhadapan dengan ia di masa lalu.

Ia seolah melihat dirinya yang mengenakan seragam Lyanharth dengan tubuh yang di penuhi luka tengah menatapnya dengan tatapan paling hina yang pernah ia terima.

"Menyedihkan"

Deg!

Rakel tersentak kaget saat satu kata itu di lontarkan oleh dirinya di masa lalu.

"Eh kamu kenapa?" Heran pria tadi saat Rakel tiba-tiba tersentak. Rakel menatapnya dengan tatapan terkejut lalu menggeleng pelan.

"Ah nggak, gakpapa" Jawab Rakel tersenyum hambar, Rakel lalu kembali termenung.

Mau sampai kapan ia lari? Apa ia benar-benar tidak bisa berhadapan dengan Elang dan kawan-kawannya? Lalu apa Rakel akan bernasib seperti sebelumnya? Ini menakutkan... Rakel sangat takut. Tapi sampai kapan ia akan ketakutan seperti ini?

Ia sudah bertekad merubah masa depan tapi jika ia tidak bisa mengatasi traumanya di masa lalu maka Rakel tidak akan pernah bisa maju. Apa Rakel bisa?

"Sekarang sudah enakan? Kalo gitu ayo balik" Pria itu kembali bersuara yang menyadarkan Rakel lagi dari lamunannya. Saat Rakel tersadar pria itu sudah berdiri, Rakel mengangguk dan ikut berdiri.

"Ngomong-ngomong kita belum kenalan, nama kakak Dayen" Ucap pria itu memperkenalkan diri.

"Ah.. Saya Rakel"

"Hahaha gak perlu formal banget" Tawa Dayen sembari mengenakan kaca matanya.

Rakel diam memperhatikan wajah Dayen, pria dengan rambut hitam dan mata biru terlihat familiar baginya. Rasanya Rakel pernah melihatnya di suatu tempat.

"Jadi, Rakel sekarang udah gak takut lagikan?" Tanya Dayen membuka pembicaraan lagi saat keduanya sudah berada di luar lorong itu.

Rakel tersenyum hambar "Ya sekarang sih nggak, gak tau kalo berhadapan lagi nanti" Ucap Rakel menggaruk tangkuknya yang tak gatal.

"Pffth, kamu pasti bisa kok" Dayen menyentuh pucuk kepala Rakel dengan senyum meyakinkan untuk menyemangati anak itu.

Rakel mengangguk dan ikut tersenyum.

"Ya... Tapi makasih ya kak berkat kakak, gue jadi sadar kalau lari gak akan ngerubah apapun"

"Ya sama-sama, sekarang kamu pulang. Keluarga kamu pasti khawatir" Ujar Dayen dengan senyum khasnya.

Rakel mengangguk dan melambai sembari melangkah menjauh "Kalo gitu gue duluan kak, makasih ya!" Pamit Rakel namun baru ia ingin melangkah pergi sebuah suara menghentikannya.

"RAKEL!" Rakel dan Dayen kompak menoleh ke sumber suara itu.

Dan saat menoleh rasanya waktu di sekitar Rakel terasa terhenti, matanya langsung terfokus pada sosok kakak laki-lakinya yang berlari kearahnya dengan ekspresi khawatir yang sangat kentara.

Nafas Rakel terasa sangat berat ia melangkah kikuk ke arah datangnya Rahel.

"Ra...hel?" Gumam Rakel, dan seketika seluruh ingatan di mana ia di siksa oleh tiga serangkai itu kembali berputar di kepalanya. Ingatan di mana ia harus mengatasi rasa takutnya sendiri, ingatan di mana ia harus menahan rasa sakitnya sendiri, dan ingatan di mana tak ada seorangpun yang peduli padanya.

Dulu setiap usai berurusan dengan Elang dan teman-temannya, Rakel selalu berharap Rahel datang padanya dan bertanya siapa yang melukainya namun yang dapat Rakel lakukan hanyalah duduk diam di samping makam Rahel. Bahkan untuk mengeluh saja ia merasa tak pantas di hadapan makam kakaknya itu.

Tapi sekarang, ia melihat kakaknya berlari ke arahnya, rasanya Rakel ingin meluapkan segala emosinya sekarang. Emosi yang selalu ia tahan dulu, Rakel ingin meluapkannya sekarang. Namun, jika ia meluapkan semuanya sekarang ia tidak akan bisa menjadi pelindung Rahel lagi.

'Tahan... Jangan kebawa perasaan, gue gak boleh keliatan lemah...'–Batin Rakel, tangannya sudah terkepal menahan perasaan yang seakan ingin meluap di dirinya. Matanya pun sudah memerah dengan gigi yang saling bergesekan.

Rakel menguatkan kepalan tangannya saat Rahel semakin dekat.

"Ah... " Rakel tertegun kala Rahel merentangkan tangannya lalu memeluk tubuhnya.

"Kenapa lo selalu buat gue khawatir hah? Lo dari mana aja" Ujar Rahel sembari menguatkan pelukannya pada Rakel yang membeku dengan mata melebar.

Kedua tangan Rakel yang berada di sisi tubuhnya terkepal semakin kuat. Rasanya ia sudah tidak bisa menahan perasaannya sendiri apa lagi dengan  Rahel yang memeluknya.

Ini adalah hal yang selalu Rakel harapkan dulu, ia tak butuh Rahel berjuang dan bertarung untuknya ia hanya memerlukan pria itu untuk sandarannya, untuk tempat berpulangnya.

"Lo gakpapa? Ada yang luka?" Tanya Rahel melepas pelukan keduanya dan beralih memegang kedua bahu Rakel sembari memperhatikan adiknya itu dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Rakel dan menjawab dan hanga diam menunduk, membuat Dayen yang sedari tadi menonton akhirnya mendekat. Dayen mendaratkan tangannya di pucuk kepala Rakel.

"Dia gak luka sama sekali, tapi kayaknya dia cuma ketakutan. Lo abangnya kan? Lebih baik lo bawa dia pulang" Jelas Dayen menjawab pertanyaan Rahel tadi.

Rahel mengernyit "Takut?" Beonya, ia lalu mengabaikan kehadiran Dayen dan membungkuk untuk melihat wajah Rakel yang sedari tadi tertunduk.

Dan saat itu Rahel langsung tertegun melihat wajah adiknya itu. Ia melihat Rakel menggigit bibir bawahnya dengan mata yang memerah, seolah menahan tangis atau adiknya itu memang sedang menahan tangisnya?

Perhatian Rahel lalu beralih memandangi tangan Rakel yang terkepal kuat hingga terlihat bergetar. Seketika satu kata kembali terlintas di benak Rahel.

'Takut?'

Tanpa mengucapkan apapun Rahel kembali menegapkan tubuhnya.

"Oke, ayo kita pulang" Ucap Rahel menarik tangan Rakel untuk mengikutinya sedangkan Rakel hanya pasrah di tarik pergi oleh kakaknya itu.

Sebenarnya Rahel ingin bertanya, banyak yang ingin ia tanyakan. Apa yang Rakel takuti sampai ia seperti itu? Kenapa ia tak menangis saja seperti biasanya? Kenapa ia menahan dirinya? Dan kenapa orang lain bisa lebih tau keadaannya di bandingkan dirinya?

Banyak yang ingin Rahel tanyakan, tapi ia tau jika ia menanyakan semua itu sekarang. Adiknya mungkin akan membencinya...

Sesampainya di rumah Rahel langsung mengantarkan Rakel ke kamar anak itu, lalu menyuruh adiknya itu untuk segera tidur. Dan mungkin karena dalam mood yang kurang baik, Rakel langsung menurutinya tanpa mengatakan apapun.

Rahel memandangi lama wajah Rakel yang tertidur di hadapannya kini, ia lalu berjongkok di samping ranjang adiknya itu sembari memperhatikan wajah Rakel.

"Kenapa lo masang ekspresi kayak tadi? Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa lo gak pernah ceritain apapun ke gue?" Tanya Rahel berbisik dengan tangan yang terangkat menyentuh rambut Rakel "Kalo lo begini gue ngerasa benar-benar gagal jadi abang lo. Seharusnya lo gak punya abang kayak gue Kel... " Lanjut Rahel lagi sembari mengelus rambut Rakel sekilas lalu mematikan lampu tidur di kamar itu dan berlalu pergi keluar.

Setelah kepergian Rahel, Rakel membuka matanya.

"Seharusnya gue yang bilang gitu, lo harusnya gak punya adek kayak gue Hel" Gumam Rakel menyentuh rambutnya yang di pegang Rahel tadi.

Sedangkan di bawah sana Rahel yang sedang mengemasi beberapa bajunya yang berserakan di ruang tv terpaksa berhenti kala suara ketukan dari pintu utama rumahnya menginterupsi.

alis Rahel terangkat heran "Siapa yang datang malam-malam begini?" Gumam Rahel namun tak urung dia berjalan menuju pintu itu.

Ceklek

Kala Rahel membuka pintu rumahnya ekspresinya mendadak berubah sangat dingin melihat sosok berjas hitam yang berdiri di teras rumahnya kini.

"Hi, cousin" Sapanya sembari  mengangkat satu tangannya, sedangkan tangannya yang lain bersembunyi di kantung jasnya.

"What the fucking are you doing here" Sarkas Rahel  dengan rahang yang mengeras.

"Menurut lo?" Ia balik bertanya dengan ekspresi dingin.

"Gue gak akan pernah balik kerumah itu!" Ucap Rahel seolah paham apa maksud ke datangan pria itu kerumahnya.

"Jangan kekanakan Rahel. Gue tau alasan lo gak mau balik karena anak itu, tinggalin anak itu atau nanti lo bakal menyesal. Dia itu bagaikan inang di tanaman, semakin lama lo menaunginya, semakin lo akan di rugikan olehnya" Balas Pria itu masih dengan sikap dinginnya.

Rahel mendecih "Terserah, gue gak masalah hidup gue hancur karena adik gue. Dah pergi lo!" Usir Rahel langsung menutup pintu rumahnya meninggalkan sepupunya yang masih terdiam di sana.

"How stupid" Dengusnya sembari berbalik untuk pergi.

Saat hendak membuka pagar rumah itu, pria itu berhenti dan menoleh ke belakang kala ia merasakan ada yang memperhatikan dirinya.

Dan benar saja di salah satu jendela di lantai dua rumah itu terlihat sosok anak remaja yang memperhatikannya dengan wajah datar.

Cukup lama mereka bertatapan hingga akhirnya anak itu berbalik sembari menutup tirai jendelanya. Ia tidak bodoh, sejak awal ia melihat anak itu ia sudah tau siapa itu.

" Jadi dia anak sampah itu? Berani juga" Dengusnya mengingat gerakan bibir Rakel kala mereka bertatapan tadi. Ya kurang lebih yang ia tangkap dari gerakan bibir Rakel tadi ialah

'Fuck off'


To Be Continued...


HOLAAA GUYSSS!! AKU UP LAGI HUEHEHEHE, Sekarang bener-bener ya up aku tuh gak beraturan :) soalnya kalo udh selesai aku langsung up, males di undur² hehehe.

Aku harap kalian enjoy ya sama chap ini, ya untuk beberapa chapter kedepan cuma konflik ringan aja sih huehehehe.

BTW, semoga libur kalian menyenangkan yaahhh!!! Udh gitu aja deh

Dont forget vote and comment

Maaf kalo ada typo juga ya, maklum males baca ulang hehehe

See you in the next chapterrrr geeeessss😘🥰🥰









Olvasás folytatása

You'll Also Like

1.2M 45.8K 26
Seorang atlet silat yang bertransmigrasi ke dalam Novel sebagai ketua geng motor yang terkenal pembuat onar PART TIDAK LENGKAP ❗❗ Cerita murni hasil...
2.3M 265K 54
Alvan dan Alvin, mereka kembar. Namun, mereka tidak diperlakukan secara adil. Ayahnya hanya mementingkan Alvan, Alvan, dan Alvan. Ayahnya juga selal...
143K 14.4K 54
gatau 🗿 nikmati saja.
43K 7.2K 28
cerita suka-suka yang penting cerita wkwk