1. Tanda Kutukan Iblis

7.1K 458 33
                                    

Malam sudah semakin larut, angin tidak lagi bersahabat, terus bertiup kencang dan menggetarkan cahaya lilin di ruang ini. Ruangan dengan tiga papan nisan yang diukir indah, aroma dupa yang lembut terbang di langit-langitnya.

Meski api terus berada diambang mati dan menyala terus menerus, seseorang yang berlutut di ruangan itu tidak bergeming sama sekali. Membiarkan pintu yang tadinya separuh terbuka kini menjebak lebar, namun ia tidak tersentak pun kaget.

Rambutnya terurai panjang, bahunya yang lebar merosot lemah, alis yang tanpa kesedihan sudah tampak mengernyit, ditambah kerutan dahinya saat ini membuat kesedihan dan rasa frustasi semakin pekat. Ia tidak menangis, hanya menatap nanar. Ia tidak lagi menyesal, hanya masih kehilangan. Ia tidak lagi mendendam, hanya terus merindukan.

Jiang Cheng, Jiang Wanyin, Pemimpin Sekte Jiang.

Hampir satu tahun telah berlalu, sejak akhirnya dunia tahu siapa musuh besar mereka semua. Hampir satu tahun berlalu dan ia masih belum bisa berbicara dengan tulus, mengatakan yang sebenarnya ia rasakan, mengutarakan isi hatinya pada semua orang yang ia sayangi.

Nyonya Yu, Tuan Jiang, Jiang Yanli.....Wei Ying. Sepanjang hidupnya ia selalu menahan diri, lidahnya terikat begitu hendak mengatakan bahwa ia begitu khawatir pada seseorang, tenggorokannya akan serak dan akan tetap berakhir diam.

Malam ini ia begitu kacau, lebih dari hari-hari sebelumnya. Karena baru saja ia menyalami mimpi terburuknya, kejadian yang sangat ingin ia lupakan. Ketika rumahnya berubah menjadi lautan api dan darah, kemudian melihat kembali bagaimana saudaranya dihancurkan oleh kekuatan gelap tanpa sisa.

Tahun itu adalah kegelapan yang sebenarnya, ketika orang-orang dan sekte lainnya bergembira, saat ribuan lentera dilepas ke langit sebagai bentuk kebahagiaan. Ia hanya berlutut di hadapan nisan keluarganya, terdiam, dan menyadari semuanya tidak banyak yang berubah. Orang-orangnya yang telah mati tidak hidup kembali, rumah tidak lagi menyediakan kehangatan. Hampa dan kosong. Ia sendirian.

"Ayah, Ibu, Kakak....aku ingin kembali, sangat ingin kembali. Tapi semuanya terlambat, terlalu terlambat. Begitu banyak hal yang kusesali, peperangan dan darah, entah mengapa hanya aku yang selamat dari itu semua, diantara begitu banyak keluarga kita itu hanya aku seorang." Suara itu bergetar, namun tetap tanpa air mata, kental akan rasa putus asa, kembali terjebak dalam ingatan masa lalu.

Kedua tangannya menggenggam jubah luarnya dengan erat, kain ungu di bahunya sudah merosot jatuh, menunjukkan lapisan putih lainnya yang tidak dapat menutupi gemetar tubuh empunya. Penampilan Jiang Cheng terlalu berantakan untuk bisa keluar dari kamarnya, tanpa alas kaki, tanpa mengikat rambut, tanpa memasang pakaian dengan benar.

Tapi, siapa peduli? Tidak ada seorangpun yang akan berani memperingatkannya, para penjaga yang berjaga malam ini hanya bisa menunduk saat ia berlari keluar dari kediamannya dengan tampilan seperti itu. "Ayah, aku sudah berhasil mencapai titik ini. Tapi, aku tidak tahu apakah semuanya benar atau salah, Ayah tidak lagi ada untuk memberikan jawaban atas pertanyaan ku."

Jiang Cheng menarik napas panjang, punggungnya semakin menunduk ke bawah, hampir seperti posisi bersujud. "Ibu, aku tidak tahu mengapa...saat mengingat semua kemarahan mu, mendengar Ayah memberiku hukuman, saat zidian memberikan bekas luka yang tidak bisa lagi hilang. Bukan kemarahan, aku ingin merasakannya sekali lagi, meski hanya sekali lagi."

Sudah tak terhitung lagi berapa banyak ia berpikir untuk selesai, merasa cukup sampai di sini ia hidup. Merasa percuma saat ia tidak lagi memiliki teman berbicara, Wei Wuxian? Tidak, ia sudah berhutang kehidupan dengannya, ia tidak lagi ingin menghalangi jalan yang ingin di ambil oleh orang itu.

Pada akhirnya dahi Jiang Cheng terkantuk pada lantai kayu, sekali...dua kali...tiga kali. Rona kemerahan mewarnai wajahnya, bibirnya yang tipis sudah dilapisi cairan merah tipis, ia menggigitnya untuk menahan tangis. Setelah beberapa saat barulah ia memutuskan untuk berhenti dan cukup, saat ia berdiri kakinya bergetar, sempoyongan. Dan pada saat yang bersamaan angin kencang itu akhirnya berhasil memadamkan pencahayaan di ruangan itu.

Our Secret Affair 1Where stories live. Discover now