Chapter 28 Bagian 4 "Keputusan Para Calon Penerus Takhta"

96 66 0
                                    

POV Karim

Aku bangun dari tidurku, melaksanakan salat tahajud kemudian pergi ke masjid yang berada dekat rumahku, melaksanakan salat subuh di sana, meminta Allah untuk melembutkan dan melunakan hati ayahku agar beliau mau merundingkan saran yang akan kuberikan padanya, kemudian pulang ke rumah dan melaksanakan aktifitas pagiku seperti biasa.

Saat jam sudah menunjukan pukul 10, aku mengambil smartphoneku yang tergeletak di meja ruang tamu, mengusap layarnya, membuka kunci layarnya, membuka kontak WhatsApp smartphoneku dan menelpon ayahku. Suara dering panggilan keluar terus berbunyi dan pada akhirnya berhenti saat ayahku menjawab panggilan teleponku.

"Assalamualaikum, Ayah?" ujarku pada beliau memberikan salamku.

"Waalaikumussalaam, iya Karim, kenapa kamu nelpon? Apa kamu nelpon karena kamu udah memutuskan buat milih jalur yang mana?" tanya Ayahku.

"Iya, Ayah. Aku nelpon Ayah, karena aku mau ngasih tau ayah mengenai keputusanku buat pilihan yang Ayah udah kasih ke aku." aku terdiam sejenak, menarik napas dalam kemudian menghembuskannya sembari mengucapkan kalimat basmalah di dalam hatiku.

"Aku, enggak mau jadi dua-duanya, aku mau lebih milih buat ngelanjutin hidupku yang sekarang yang tenang, aku enggak mau hidupku diusik sama berbagai bahaya akibat kegiatan politik atau sejenisnya." ujarku pada Ayahku.

"Hah?! Kenapa?! Kamu punya pilihan yang ngasih kamu kesempatan buat jadi raja atau orang kaya yang uangnya bisa kamu pake buat merjuangin kebaikan tapi, kenapa kamu malah nolak itu semua?!" ujar Ayahku, membalas perkataanku dengan membentakku.

"Karena, Ayah sendiri bilang Keraton Sucilangkung udah dikuasain sama orang-orang jahat dan Ayah sendiri nolak takhta Kesultanan Sucilangkung padahal kalau Ayah nerima posisi Ayah sebagai Sultan, Ayah juga bisa nyoba buat merjuangin keadilan supaya tegak di kota ini tapi, kenapa Ayah malah nolak dan ngasih aku dua pilihan hidup itu cuman buat ngejadiin aku pion yang berjuang sendirian buat negakin keadilan yang udah ilang di Kota Sucilangkung sedangkan Ayah sendiri berlindung di rumah Ayah, nyari aman kayak pengecut." ujarku pada Ayahku dengan nada sinis.

"Karim! Kamu?!" ujar Ayahku lagi dengan membentakku.

"Apa? Lancang? Iya, aku akuin aku memang lancang barusan dan aku mohon maaf ke Ayah buat kelancanganku tadi tapi, kenapa seseorang harus ngikutin perintah orang lain buat ngelakuin sesuatu sedangkan orang yang nyuruh dia buat ngelakuin sesuatu itu enggak nyontohin hal yang sama?" tanyaku pada Ayahku masih dengan nada sinis.

"Tapi Ayah..." ujar Ayahku kemudian aku memotong kalimatnya.

"Tapi apa? Mau Ayah kasih alesan apapun ke aku mengenai alesan Ayah enggak mau jadi Sultan, aku enggak peduli karena pada kenyataannya, alesan Ayah enggak mau nerima posisi itu adalah karena Ayah udah nyerah sama keadaan dan lebih milih hidup tenang sambil ngeliat kejahatan dan kehancuran merajalela di Keraton jadi, apa salahnya kalau aku milih buat ngelakuin hal yang sama?" tanyaku pada Ayahku masih dengan nada yang sinis.

"Ki Hajar Dewantara pernah bilang, ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani (Di depan memberikan teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberikan dorongan), dan Ayah sendiri sebagai orang tuaku yang juga calon penerus takhta Kesultanan Sucilangkung belum pernah sekalipun ngasih aku contoh gimana cara yang baik buat ngatur pemerintahan kota ini atau memperjuangkan tegaknya keadlian make pengaruh kekuasaan sama harta yang Ayah punya kayak yang Cokroaminoto lakuin jadi, gimana aku bisa ngejalanin peranku sebagai pemimpin dan negakin keadilan di kota ini nanti make kekuasaan sama harta yang aku punya kalau Ayahku sendiri sebagai calon penerus takhta Kesultanan Sucilangkung enggak ngejalanin perannya buat ngasih aku contoh serupa yang bisa aku teladanin?" ujarku bertanya pada Ayahku, berusaha untuk membuatnya paham mengenai kenapa aku mengatakan semua kalimat yang terkesan lancang itu padanya.

Keheningan mengisi ruang sambungan telepon antara smartphoneku dan Ayahku hingga, sekitar 3 menit kemudian, Ayahku memberikan jawabannya.

"Baik, Karim, Ayah paham maksudmu ngomong gini. Iya, Ayah bakal ngambil peran Ayah sebagai Sultan Sucilangkung, terima kasih Karim karena kamu udah nyadarin Ayah dari kesalahan Ayah tapi, karena Ayah bakal ngambil posisi Sultan, Ayah harap kamu bersedia buat bantu Ayah negakin keadilan di kota Sucilangkung dengan harta yang kami punya setelah kamu sukses jadi pengusaha Muslim." ujar Ayahku padaku.

"Iya Ayah, itu pasti. Oh satu lagi, aku harap Ayah mau ngejenguk adik Ayah dan nyoba buat maafin dia, Ayah bilang adiknya Ayah lagi di rawat di Rumah Sakit karena penyakit kanker jadi, andaikan dalam waktu dekat waktunya di dunia udah abis, paling enggak dengan Ayah maafin kesalahannya, dosa-dosa yang dia piku karena nyakitin Ayah bakalan diampuni sama Allah." ujarku, mengajukan permintaanku agar Ayahku mau mencoba memaafkan adiknya.

"Iya, Karim. Ayah bakal nyoba, assalamualaikum." ujar Ayahku mengabulkan permintaanku kemudian memberikan salamnya, menutup percakapan antar kami berdua.

"Waalaikumussalaam." ujarku menjawab salamnya kemudian memutuskan sambungan teleponku dengannya.

Aku menyenderkan punggung dan kepalaku di senderan sofa lalu menghembuskan napasku dan mengusap wajahku dengan kedua telapak tanganku sambil mengucapkan kalimat hamdalah. Mevrow Sofia yang sedari tadi, duduk di sebelahku dan turut mendengarkan percakapanku dengan Ayahku turut mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya, bersyukur karena pada akhirnya kami berdua tidak harus menanggung beban untuk memimpin kota ini sendirian dan Allah berkehendak untuk melunakan hati Ayahku agar ia menyadari kesalahannya, berhenti menjadi seorang pengecut dan mengambil perannya yang selama ini ia hindari.


Antara Darah Dan Hati 2 Dream RealityWhere stories live. Discover now