Eighty Three

1.1K 128 66
                                        

Hai guys!

Sebelum membaca mari kita VOTE sama sama dengan cara :

-tekan layar ini sekali
-setelah ada tanda bintang dibawah, tekan tanda bintang tersebut sampe jadi Oranye.
-DAN WELL DONE! kamu udah kasi dukungan.

Terimakasih!
Selamat Membaca!

Saaih mencoba untuk mencerna ucapan Abinya. Setelah mengerti apa maksud Abinya, tubuhnya refleks mundur beberapa langkah. Raut wajah bingung dan kecewa sangat tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.

Namun dengan cepat ia langsung mengubah raut wajahnya.
Saaih tersenyum. Palsu. Saaih menatap Thariq sekilas yang terlihat merasa bersalah. Dan juga melihat Zahra sekilas. Yang berada di samping Thariq.

"Bagus," Saaih bahkan kini telah kehilangan kosa kata yang berada dalam otaknya. Semua kosa kata yang tersimpan dalam otak Saaih tiba-tiba hilang tak tersisa. Ia kehabisan kata-kata.

"Dan selamat," ucap Saaih pada Thariq dan Zahra yang berdiri bersebelahan.

"Bi, Saaih boleh ke kamar sekarang kan?" tanya Saaih yang tiba-tiba dipotong suara teriakan dari luar.

"Apa?!" suara Umi terdengar marah.

"Bagaimana bisa kalian mengambil keputusan tanpa bertanya pada Umi sedikit pun?" tanya Umi terlihat marah sekaligus kecewa.

Saaih memejamkan matanya kuat. Entah ini pertengkaran keberapa kali yang disebabkan oleh dirinya.

Ia tak ingin melihat ini. Saaih naik ke atas tangga dan berjalan lunglai menuju kamarnya.

"Bang Saaih," gumam Fateh pelan lalu mengikuti abangnya dari belakang.

Saaih tak menghiraukan suara Fateh di belakangnya. "Tinggalin abang sendiri Teh," ucap Saaih dingin hendak menutup pintu.

"Mau sampe kapan?" tanya Fateh membuat Saaih mengejutkan keningnya.

"Mau sampe kapan abang nyuruh orang lain senyum, tapi abang sendiri ga bisa senyum," ucap Fateh berteriak.

"Pergi." ucap Saaih dingin.

"Bang," Fateh masuk dan memanggil abangnya pelan. Walau masih kecil sikapnya sudah bisa dibilang dewasa.

Saaih terdiam. "Keputusan abang tadi seharusnya udah bener,"

"Seharusnya abang ga pulang,"

"Kehadiran abang disini hanya membawa pertengkaran," ucap Saaih langsung menghela nafas berat.

"Ngga bang, dengan abang pulang maka-,"

"Maka apa?" potong Saaih cepat.

"Sebelum bang Saaih pulang, Umi sama Abi ga bertengkar,"

"Tapi sekarang?"

"Saaih ga bisa terus diem, Bang Saaih udah muak, MUAK," teriak Saaih pada akhir kata. Ia lalu segera turun ke bawah ke tempat di mana semua orang masih berada.

Dari atas ia sudah bisa melihat orang tuanya sedang adu mulut saat ini. Dengan cepat ia langsung menghampiri Thariq dan Zahra yang berada bersebelahan.

"Lu sayang dia kan?" tanya Saaih pada Thariq to the point. Membuat Thariq terdiam di tempatnya. Ia tak mengerti maksud pertanyaan Saaih. Nada bicara Saaih terdengar begitu tenang tetapi tidak dengan sorot matanya yang terlihat sangat terluka.

"Jawab bang," pinta Saaih.

"Ya,"

"Zahra, kamu sayang abang aku kan?" tanya Saaih kini pada Zahra yang kikuk di tempatnya.

My Life •Saaih Halilintar•Donde viven las historias. Descúbrelo ahora