"Fifty Nine"

2K 187 54
                                        

Kita buat kesepakatan yuk!

Aku tulis cerita, kamu baca dan VOTE.

Kamu rajin VOTE, otomatis aku bakal jadi rajin nulis.

Gimana?

Setuju?

Yaudahh

Ayo VOTE!

1...
2...
3...

THANKYOU! SELAMAT MEMBACA!

Sajidah yang tak kunjung mendapat jawaban Thariq semakin meninggikan nada bicaranya. "Di mana Saaih liq?!"

Thariq hanya bisa menunduk, sedangkan yang lain juga ikut menunggu jawaban dari Thariq. Ya walaupun mereka tak peduli, tetapi kini mereka jadi penasaran melihat sikap Thariq yang kikuk ketika ditanya oleh Sajidah.

"Saaih tadi ketiduran" jawab Thariq ragu.

Sajidah mengerutkan keningnya, mendapat jawaban Thariq bukannya tenang malah semakin ragu dengan sikap Thariq. "Hm, yaudah kamu makan aja" Sajidah mempersilahkan Thariq makan.

"Hm kak,"

"Thariq ke sini cuma mau ngasi tau aja. Maaf Thariq ga bisa ikut makan. Thariq masih kenyang" ucap Thariq pergi meninggalkan yang lainnya.

Sajidah semakin khawatir dengan sikap adiknya itu, ada apa dengan Thariq. Ia benar benar tak mengerti. "Yang lain ayo kita makan aja" pimpin Atta.

Sajidah menyiapkan makanan bagi semua dan dirinya sendiri juga. Kini hatinya tengah tak tenang karena ada dua kursi kosong. Ia hanya makan sedikit dan segera menghabiskan makanannya mendahului yang lainnya.

Setelah menyelesaikan makan malamnya Sajidah langsung bergegas ke kamar Saaih. Ia curiga Thariq sedang menyembunyikan sesuatu padanya. Dengan langkah yang ragu. Sajidah mulai memasuki kamar Saaih.

Dilihatnya kini Thariq sedang meringkuk, terus menggenggam tangan Saaih, dengan mata yang sembab.

"Thariq?" Sajidah memanggil Thariq pelan, membuat Thariq menyadari kehadiran Sajidah di kamar itu.

Thariq menghapus air matanya, dan segera mengangkat kepalanya ketika mengetahui Sajidah juga berada di kamar Saaih.

Sajidah mengunci pintu kamar Saaih dan mulai mendekat, membuat Thariq semakin tegang. Sajidah hanya bisa mengerutkan keningnya melihat kelakuan adiknya yang kian aneh seperti itu 'Untuk apa menangisi seseorang yang tengah tertidur?' batin Sajidah.

"Kamu kenapa liq?" tanya Sajidah sambil menepuk pundak Thariq.

"Maafin Thariq kak, Thariq yang bikin Saaih jadi begini" ucap Thariq kembali menenggelamkan wajahnya.

"Maksudnya? Kakak ga ngerti liq?" ucap Sajidah.

Thariq menceritakan semuanya. Membuat tangis Sajidah pecah, ia ingin tak mempercayai semua itu. Tetapi itulah kenyataannya. "Dan parahnya sekarang Dokter Herman bilang dia udah stadium 3"

"Yang bahkan dia sendiri gatau tentang hal ini"

"Yang berarti harapan dia untuk sembuh semakin kecil" ucap Thariq terisak.

"Ssstttt ngga! Saaih bakal sehat dan baik baik aja!" Sajidah menutup bibir Thariq dengan telunjuk kanannya.

"Dia udah janji sama kakak, dia bakal sehat dan baik seperti semula. Seberapa kecil harapannya, bahkan kalo cuma 1% harapannya"

"Kaka masih bisa yakin kalo Saaih bakal baik baik aja" Sajidah menurunkan telunjuknya dari bibir Thariq.

Sajidah memandangi Saaih yang sedang berada di alam bawah sadarnya. Pilu hatinya melihat adiknya kini ,berwajah pucat berkantong mata hitam, dan semakin kurus.

"Maafin Thariq kak, ga seharusnya Thariq bikin dia tertekan sampai segininya" ucap Thariq terisak.

Sajidah tak sanggup berkata kata lagi. Ternyata dibalik senyum manis yang selalu dipancarkan Saaih memiliki luka dengan rasa sakit yang meradang yang tengah ditutupi.

"Dia pinter akting ya liq? Pinter pura pura juga, sampe kita bener bener gatau kalo dia sebenernya ga baik baik aja" ucap Sajidah tak memindahkan pandangannya pada Saaih.

Thariq tak menjawab Sajidah, ia hanya ingin adiknya kembali sadar. Andai Saaih tau bahwa setiap sakit yang ia rasakan, ia juga merasakan rasa sakit yang sama. Hanya itu, setiap kata kata yang diucapkan Saaih tadi semakin membuatnya benar benar takut akan kehilangan adiknya itu.

"Yaudah, kaka ambilin kamu makan dulu ya, kamu belum makan malem" ucap Sajidah.

"Udahlah gausah Thariq lagi ga nafsu"

"Kaka gamau ya, kalo kedua adik kakak sakit secara bersamaan"

Sajidah menghapus kedua air matanya, lalu bergegas ke dapur mengambil makanan untuk Thariq.

Thariq makan tak seperti biasanya, tak lahap seperti biasanya. Ia hanya menghabiskan separuh dari porsi makannya.

"Liq, ini udah malem. Kamu mau tetep jaga dia di sini?" tanya Sajidah.

Thariq hanya mengangguk lemah mengiyakan ucapan Sajidah. "Yaudah kaka ke kamar dulu ya,"

"Inget kalo ada apa apa kasi tau kaka aja, ga boleh ada sembunyi sembunyi lagi" tegas Sajidah sambil membersihkan makanan Thariq dan bergegas pergi.

***
02:00

Thariq terbangun karena suhu tubuh yang tak biasa menyentuh kulitnya. Thariq merasakan suhu tubuh Saaih yang meninggi. Sepertinya ia demam. Thariq langsung bergegas ke bawah untuk mencari kotak obat dan termometer.

39,5° celcius.

"Astaga!" Thariq sedikit berteriak, ia sangat terkejut. Suhu tubuh Saaih sangatlah tinggi.

Tanpa berlama lama ia langsung mengambil sebaskom air hangat serta handuk bersih. Untuk mengompres Saaih.

Dengan telaten Thariq terus mengompres Saaih. Celupkan handuk ke dalam baskom berisikan air hangat, peras, lalu letakkan lagi di dahi Saaih. Itulah yang dilakukan Thariq secara berulang ulang.

Thariq benar benar cemas, ia tak melepaskan genggaman tangannya dari tangan Saaih yang walaupun tak sadar terus menggenggam tangannya erat. Demam seperti ini tak pernah terjadi pada Saaih, ini pertama kalinya.

Sudah pukul empat pagi. Thariq merasakan lelah dan rasa kantuk yang luar biasa. Ia kembali tertidur, bersama Saaih.

***
07:00

Secara perlahan Saaih mulai membuka kelopak matanya, lalu mengerjap selama beberapa kali karena sengatan sinar matahari yang masuk melewati ventilasi kamarnya.

Pertama kali yang ia rasakan adalah pusing. Tangan kirinya mulai menyusuri, meraba dahinya sendiri. Lalu mulai memijati pelipisnya sendiri.

Tangan kanannya? Tak bisa ia gerakkan karena tangan Thariq yang masih menggenggam tangannya walaupun Thariq entah sadar atau tak sadar saat menggenggam tangannya.

Saaih menatap wajah abangnya sendu, ia bisa melihat wajah Thariq yang terlihat sangat kelelahan. Ia pasti telah merepotkan abangnya itu, pikirnya.

Entah mengapa setetes air mata jatuh dari matanya. Ia menyesali yang ia lakukan kemarin. Betapa egois dirinya sampai tak memikirkan abangnya yang juga peduli padanya.
Mengapa ia bisa bisanya hanya memikirkan rasa sakitnya saja?

~*~*~*~
Makasi buat yang udah baca!
Makasi juga yang udah VOTE!
Jangan lupa tinggalkan komentar kalian ya!

Thankyou!❤💕💕

My Life •Saaih Halilintar•Where stories live. Discover now