Saaih masih tetap memeluk abangnya. Ia seperti tak ingin kehilangan abangnya itu. Tak ingin kehilangan pilar utama kehidupannya
Bagaimana pun juga bang bucinnya itu yang selalu ngeselin dan lain lain. Tetaplah seorang abang yang siap membelanya kapan pun. Bahkan hingga harus berdebat dengan Atta sekali pun.
Thariq mulai melonggarkan pelukannya. Dan mulai menatap adiknya itu.
"Apa sih susahnya ngomong jujur ih?" tanya Thariq dengan suara yang sedikit sumbang karena sehabis menangis.
Bukannya menjawab Saaih lebih memilih untuk membuang muka menatap kosong di depannya. Sambil sesekali menyeka air matanya. Menurutnya pilihan terbaik saat waktu kali ini ada adalah Bungkam.
"Kalo kamu bilang yang sesungguhnya aja sejak awal mungkin ga bakal sampai kek gini ih" Thariq masih tak memindahkan pandangannya pada Saaih.
"Ga bakal ada yang mengerti bang. Semua itu percuma" Saaih masih tetap menatap kosong kedepan.
"Tapi kan kita belum coba ih"
"Itu yang aaih takutin bang,, ekspetasi abang terlalu tinggi. Aaih tau mereka sayang aaih. Gimana kalo mereka bener bener ngejauh bang??" Saaih mulai memelankan suaranya.
"Ngga ih, mereka ga bakal ngejauh. Abang yakin!" ucap Thariq.
"Ekspetasi abang terlalu tinggi bang. Aaih takut abang bakal jatuh di ekspetasi abang sendiri!" Saaih mulai berdiri menatap Thariq.
"Udahlah, abang lupain aja" Saaih kembali duduk di samping Thariq dan kembali menunduk.
"Yaudah kalo gitu, satu pertanyaan abang. Emang kamu kuat bakal hadapin ini. Ini bukan demam yang setelah 2-3 hari bakal sembuh, walau cuma pake paracetamol doang. Ini berbeda ih, ini Kanker. Dia-," Thariq menghentikan ucapannya
"Dia bisa ambil aaih kapan aja? Maksud abang gitu kan." tanya Saaih kini menoleh pada Thariq.
"Kenapa ga dilanjutin bang? Kenapa abang ga bisa percaya kalo aaih bisa lebih kuat daripada penyakit sialan ini?"
"Mana abang yang selalu percaya ama Aaih? Please cuma mereka yang benci dan kasihan ama aaih. Jangan abang juga, cuma abang yang aaih punya."
"Jangan kayak mereka juga bang, sekarang aaih cuma bisa bergantung sama abang dan kak Jidah."
Thariq tak menjawab semua pertanyaan maupun pernyataan Saaih. Terlalu sakit buatnya untuk melihat adiknya serapuh itu. Ya ia Rapuh! Ia hanya terlihat seperti baik baik saja. Thariq tau Saaih tak sedang baik baik saja. Ia lalu mulai memindahkan pandangannya kembali ke Saaih. Ia menatap adiknya itu penuh kesedihan.
"Kenapa?" Saaih mulai menyadari Thariq menatapnya sejak tadi.
"Lebih baik kamu jangan ngomong aja ih,, lupain aja kesedihan kamu itu ih. Omongan kamu semuanya bikin abang ikut sakit." Thariq tanpa sadar mengucapkan semua itu.
Saaih benar benar terkejut. "Lupain?" Jika semudah itu untuk melupakan semuanya. Maka tak mungkin ada di posisi ini sekarang. Orang yang paling ia percaya mengatakan hal seperih itu buat dia. Tetapi ia hanya tersenyum miring.
"Hm bukan gitu maksud abang-,"
"Bayangkan aja kalo nanti aaih ceritain semua ini ke semua orang. Maka mungkin aaih bakal nerima dua belas pernyataan yang sama seperti ini." ucapnya masih tersenyum menatap langit.
"Ngga ih bukan itu maksud abang."
"Abang minta maaf"
YOU ARE READING
My Life •Saaih Halilintar•
Fanfiction"Saaih Halilintar" Siapa sii yang gatau Saaih Halilintar? Presidennya sasquad Bagian dri gen halilintar Sosok yang selalu ceria, pecicilan, ga bisa diam,, hingga Penyakit dan semua masalah itu datang hingga ia menjadi berubah. *HANYA FIKSI SEMATA GU...
