"Gua juga serius." jawab Thariq ketus.

"Saaih?" Thariq mencoba untuk menggoyangkan tubuh Saaih. Memang pada saat itu Saaih masih dalam keadaan terpejam.

"Ck!" decak Atta kesal pada adiknya. Ia langsung melenggang pergi mencari dokter. Thariq seperti bercanda dan ia benar benar tak suka hal itu. Ini bukan waktu yang tepat.

"Saaih?" Thariq mencoba kembali menggoyangkan tubuh Saaih.

Kini Saaih sudah membuka kelopak matanya. Nafasnya terlihat sangat tidak beraturan. Dirinya terlihat seperti baru menyelesaikan sebuah perlombaan lari. Ngos-ngosan. Keringat terus mengucur dari dahinya. Saaih mencoba mengatur nafasnya yang tak beraturan itu. Sakit. Saaih mencoba menarik nafas lalu mengeluarkan nafas sesuai dengan tempo.

Pandangan matanya yang mulanya mengabur kini sudah bisa menatap Thariq secara intens.

Menatap intens Thariq seperti ini membuat dirinya terdorong masuk ke dalam kenangan disaat di mana ia mulai semakin dekat dengan Thariq karena penyakit ini. Lalu Thariq yang selalu siap sedia membelanya bagaikan tameng. Dan hingga saat ini masih tetap berada di sisinya.

"Saaih?" Thariq membuyarkan lamunan Saaih. Membuat Saaih yang sedari tadi memandang Thariq memindahkan pandangannya ke lain tempat.

"Lu gapapa?" pertanyaan Thariq, membuat Saaih yang tadi mencoba mengalihkan pandangannya ke yang lain kembali menatap wajah Thariq yang kini semakin terlihat tirus.

Saaih hanya bisa menjawab dengan menggelengkan kepalanya. "Gapapa." ucapnya sedikit terbata tetapi masih bisa dimengerti Thariq.

Bagaimana caranya mengatakan pada Thariq bahwa mimpi ini mengganggunya lagi. Ralat! Ini bukan mimpi, melainkan kenyataan yang selalu menyakiti batinnya setiap hari.

Potongan-potongan kejadian yang coba Saaih hapus dari ingatannya telah disusun rapi oleh Tuhan dalam bentuk bunga tidur atau yang biasa disebut dengan mimpi. Entah apa maksud Tuhan dengan memberikan ini semua padanya, ia sama sekali tak mengerti.

Apa Tuhan ingin ia selalu mengingat semua kesalahan kesalahannya?
Dan mencoba untuk selalu meletakkannya dalam keterpurukan?
Apa maksudnya?
Ia tak mengerti sama sekali.

"Saaih." panggil Thariq sekali lagi menyadari pikiran adiknya itu melayang jauh. Seperti dirinya kembali berada di alam bawah sadarnya. "Ada yang sakit?" tanya Thariq lagi.

Pertanyaan Thariq kembali membuat dirinya berfikir. 'ada yang sakit?'. Rasa sakit adalah temannya setiap saat. Rasa pusing ini sudah sangat biasa baginya. Ia seperti kebal. Rasanya ia sudah mati rasa dengan semua rasa sakit yang ia rasakan.

Saaih lagi lagi hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan.

"Kalo ada apa apa ku bisa tinggal ngomong ama gue."
"Gue pasti akan coba untuk selalu ada buat lo." ucap Thariq kini mengelus kepala Saaih perlahan.

"Jangan pernah coba untuk ninggalin gue Ih, gua bakal hancur." Rasanya Thariq masih belum bisa melupakan saat kejadian di tebing itu. Saat dimana ia melihat Saaih berdiri di bibir jurang. Ia tau bahwa itu hanya kesalahpahaman belaka, tetapi dirinya tetaplah takut.

Bagaimana tak takut? Thariq ingat betul tatapan keputus-asaan Saaih. Dan tatapan kosong adiknya itu. Ia pasti sangat tertekan saat itu. Senyum yang Saaih suguhkan padanya saat itupun terlihat tidak beres.

"Jangan pernah tinggalin gue." ucapnya lirih. Sambil menggenggam erat tangan dingin Saaih.

Melihat abangnya Saaih hanya bisa memberikan seulas senyuman tulus yang sangat menenangkan bagi Thariq. "Gua bakal selalu ada." ujar Saaih. "Gua ga bakal kemana mana." tambahnya.

My Life •Saaih Halilintar•Where stories live. Discover now