Dokter Herman lalu mencium kening Saaih sayang. Melepaskan masker oksigen secara perlahan dari wajah tampan Saaih.
"Maafkan saya" ucap Dokter Herman menarik kain putih dan menutupi seluruh wajah Saaih hingga sampai ujung kepalanya.
Setelah mematikan semua alat alat kedokteran tersebut. Dokter Herman lalu keluar dari ruang ICU.
Melihat wajah Dokter Herman yang murung, tak ada satupun dari mereka berdua untuk bertanya tentang keadaan Saaih. Mereka tak ingin mendengar berita buruk tersebut dari Dokter Herman.
Bukan hanya wajah yang murung, air mata yang membasahi pipi Dokter Herman juga membuat mereka semakin takut untuk menanyakan semuanya.
Thariq mencoba untuk memberanikan dirinya, menarik nafasnya dalam dalam.
"Dok?" tanya Thariq, menatap wajah Dokter Herman, walaupun wajahnya yang tertutup masker Thariq bisa melihat mata dokter paruh baya itu yang sembab. Semakin membuat tubuhnya bergetar menahan rasa takut.
"Maafkan kami"
"Kami tidak bisa menyelamatkan Saaih"
.
.
.
.
.
Seketika tubuh Atta dan Thariq terasa lemas, kaki mereka berdua sudah tak bisa merasakan tanah, tak bisa lagi menapak tanah.
Yang mereka takutkan ternyata benar adanya. Ini benar benar terjadi, mimpi buruk ini benar benar terjadi.
"Jujur saya pribadi juga benar benar merasa kehilangan dirinya"
"Saya sudah menganggap dia sebagai putra saya sendiri"
"Saya serta semua perawat di sini ikut berbelasungkawa" ucap Dokter Herman.
Sedangkan dua pemuda itu sama sekali tak mendengarkan ucapan Dokter Herman lagi. Telinga mereka rasanya sudah tak ingin mendengar kata kata apapun yang sudah dokter paruh baya itu sampaikan sejak ia mengucapkan bahwa 'mereka tak bisa menyelamatkan Saaih'
Thariq menjambak rambutnya frustasi. Ia tak bisa mempercayai ini, tak mungkin adiknya akan meninggalkannya begitu saja. Hatinya sangat sakit mendengar ucapan yang dilontarkan Dokter Herman tadi. Seketika indra pendengarannya menolak untuk mendengar apapun lagi dari Dokter Herman.
Sedangkan Atta ia sangat kacau, ia menangis dalam diam menundukkan wajahnya. Dirinya seperti malu menunjukkan wajahnya pada dunia. Dan terus mengutuk dirinya sendiri "Atta! Lu pembunuh Saaih!"
"Lu yang buat dia kek gini!
"Lu pecundang Atta! Lu pecundang! Lu ga lebih dari seorang pecundang!" ucap Atta tiada henti.
Sedangkan Thariq juga kini ikut kacau, dirinya lalu mengepalkan tangannya keras. Lalu menarik kerah baju dokter paruh baya itu keras.
"Kenapa lu ga bisa selamatin adik gue?!"
"Lu bilang lu dokter kan?!"
"Seharusnya lu bisa selamatin dia, seperti gimana lu nyelamatin pasien pasien lu lainnya!" ucap Thariq tak melepaskan kerah bajunya, membuat semua pandangan mata mengarah padanya.
Dan membuat dua orang security berbadan kekar menghampiri kerumunan dan mencoba menyelamatkan Dokter Herman dari tatapan tajam, serta cekikan kerah baju Thariq.
"Lepaskan! Atau anda keluar dari rumah sakit ini! Jangan membuat keributan di sini!" ucap salah satu security.
"Jangan! Ini adalah perasaan yang normal,, inilah yang dinamakan kehilangan." ucap Dokter Herman pada security yang mengancam Thariq tadi.
"Mau tidak mau kita harus menerima ini. Dia memang harus pergi."
"Daripada di dunia ini dia harus tersiksa oleh penyakit yang terus bersarang di tubuhnya, tidakkah anda ingin melihat ia bahagia. Mungkin dengan sekarang ia sudah bisa bahagia" ucap Dokter Herman berkaca kaca. Dan membuat genggaman kerah Thariq pada Dokter Herman semakin melemah. Kini tubuhnya sudah terduduk di kursi samping Atta.
"Maafkan kami" ucap Dokter Herman menepuk pundak Thariq, tanda mencoba untuk menenangkannya.
Tiba tiba pintu ruang ICU tersebut itu terbuka membuat tiga pasang mata itu menatap brankar yang didorong keluar dari kamar ICU.
Terlihat ada sebuah tubuh yang full body tertutup dengan kain putih di atas brankar membuat tubuh Thariq dan Atta semakin melemas melihatnya.
Dengan tangan yang bergetar Atta mencoba menghentikan brankar yang hendak menuju pergi. Ia mencoba menekan tangisnya.
Dengan tangan yang bergetar secara perlahan Atta mencoba membuka kain putih tersebut dari atas kepala.
Perlahan Atta mulai melihat wajah Saaih yang sudah pucat pasi. Ia tak bisa melanjutkan kegiatannya itu. Sungguh tak kuat rasanya. Namun rasa penasarannya lebih besar dari semua itu. Ia lalu menarik kain itu hingga sampai leher namun ia tak melihat. Ia menutup matanya. Menutup matanya yang sembab. Ia tidak berani melihat semua itu. Ia belum siap.
"Nggak! Saaih! Bangun! Abang harus ngomong apa ke Umi, Abi? Saaih!" teriakan Thariq mampu membuat kelopak mata Atta perlahan membuka membuat dirinya melihat adiknya itu terbaring lemah tak bernyawa.
"Saaih?!"
"Saaih?!"
"Saaih!" kini Atta memeluk tubuh Saaih yang sudah kaku, dan sangat dingin.
"Bang!"
"Bang Atta!"
"Bangun bang!"
"Abang kenapa?!" tanya Thariq cemas.
Atta lalu membuka matanya, dilihatnya sekeliling. Saudara saudaranya menatap aneh.
"Abang tidur mimpi apaan sih? Ngigau nama Saaih sambil nangis.
"Abang gapapa?" tanya Sajidah kini duduk di sebelah Atta.
Atta pun menggosok matanya, menghapus air mata yang terus mengalir, serta menghapus keringat dingin yang terus bercucuran di wajahnya. 'Mimpi buruk ternyata:(' batin. Atta
•~•~•~•
Hai guys!
Thank you for reading!
Jangan lupa VOTE!
Ditunggu 85 VOTE nya ya!
Bubayy😘❤❤
YOU ARE READING
My Life •Saaih Halilintar•
Fanfiction"Saaih Halilintar" Siapa sii yang gatau Saaih Halilintar? Presidennya sasquad Bagian dri gen halilintar Sosok yang selalu ceria, pecicilan, ga bisa diam,, hingga Penyakit dan semua masalah itu datang hingga ia menjadi berubah. *HANYA FIKSI SEMATA GU...
"Sixty Four"
Start from the beginning
