RUMAH BAGI PENDERITA GANGGUAN KEJIWAAN

72 6 0
                                    

Rumah adalah sumber kepastian. Suatu titik yang membuat kita merasa agak aman dan sedikit menikmati kestabilan masa depan. Inilah alasan kenapa, bagi para penderita gangguan kejiwaan, memiliki sebuah rumah yang layak adalah titik terpenting dalam hidup.

Tidak hanya bagi penderita gangguan kejiwaan yang hidupnya tak pernah merasa pasti sehingga menganggap rumah sebagai salah satu dari sumber kepastian. Orang-orang normal dan pada umumnya pun, menganggap rumah adalah pencapaian paling penting dalam hidup mereka.

Bagi kita semua, rumah adalah titik awal dari memastikan kestabilan dan keamanan hidup kita di kemudian hari. Tempat berlindung dari guncang ketidakpastian hidup. Dari naik turunnya ekonomi. Dari masalah-masalah yang datang dan pergi. Atau bahkan dari masalah percintaan (keluarga) yang bermasalah.

Memiliki sebuah rumah sama dengan mendapatkan kepastian hidup. Tempat untuk mengamankan diri. Juga, sumber dari kepercayaan diri dan benteng kokoh yang membuat kita bertahan dari kejamnya pandangan masyarakat dan olok-olokan orang-orang sekitar.

Rumah nyaris berarti segalanya bagi penderita gangguan kejiwaan, yang menganggap kestabilan diri adalah pondasi yang sangat penting bagi hidup yang selanjutnya.

Terlebih, saat memiliki rumah di abad semacam ini, begitu tak mudah dan harus melewati begitu banyaknya kerja keras sambil menekan perasaan bosan dan muak.

Yang mengerikan dari kehidupan modern di abad sekarang ini adalah saat kamu berusia mendekati tiga puluhan tahun atau sedang menuju ke usia empat puluh. Tetapi kamu masih belum memiliki rumah sama sekali. Belum memiliki ekonomi yang stabil. Juga belum memiliki tabungan untuk membeli rumah atau sekadar tanah.

Bagi laki-laki, usia menuju tiga puluh dan empat puluh adalah usia yang sangat melelahkan untuk dijalani. Saat segala macam tanggung jawab membuat kepala kita pusing. Pikiran mengenai pernikahan yang berarti kita harus bekerja lebih keras, lebih stabil, dan lebih bisa dipercaya. Juga, bagi masyarakat sekitar, usia tiga puluhan, seorang laki-laki seharusnya sudah mapan secara ekonomi; memiliki rumah, memiliki kendaraan, dan pekerjaan atau usaha yang tetap.

Banyak laki-laki mengalami kondisi yang selalu cemas dan tak percaya diri saat mereka merasa tak memiliki sumber-sumber kepastian hidup bagi diri mereka sendiri. Di usia yang terus menua, ketidakmampuan memapankan diri, membuat banyak laki-laki merasa ragu terhadap diri mereka sendiri dan ragu untuk menikahi perempuan yang mereka cintai.

Jika kondisi semacam itu terus berlanjut. Banyak laki-laki akan terpaksa tak menikah dan mengalami kondisi kejiwaan yang memburuk.

Ketidakpastian hidup akan terus mengancam masa depannya.

Apalagi, usia di antara itu adalah usia yang melelahkan. Antara keinginan untuk bertahan, mengakhiri hidup, atau tetap maju ke depan. Banyak laki-laki menyerah di usia itu dan menjadi beban orang tua atau anak dan istri.

Hancur oleh sejarah hidup yang terlalu brutal, bertubi-tubi, dan terjadi begitu cepat. Tak lagi bisa bangkit. Lalu menyerah.

Bagi mereka yang memiliki kejiwaan yang buruk. Memiliki rumah sangatlah luar biasa berarti. Rumah adalah jeda sejenak saat kita kelelahan, tak ingin berjuang untuk sementara, dan memasuki mode pasif, yaitu bertahan hidup dan berhemat dengan tabungan yang tersisa.

Setelah itu, kita bisa kembali dan memasuki dunia nyata sekali lagi.

Tiadanya rumah yang pasti, membuat banyak dari kita mengalami tekanan yang lebih. Kita harus terus bekerja saat kondisi kita tak baik-baik saja. Untuk tetap bisa membayar biaya sewa dan agar kita tidak terus berpindah. Apalagi saat tempat yang lama sudah terlalu nyaman untuk ditinggali.

Banyak orang mengalami burnout di usia antara tiga puluh dan empat puluh. Tak lagi bisa menikmati pekerjaan dan kian sulit menjalani hidup.

Bagi perempuan yang belum menikah, belum mapan secara ekonomi, belum memiliki rumah yang pasti, dan masih terlibat dalam percintaan yang penuh keraguan. Usia di antara tiga puluh dan empat puluhan adalah usia yang jauh lebih menakutkan daripada laki-laki.

Mereka terbatasi oleh usia mereka dan budaya penerimaan. Jika mereka tidak sangat mandiri secara ekonomi sebelum usia empat puluh. Dunia masa depan menjadi sangatlah berat untuk dijalani.

Dengan usia mereka, menikah menjadi kian sulit karena banyak laki-laki lebih sering memilih yang berusia muda. Banyak laki-laki menganggap perempuan tua sangatlah tak menarik. Cenderung menjauhi perempuan yang berumur lebih tua. Apalagi yang sudah pernah menikah dan memiliki anak.

Jika mereka tak berusaha berjuang sendiri dan memapankan sumber ekonomi mereka. Mereka harus terpaksa hidup serba mengambang. Tak ada laki-laki yang akan mengangkat ekonomi mereka secara mendadak. Entah dinikahi laki-laki yang makmur atau sudah cukup makmur dan mapan. Karena laki-laki yang mapan, cenderung memilih para perempuan yang lebih muda.

Mereka akan dicibir oleh masyarakat sekitar sebagai perempuan yang tak laku. Dipandang hina oleh anggota keluarga besar sendiri. Dan selalu dibandingkan-bandingkan dengan yang lainnya. Diremehkan tetangga dan kenalan. Dan banyak lainnya.

Tekanan perempuan yang tak menikah dan belum mapan sangatlah besar. Jika itu di pedesaan, tekanannya berkali-kali lipat. Mereka masih bisa selamat di perkotaan. Saat tak banyak orang mengenal mereka. Dan budaya perkotaan yang tak ingin tahu dengan urusan orang lain.

Bagi perempuan normal saja. Tekanan hidup di abad semacam ini sudah sangat keterlaluan besarnya. Apalagi bagi mereka yang mengidap gangguan kejiwaan. Hampir menuju usia tiga puluhan atau melewati usia itu. Belum mapan sama sekali. Kisah percintaan pun masih berantakan dan meragukan. Masih belum memiliki rumah. Ekonomi pas-pasan atau bahkan tersendat.

Masa depan perempuan, terkadang, jauh lebih menyakitkan daripada laki-laki.

Baik bagi laki-laki atau perempuan. Keberadaan rumah memiliki arti yang sangat penting baik bagi mereka yang kejiwaannya buruk atau orang normal pada umumnya.

Terlebih, bagi mereka yang memiliki gangguan jiwa, rumah adalah jeda untuk menenangkan diri. Tempat penyelamatan dari segala kerusakan yang terjadi. Suatu tempat peristirahatan dari gempuran hidup yang tak mudah untuk dijalani.

Tanpa adanya rumah yang pasti. Banyak dari kita tak akan benar-benar bisa merasakan kepastian hidup di masa depan. Selalu merasa cemas. Dan pikiran selalu melayang entah kemana.

PSIKOLOGI DAN MASALAH-MASALAH KITAWhere stories live. Discover now