TREN BARU BROKEN HOME

75 11 0
                                    

Generasi muda hari ini, tanpa pendalaman diri yang kuat, mereka terburu-buru menikah, memiliki anak kurang dari satu tahun pernikahan. Lalu, di usia pernikahan yang kedua atau kelima. Mereka bercerai.

Berapa banyak anak-anak kecil dan remaja yang kini mengalami perceraian dalam keluarga? Jumlahnya semakin banyak. Seolah-olah menjadi tren baru bahwa pernikahan yang tanpa perceraian bukanlah sesuatu yang normal.

Sekarang ini, memiliki anak tanpa memiliki suami adalah tren. Memiliki anak tanpa istri adalah tren. Menjadi anak tanpa orang tua adalah tren. Dan sebuah keluarga tanpa anak broken home bukanlah keluarga yang normal.

Kejiwaan anak yang sehat dengan orang tua yang harmonis adalah abnormal. Anak-anak harus menderita, keluarganya hancur, dan kejiwaan mereka rusak. Normal yang baru memang seperti itu. Dua pasangan, laki-laki dan perempuan, yang tak mengenal betapa berat dan mengerikannya hidup di dunia ini, mengalami masalah emosional buruk, mendadak saja menikah. Tanpa ragu memiliki anak. Lalu cekcok soal ekonomi. Saat sudah kaya mereka pun cekcok perbedaan pandangan dan egoisme nilai pribadi. Lalu, sebelum usia pernikahan menginjak ke yang kedua puluh (bagi generasi lama), mereka cekcok mengenai perselingkuhan dan perasaan bosan dalam mempertahankan keluarga.

Baik yang tua dan yang muda. Mereka semua berani dan tanpa banyak pikiran melahirkan anak dan anak. Dan, lihatlah, saat ini, kita telah memasuki tren keluarga yang baru. Keluarga yang normal adalah keluarga yang broken home.

Berapa lamakah, sebuah keluarga baru, dari generasi baru hari ini, mampu mempertahankan usia pernikahan mereka? Dua tahun? Lima tahun? Dua puluh tahun?

Inilah pertanyaan yang paling menarik bagiku, sebagai pengamat dan pemikir. Berapa lamakah mereka bertahan dalam pernikahan mereka?

Bisakah generasi baru hari ini, mereka yang berusia di bawah empat puluh tahun dan berkisaran di usia dua puluhan, yang berani menikah, mampu bertahan dari kebosanan pernikahan mereka sendiri. Dari keinginan untuk berselingkuh dengan rekan kerja, kawan tongkrongan, atau kenalan di dunia maya. Bisakah para keluarga muda ini bertahan dari terjangan masalah ketidakpuasan hidup yang berkaitan dengan ekonomi dan keinginan-keinginan yang belum terwujudkan?

Bisakah mereka mempertahankan usia pernikahan mereka di atas sepuluh atau dua puluh tahun? Yang bagi banyak pasangan muda hari, bertahan dalam pernikahan selama lima tahun saja seolah-olah adalah khayalan yang terlalu indah untuk dimiliki.

Hari ini, usia manusia dirasa terlalu panjang. Mempertahankan usia pernikahan di antara 30-60 tahun adalah suatu kisah yang bakal jadi hal yang terlalu langka dan sangat abrnormal. Yang seolah hanya bisa dilakukan oleh segelintir orang dan generasi-generasi lama yang kini berusia di atas lima puluhan tahun.

Pernikahan yang dulu sakral karena dilakukan sekali seumur hidup. Sekarang statusnya berubah menjadi layaknya pacaran. Bisa bercerai kapan saja. Bisa menikah dan gonta-ganti pasangan kapan saja. Dan, lucunya, bisa mencetak anak kapan saja dengan berbagai pasangan yang berbeda.

Masyarakat yang awalnya terdiri dari orang-orang yang berkeluarga lengkap. Lengkap dengan orang tuanya masing-masing. Mendadak saja mulai dipenuhi oleh anak-anak tanpa ayah, tanpa ibu, atau bahkan tanpa keduanya.

Pola kehidupan sosial dan psikologis masyarakat pun akan berubah perlahan-lahan mengikuti pola baru dari anak-anak remaja (muda) yang tak berbahagia, yang menderita oleh trauma, kemiskinan yang menyakitkan, atau kemakmuran tanpa adanya salah satu orang tua mereka.

Lalu anak broken home menikah dengan anak broken home lainnya. Orang tua broken homen menikah dengan orang tua broken home juga. Sebuah generasi baru pun lahir dengan semakin populernya cerita mengenai ibu tiri, ayah tiri, saudara tiri, dan berbagai macam persilangan dari keluarga yang hancur dan rusak.

Menjadi keluarga broken home pun telah berubah status menjadi normal. Dianggap wajar. Dan biasa saja.

Orang-orang broken homen saling bertemu, berkumpul, berdiskusi, membentuk grup dan lingkungan yang aman dan saling menguatkan. Yang membuat mereka berani menikah. Memiliki anak. Lalu mengulangi kesalahan yang sama dari orang tua mereka.

Dan, semakin hari, anak-anak yang sakit jiwa karena perceraian orang tua mereka pun kian bertambah. Masuk ke grup yang diisi anak-anak broken home lainnya. Lalu merasa telah menjadi orang normal dan membentuk budaya baru yang lebih toxic, tanpa sopan santun, mesum, tak bertanggung jawab, dan gila.

Melecehkan orang lain telah menjadi budaya baru yang normal. Berkata-kata kasar dan jorok telah menjadi etika baru pergaulan. Tak menghargai orang lain telah menjadi tren terkini. Dan membuli orang lain telah menjadi terapi bersama.

Inilah normal baru, nilai baru, dan budaya baru yang lahir dari masyarakat sakit yang berisi banyaknya kasus perceraian dan keluarga broken home selama ini.

Kurang dari dua puluh tahun saja, mereka semua mengubah pola kehidupan bermasyarakat yang pernah kita kenal sewaktu kecil atau muda.



Sebuah masyarakat yang tidak hanya diisi oleh anak-anak broken home yang tak bahagia. Tapi anak-anak yang lahir dari keluarga lengkap yang juga tak bahagia dan menderita sakit emosionalnya masing-masing.

Anak-anak broken home dan anak-anak yang tak bahagia walau makmur dan keluarganya lengkap hidup di sebuah masyarakat yang sama. Di negara yang sama. Dalam bahasa dan budaya yang cenderung sama. Merasakan pola kesakitan emosional yang nyaris sama.

Mereka semua berkumpul dan bertemu dalam lingkungan yang mirip, sudah lebih dari cukup untuk membentuk suatu nilai dan kebudayaan bersama. Yang anehnya, dikomentari secara pedas oleh generasi orang tua mereka sendiri, yang juga tak sadar bahwa mereka, para orang tua itu, telah mempelopori kebudayaan baru yang lebih toxic semacam itu.



Karena jumlahnya semakin banyak dan telah berubah jadi mayoritas. Pada akhirnya, mereka pun secara tak sadar atau sadar membentuk budaya bersama yang begitu sakit dan depresif. Yang ditunjukkan secara sempurna oleh percakapan mereka di dunia sosial, bagaimana mereka menghargai hubungan dengan orang lain, dan bagaimana mereka mengatur perasaanya saat menghadapi orang dengan keyakinan dan pikiran yang berbeda.

Banyak dari generasi baru itu gagal dalam mencari teman. Gagal dalam mempertahankan hubungan sosial yang berarti di antara mereka sendiri. Gagal dalam percintaan-percintaan mereka. Dan mengalami begitu banyaknya kegagalan dalam lingkup sosial dan berumah tangga secara besar-besaran.

Mereka semakin menyendiri. Kehilangan kepercayaan terhadap orang lain. Takut bertemu dengan orang-orang baru. Mengalami ketidakpercayaan diri yang begitu ekstrem jika menyangkut hubungan sosial dengan banyak orang.

Diiringi dengan masalah kesepian mereka. Perasaan yang terasing yang akut. Kehampaan yang tak tertahankan. Ketidakbahagiaan yang sudah terlanjur menjadi watak. Ditambah pula dengan cara berbicara yang buruk. Ketidakmampuan menghargai nilai pertemanan dan hubungan dengan orang lain. Egoisme yang kian menjamur. Dan ketidakmampuan menilai diri sendiri.

Mereka telah menciptakan budaya sempurna dari kasus yang paling menarik yang pernah aku temukan di depan mataku sendiri.

Suatu pola, yang mengarah pada semakin hancur dan runtuhnya hubungan sosial di antara orang-orang di masa aku hidup. Suatu keadaan yang, suatu nanti, akan melahirkan masyarakat baru yang begitu kesakitan secara emosional.

PSIKOLOGI DAN MASALAH-MASALAH KITAWhere stories live. Discover now