BUDAK DI TEMPAT KERJA. PREMAN DI MEDIA SOSIAL

85 9 0
                                    

Di dunia nyata, kita adalah budak nilai sosial. Betapa pengecutnya kita saat berada di dunia nyata. Menjaga benar tutur kata. Bersikap sopan terhadap orang-orang. Dan mencoba hidup dengan sangat baik saat berada di lingkungan rumah.

Kita selalu mencoba menjaga sikap baik kita dengan tetangga. Mencoba untuk tidak menyakiti hati mereka. Karena kita tahu, tetangga adalah orang yang paling dekat dengan kita. Sama halnya dengan orangtua kita. Saudara dan kekasih atau pasangan hidup kita.

Siapa di antara kita yang berani mencaci maki orangtua sendiri dengan sebutan anjing, babi, anjir, kadrun, cebong dan semacamnya? Siapa di antara kita yang berani melakukannya, ke tetangga, ke guru kita saat kita berada di sekolah, atau ke para tetangga yang kita kenal dan berbeda masalah agama, politik, dan kesukaan akan sesuatu?

Apakah kita berani melakukannya? Apalagi, beranikah kita memaki-maki atasan dan rekan kerja dengan nada keras seperti saat di media sosial?

Kita tidak berani. Jika menyangkut orangtua dan sumber ekonomi kita. Kita semua pengecut layaknya budak.

Kita pasti tahu, mayoritas dari kita pasti berbeda pendapat menyoal banyak hal dengan orangtua kita masing-masing. Dalam beragama, dalam berpolitik, dalam urusan ekonomi, dan hal-hal yang tak kita sukai. Kita mencaci siapa saja dan menganggap mereka busuk dan buruk. Tapi kenapa, orangtua kita lepas dari caci maki kita? Padahal mereka juga kapitalis, korup, mencari uang dengan diam, nilai moral mereka tak baik, hidup hanya untuk egoisme pribadi keluarga, dan sumber uang mereka hasil dari status quo dan sekedar mencari aman. Bahkan mereka memilih presiden yang tak kita sukai. Membela para pemimpin yang kita benci. Dan memiliki agama atau ras yang kita musuhi. Tapi, kenapa, mereka lepas dari caci maki kejam yang sering kita arahkan ke orang-orang yang berbeda dengan kita?

Karena mereka adalah orangtua kita. Karena orangtua kita, maka prinsip kolusi nepotisme dan korupsi pun berlaku. Anak membiarkan orangtuanya seperti itu. Karena mereka orangtuanya. Dibela dan dilindungi. Sedangkan orang lain, akan dicemooh dan dicaci maki dengan sangat kejam.

Atau, sang anak diam karena takut diusir rumah dan menjadi gelandang.

Intinya, di hadapan orangtua kita, yang mungkin kapitalis, apatis, dan hidup hanya untuk diri sendiri itu. Dan kita sangat benci hal semacam itu. Kita diam saja.

Sedangkan ke orang lain dan di media sosial, kita begitu keras.

Apa pun yang menyangkut ke berlangsungan hidup kita yang aman. Aman dengan rumah yang tersedia. Makanan yang tersedia. Sekolah yang tersedia. Dan sumber keuangan yang terjamin. Maka kita akan diam dan menjadi budak. Hal-hal yang berkaitan dengan keamanan keuangan kita, pasti kita mendadak menjadi penakut, penurut, dan diam.

Itulah sebabnya, banyak orang yang keras, kejam dan luar bisa mengerikan saat di media sosial tapi tidak saat berada di tempat kerja. Mereka tak berani. Takut. Pengecut. Karena di dunia kerja, mereka budak. Bukan preman seperti saat mereka di media sosial.

Di dunia nyata, mereka bisa sangat kejam juga. Berani melakukan kekerasan dengan mudah. Tapi di tempat kerja, mereka tak lebih dari budak. Jika melihat yang lebih tinggi dari dirinya. Mereka takut. Takut jika sumber penghasilan hidupnya terancam. Itulah sebabnya, kebanyakan preman media sosial adalah budak di tempat kerja. Di rumah. Di lingkungan sekitar. Dan di hal-hal yang menyangkut keberlangsungan hidup aman dan nyamannya.

Siapa pun bisa kejam, berkata kasar, dan mengancam siapa pun dengan kekerasan asalkan mereka bukan orang yang dikenal, yang tak berkaitan dengan keberlangsungan hidup nyamannya, dan tidak akan memutus sumber ekonomi hidupnya. Banyak dari kita bisa berkata sesuka hati ke orang-orang yang bukan siapa-siapa kita. Yang tidak dekat. Juga, tak mengenal kita secara dekat. Atau rumahnya berada di sebelah kita. Premanisme media sosial kita, berada dalam jarak aman segala yang mungkin.

Kita luar biasa keras dan brutal pun pilih-pilih. Itulah sebabnya, segala caci maki kita arahkan ke orang-orang yang mungkin tidak akan membuat kita celaka, membuat kita terusir dari rumah, dan tidak membuat ekonomi kita hancur berantakan.

Sekeras apa pun kita di media sosial. Kenyataannya kita hanya budak di tempat kerja dan lingkungan yang kita kenal. Kita melakukan standar ganda dalam menghakimi banyak hal.

Kita bisa menghakimi dan berkata kasar kepada presiden, menteri, pebisnis, artis, politikus, orang awam yang berbuat salah. Tapi kita tak berani menghakimi keluarga dan orangtua kita sendiri. Apalagi, berani secara langsung di depan mata, mengucapkan kata anjing, babi, kadrun, dungu, tolol, idiot, cebong dan sebangsanya, kita akan langsung dipecat. Padahal, atasan kita termasuk orang yang kita benci secara moral dan nilai keadilan. Tapi kita tidak berani. Kita memilih diam. Menjadi pengecut. Karena pada dasarnya, di lingkup kerja masing-masing, kita hanya budak. Budak uang. Budak masa depan yang damai dan aman.

PSIKOLOGI DAN MASALAH-MASALAH KITAWhere stories live. Discover now