CANDU AGAMA: MENENANGKAN TAPI JUGA MENYAKITKAN

60 3 0
                                    

Dalam perjalanan pulang dari Bali, aku membaca sebuah buku dari James Davies, Sedated: How Modern Capitalism Created Our Mental Health Crisis. Buku lainnya dari penulis Cracked: Why Psychiatry is Doing More Harm Than Good.

Sebuah buku, yang baru halamana 32, sudah membicarakan masalah yang tak menyenangkan dibahas di negara ini. Masalah yang menyangkut agama. Masalah yang sudah dibicarakan Karl Marx, lebih dari satu setengah abad yang lalu.

Pemikir besar, yang selalu aku hindari karena para pengikutnya yang tak menyenangkan, terlalu kaku, dan berpikiran sempit. Tapi, selalu, aku menganggap Marx adalah luar biasa. Yang suatu saat nanti, entah kapan, aku akan membacanya sebagai individualis. Dan akhirnya, sebagai nihilis.

Agama adalah candu bagi masyarakat. Ini adalah kutipan Karl Marx yang sangat populer dan benar-benar tepat pada intinya. Agama membuat orang merasa nyaman, puas, terlindungi, dan alasan yang sempurna untuk lari dari masalah. Membuat seseorang, yang tak memiliki kepribadian yang kuat, mengurung diri dalam ketidakmajuan.

Itu juga, bagiku, membuat seseorang puas dengan rasa sakitnya. Bertahan dengan penderitan dalam keluarga. Dan membiarkan banyak sekali orang tua menyakiti anak-anaknya tanpa penghakiman yang layak.

Bagiku, dan mungkin bagi orang-orang tertentu. Agama adalah penyakit. Sumber masalah utama kerusakan emosional banyak orang. Membuat orang terjebak dalam dilema moral, tanggung jawab, dan bayangan akan hukuman (dosa) yang tak menyenangkan dan merusak.

Membuat orang terjebak dalam rasa sakit dilema selama bertahun-tahun. Tak mampu mengambil keputusan secara cepat karena takut dosa dan dianggap durhaka. Suatu masalah yang bisa diselesaikan dengan cepat tapi tak juga segera diselesaikan karena agama membuat seseorang takut melangkah keluar untuk menyembuhkan diri mereka sendiri.

Kesembuhan ada di depan mata. Tapi banyak orang beragama takut melangkahkan kakinya keluar. Takut menerobos tabu-tabu. Takut melakukan hal-hal yang dianggap berdosa. Lalu berhenti tepat saat masalah utama belum terselesaikan.

Sementara orang beragama yang lain memiliki kehidupan yang jauh lebih baik karena mereka menggunakan agama sebagai alat tukar, sekadar budaya keluarga, dan ritual keseharian yang menenangkan.

Dalam prakteknya, mereka menghancurkan semua hal yang ditentang atau dilarang oleh agama mereka. Sumber ekonomi yang jelas-jelas buruk dan hidup dengan membajak karya dan hasil orang lain demi kepuasan diri sendiri.

Yang satu telah berhenti secara intelektual dan ekonomi. Yang lainnya, begitu berhasil dalam ekonomi walau seringkali tidak secara intelektual. Mungkin kita berpikir, bahwa salah satu dari tipe orang beragama yang terjebak dilema dan menjadi konservatif atau mereka yang lebih suka-suka, liberal, dan menganggap agama sekadar aksesoris pengaman psikologis mengenai hari akhir, ada di antara mereka yang akan benar-benar bisa berbahagia.

Tapi, di abad semacam ini, kebahagiaan sangat sulit dicari, baik oleh orang beragama yang miskin atau orang beragama yang kaya. Baik mereka yang sangat taat atau yang terlihat tak peduli.

Beragama di abad semacam ini, cenderung berakhir dalam rasa sakit emosional. Beberapa orang, biasanya kepala keluarga yang kalah dengan kehidupannya, enggang berjuang kembali, dan menyerah terhadap dirinya sendiri, memilih mundur ke dalam agama dan meninggalkan tanggung jawab sebagai suami dan ayah lalu menghancurkan tidak hanya ekonomi keluarga tapi juga menghancurkan emosi seluruh anggota keluarga yang terkait. Atau, membuat seorang anak yang takut dianggap durhaka dan tak bermoral terjerat oleh penjara moral yang membuat ia tak bisa memutuskan dirinya sendiri.

Agar tidak dianggap durhaka dan masih mendapatkan surga. Para pesakitan ini masih tetap mengirimi uang ke orang tua mereka yang buruk, tak berperasaan, yang menelantarkan mereka sejak kecil, dan takut untuk memisahkan diri. Hasilnya mereka tidak hanya tersiksa secara moral, pikiran, dan perasaan. Tapi juga secara ekonomi.

Saat orang lainnya berkembang, menjadi makmur, dan mulai menatap ke depan. Mereka terjebak ke masa lalu, ikatan yang penuh tekanan dan bersifat depresif, dan ekonomi yang carut marut karena dihancurkan oleh anggota keluarga sendiri, yang biasanya adalah orang tua.

Setiap hari mereka sudah merusak diri mereka sendiri dan melacurkan agama yang dimiliki demi bisa bertahan hari ini dengan lari ke pornografi, debat tak berkesudahan yang berakhir saling menyakiti, melakukan pembulian di media sosial, seringkali curang dalam pekerjaan dan sumber ekonomi, sumber utama dari kestabilan emosi mereka adalah pembajakan, dan telah melakukan banyak hal yang tak disukai agama. Walaupun begitu, mereka masih menganggap diri mereka orang yang taat, beragama, dan mencintai agama yang tengah mereka anut.

Mereka sudah tahu telah melakukan banyak hal buruk yang dibenci agama sendiri tapi tak mau benar-benar keluar. Mereka tak berani melangkahkan kaki untuk terakhir kali dan memilih terjebak di dalam dan melakukan kerusakan atau telah rusak di sana sini.

Ada perasaan nyaman dan aman untuk tidak sepenuhnya keluar dari agama. Yaitu perasaan terjamin bahwa suatu saat nanti kamu masih bisa diampuni dan mendapatkan surga. Suatu standar ganda yang membuat banyak dari orang beragama malah tersakiti jauh lebih dalam dan hidup menjadi kian buruk dan tak tenang.

Tapi lihatlah hari ini, di generasi muda dan remaja. Mereka dililit depresi dan ketidakpuasan hidup. Dan anehnya, agama mereka tak bisa menyelamatkan rasa sakit harian yang dialami kecuali penghibur jauh mengenai surga yang dijanjikan.

Orang-orang yang beragama sama juga tak mau membantu. Malah saling mendiamkan. Sedangkan mereka yang jauh dari agama, semakin makmur, kaya, hidupnya lebih baik, dan berjuang maju untuk hidupnya sendiri dan keluarga.

Agama telah menghancurkan banyak orang. Tapi sedikit yang berani mengakuinya. Sangat sedikit yang benar-benar berani menyuarakan hal yang begitu tabu semacam itu.

Bagiku, agama telah menjadi sumber utama gangguan kejiwaan. Dan obat penenang untuk tidak keluar dari rasa sakit yang dialami.

PSIKOLOGI DAN MASALAH-MASALAH KITAWhere stories live. Discover now