BETAPA MENAKUTKANNYA MENIKAH

86 12 0
                                    

Menikah itu menakutkan. Bagi banyak orang hari ini, menikah adalah dunia yang penuh dengan kecemasan dan ketidakpastian. Juga, bayangan akan pernikahan adalah suatu yang sangat mengganggu.

Banyak laki-laki dan perempuan perkotaan hari ini sangat cemas jika membicarakan pernikahan. Mereka bisa berpacaran dengan mudah. Lama. Bahkan bisa bersetia. Tapi kalau sudah pada tahap membicarakan pernikahan. Periode pacaran yang lama itu tiba-tiba menjadi hal yang penuh keraguan dan ketakutan.

Banyak orang mulai takut mengikatkan diri pada pernikahan. Pada kemungkinan ikatan legal dalam jangka waktu yang lama. Takut dengan diri sendiri yang tak siap. Atau pasangan yang mungkin tak siap dan akan membuat kehidupan rumah tangga menjadi buruk dan tak memuaskan.

Banyak orang hari ini takut akan kemungkinan tanggung jawab yang harus diemban oleh ikatan pernikahan. Tanggung jawab moral yang begitu berat. Dan status perkawinan yang kemungkinan akan berakhir sebagai janda atau duda.

Banyak orang takut tak bisa membahagiakan pasangannya suatu saat nanti karena semua kekurangan yang ia pikiran dan anggap sebagai kelemahan fatal yang ia miliki. Orang-orang juga takut jika pasangannya nanti tak sesuai dengan apa yang ia inginkan. Tak mendukungnya. Malah menghambat dan cenderung ke arah yang negatif.

Banyak orang takut ditinggalkan saat akhirnya mencapai pernikahan. Takut akan mengecewakan pasangannya. Takut akan diduakan dan tak lagi dicintai. Takut akan diselingkuhi karena dianggap sudah tak lagi menarik. Juga, takut jika nanti, mendadak saja, perceraian terjadi dengan begitu cepat tanpa persiapan sama sekali.

Kita memiliki banyak kecemasan dan ketakutan yang membuat kita ragu dan menua dalam status yang masih sendirian.

Kita juga takut jika nantinya kita sakit dan tak bisa membiayai keseharian hidup keluarga. Kita takut akan menjadi beban pasangan karena sakit atau gangguan kejiwaan. Kita takut jika kita tak lagi kaya yang pada akhirnya membuat keluarga menjadi terbebani.

Kita semua takut, karena kita tahu bahwa diri kita sendiri tak siap untuk itu. Dan kita takut jika pasangan kita juga tak siap untuk itu. Tak siap menguatkan kita. Tak siap atas kejatuhan kita. Dan memilih pergi saat kita ingin sekali bersandar kepadanya.

Begitu juga sebaliknya, kita takut dan tak siap jika pasangan kita begitu membutuhkan kita.

Pacaran yang lama bukan malah menguatkan ikatan perasaan pasangan. Tapi malah semakin menyuburkan keraguan dan ketidakpastian. Bahwa jika sudah mapan dan kaya. Kita masih ragu. Atau memilih terpaksa menikah dan jatuh dalam keadaan ragu saat sudah berada dalam status pernikahan.

Lamanya berpacaran membuat kita tahu bahwa untuk menekan ego demi pasangan itu sulit. Untuk selalu ada demi pasangan itu tak mudah. Untuk selalu bisa mendengarkan dan menjadi sandaran pasangan itu tak selalu bisa dilakukan. Untuk bisa menjadi bijak saat dalam keadaan marah, memikirkan banyak tekanan hidup, dan dalam kondisi depresi karena tanggung jawab usia dewasa itu begitu sangat sulit.

Mencoba menjadi sabar saat hidup kita sendiri kacau itu hal yang benar-benar luar biasa sulit. Untuk bisa menjadi pasangan yang pengertian dan jadi sandaran keluh kesah kekasih itu hal yang berat. Kita merasa tak pernah siap untuk menjadi seseorang yang harus merelakan diri seutuhnya ke pasangan kita. Kita tak bisa menjadi kebanyakan orangtua kita dulu. Kita terlalu banyak ego. Terlalu banyak keinginan. Terlalu banyak harapan dan ambisi.

Semua itu yang membuat kita takut untuk menikah. Untuk mengikatkan diri secara hukum walau kita sudah makmur. Kita ragu menyerahkan diri kita sepenuhnya ke pasangan kita. Karena kita sendiri merasa tak siap dan takut. Begitu juga pasangan kita.

Mengharapkan salah satu pasangan merelakan dirinya, mengalah, dan mau menurut adalah hal yang mulai jarang terjadi di tengah masyarakat yang berpendidikan dan makmur. Saat dua pasangan tak bisa sepakat dan salah satunya tak mau mengalah. Menjalin ikatan pernikahan terasa sulit dan berat.

Saat pacaran saja begitu sulit dan penuh keraguan. Menikah menjadi hal yang jauh lebih sulit dipenuhi. Sekali kita melangkah, status kita berubah secara total.

Apalagi jika ekonomi kita masih dalam tahap awal. Masih buruk. Mulai membangun. Maka keraguan terhadap diri sendiri kian besar. Untuk mencari pasangan yang mau memulai dari awal, yang cocok dengan keinginan, itu tak banyak ditemukan. Ditambah sakit fisik dan gangguan jiwa, membuat kepercayaan terhadap diri sendiri dan kemampuan menjadi kepala keluarga atau istri yang baik, adalah hal yang sangat menggelisahkan untuk dipikirkan.

Pada akhirnya, banyak dari kita takut menikah karena usia yang kian dewasa, semakin menua, pacaran yang lama, tak membuat kita menjadi pribadi yang baik. Malah menjadi pribadi yang penuh keraguan dan ketidakpastian. Tak mampu menyelesaikan truama dan masalah-masalah berat kita sendiri.

Semakin menua, masalah kita kian banyak. Kepala kita rasanya ingin meledak. Dan menikah, menjadi hal yang tak pernah siap dilakukan. Kecuali salah satu dari kedua belah pihak, mau sedikit mengalah dan memberikan dukungan moral dan psikologis ke pasangan yang dicintainya.

Atau tetap mempertahankan semua yang ada dalam diri masing-masing. Tak mencampuri hal-hal yang tak harus dicampuri. Menyelesaikan urusan-urusan penting sendirian tanpa harus merepotkan pasangan atau berharap dibantu. Tapi untuk bisa mendapat kebijaksanaan semacam ini, tak banyak pasangan yang bisa melakukannya.

Selalu ada waktu di mana salah satu dari kedua belah pihak merasa lelah dengan hidup. Kesepian. Merasa tak memiliki siapa-siapa. Atau malah kedua belah pihak tengah mengalami hal yang sama.

Menikah masih bisa dijalani dan menyenangkan saat bahkan dalam kegilaan saat kedua belah pihak bisa dengan mudah memaafkan dan merangkul. Setidaknya sama-sama tahu bahwa mereka hidup di masa semua orang sakit dan tak sempurna. Lemah dan begitu rentan.

Semua perasaan kecewa. Merasa tak dimengerti. Semua yang harus dilakukan sendirian tanpa bantuan pasangan, bisa dimaklumi karena kita telah memilih hidup dengan pasangan yang tak sempurna. Dan diri kita sendiri yang tak sempurna.

Kita tahu, saat memilih hidup bersamanya, kita harus bisa mandiri tanpa berharap dibantu. Tanpa berharap selalu disayang dan dimengerti. Karena akan ada suatu ketika, pasangan kita tak ingin diganggu. Merasa hidup di dunia sangat buruk. Depresi. Merasa tak layak hidup. Tak ada lagi gairah untuk melanjutkan semua hal.

Suatu kondisi, saat ia lelah terhadap semua dan tak bisa memberikan kasih sayangnya terhadap kita. Setidaknya, ia tak melakukan hal-hal yang buruk seperti kekerasan dan membenci kita dengan sangat. Kita bisa dengan mudah memaafkannya. Kembali memeluknya. Kembali mencintainya.

Hanya ada satu dua hari di mana kita marah, ngambek, badmood, dan merasa tak dicintai. Setelah itu, semua akan kembali normal. Pernikahan semacam itu masih bisa ditanggung. Apalagi mencari pasangan yang cocok dan begitu kita cintai itu sangatlah susah.

Hanya saja, apakah banyak orang saat ini mau menerima kekurangan dan kegilaan pasangan masing-masing?

Apakah kita lebih memilih menjauh. Tak menikah. Perlahan melepas ikatan dengan pasangan kita. Atau, kita sadar diri bahwa kita memiliki banyak kekurangan. Banyak ketakutan. Banyak sekali kecemasan akan hari ini dan masa depan. Kita berani membicarakannya dengan pasangan kita. Berani menanggung semua resiko yang akan datang dengan penuh kesadaran diri dan berusaha menjadi lebih bijaksana.

Banyak dari kita takut menikah. Karena kita takut membicarakan keraguan-keraguan diri kita sendiri. Ketakutan-ketakutan yang kita hadapi. Dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan.

PSIKOLOGI DAN MASALAH-MASALAH KITAWhere stories live. Discover now