TUMBEN LU SAMA BINI BISA AKUR!

51 1 0
                                    

"Nak ada panggilan dari Azam ke nomor Mami, katanya penting!"

Tresna memberikan sebuah telepon genggam yang masih dalam panggilan ke anak laki-lakinya itu. Jevi tersentak kaget, lamunannya buyar, matanya yang tadi memandangi kota yang sibuk di sore hari dari jendela di ketinggian 100 kaki menjadi teralihkan.

"Nih, Jev!"

Jevi menerima telepon genggam tersebut dengan jantung berdegup, napasnya tak beraturan, rasa-rasanya dia akan mendengar kabar duka saat menerima berita dari Azam tersebut.

"Iya Zam, a .. ada apa ya?" ucap Jevi terbata-bata.

"Udah ada panggilan polisi Jev buat kasus lu, nih ada surat ke kantor lu! Lu musti balik ke Indonesia secepatnya. Semakin cepat lu kelarin masalah ini, maka semakin cepat juga lu bisa bebas. Gue jamin tak akan ada hukum yang menjerat lu, asalkan itu mantan suami Dahlia itu tak menuntut lu. Kalau dia tuntut lu bakal kena pasal perzinaan, karena berzina dengan istri orang. Lu jelasin aja semuanya dengan sejujurnya lalu lu ikutin saja hukumnya, jangan takut! Kita sudah ada kandidat buat jadi pengacara."

Jevi mengepalkan tinjunya, bertubi-tubi sudah cobaannya dalam hidup ini. Apa yang dia tanam di masa lalu sekarang siap dipertanggungjawabkan.

"Jev, lu dengar gue kan? Panggilannya dua hari lagi. Lu besok bisa pesan tiket dari Singapura ke Jakarta, terus lusa lu bisa pergi ke kantor polisi yang perkarain kasus lu. Di sini heboh amat video skandal lu Jev karena lu terlalu tampan dan perkasa menurut para cewek-cewek kegatelan, yang ngehujat lu sebenarnya nggak sebanyak itu, yang iri sama tubuh lu aja yang heboh buat menjarain lu. Orang-orang tau sih lu itu pemilik travel, dan para penggemar lu malah beramai-ramai mau naik travel lu. Gue juga nggak paham gimana mental cewek-cewek jaman sekarang, mungkin mereka udah paham kalau laki-laki setampan lu jadi rebutan para wanita. Mereka maklum karena lu lagi apes aja. Gue kliyengan ngurusin travel lu, tapi untung ada Yudi yang bantuin beserta karyawan lu. Nanti gue pastikan lu aman kok waktu menuhi panggilan kepolisian! Aman Jev!" papar Azam panjang lebar.

Jevi dalam kondisi bimbang, tapi secercah senyum terbit di mukanya yang muram. Bagaimana bisa seorang yang melanggar norma asusila malah dibela, kurang masuk diakal, tapi begitulah kadang wanita, semuanya bisa termaafkan kalau pemeran pria sesuai dengan tampang yang mereka idamkan. Mungkin video itu mereka anggap sebagai sarana hiburan, dan bukan perusak moral bangsa. Emang ya, tampan itu adalah segalanya, sampai lupa apa itu norma.

"Huft, iya Gue datang. Gue pasti datang." ucap Jevi yakin.

"Lu jangan bunuh diri ya, Jev. Ingat, kami tetap bagian keluarga lu meski awalnya kita saling berjauhan, tapi kami tau bagaimana baiknya Pak Nugraha ke orang tua kami. Dia yang bantuin kesulitan ekonomi kami selama ini. Gue hutang budi ke keluarga lu, Jev! Tanpa dia yang bantuin bokap gue ngasih modal lagi setelah usahanya gulung tikar, gue mustahil bisa kuliah ke luar negeri!"

Air mata Jevi menitik, dari rasa awalnya tak merasa memiliki sepupu karena jauhnya jarak yang memisahkan dan kesibukan, sekarang Jevi merasa Tuhan mengambil banyak hal di hidupnya tapi memperlihatkan kasih sayang yang sesungguhnya. Itu hikmahnya, meski di sisi lain hukuman ini tetap berjalan, tapi Jevi tetap yakin Tuhan memberikannya kasih sayang tiada tandingan.

"Zam, makasih ya, buat ada untuk gue!"

Jevi terdengar terisak, Tresna menghampiri anaknya itu dan mengusap bahunya pelan, sedangkan Azam di telepon juga tak kalah mengharu biru. Dia teringat bagaimana jasa-jasa Nugraha yang menyelamatkan perusahaan ayahnya itu.

"vader, schiet op en eet, het eten is klaargemaakt door moeder."

Terdengar suara si kecil Carolina yang memanggil ayahnya untuk mengajak makan. Azam segera mengusap air matanya yang meleleh di kedua belah pipinya.

"Zam, lu makan dulu ya, tuh anak lu udah nyuruh lu makan, makasih ya atas semuanya!"

"Ehem, iya Jev. Gue makan dulu ya. Lu jangan lupa makan di sana. Lu musti yakin semuanya akan baik-baik saja!" ucap Azam meyakinkan.

"Sip, Aman!"

Telepon itu tak lama terputus, aura Jevi berubah sedikit cerah. Mami Jevi mengepalkan tinjunya ke udara. Memberikan semangat untuk anak semata wayangnya.

"Semangat Nak, kalau malam sudah terlalu kelam, itu artinya matahari akan segera datang!"

Jevi segera memeluk Tresna dengan erat. Akhir-akhir ini Jevi benar-benar merasa beruntung memiliki seorang Ibu yang ada di masa-masanya yang gelap. Mereka berdua itu kini sama-sama melewati masa-masa terjerembab, hikmahnya, tanpa kematian Nugraha dan tanpa kasus mungkin seumur hidup Tresna dan Jevi tak akan pernah dekat. Namun sekarang lihatlah, air mata bercucuran, suara mereka sama-sama terisak, dan keduanya juga saling bertekat akan segera melepaskan jerat kesengsaraan dan akan segera berdiri lebih tegap.

***

Changi Airport Singapura.

Di antara hiruk pikuk di waiting room bandara yang cukup padat. Kini Jevi dan Maminya duduk bersebelahan dan mereka akan berangkat siang ini menuju Indonesia. Jantung Jevi sebenarnya deg-degan, meski sudah bertopi dan memakai masker agar tak ada yang mengenali keberadaannya, tetap saja Jevi selalu merasa diperhatikan. Entahlah apa sebabnya, mungkin sugestinya terhadap penghakiman dari manusia yang berlebihan, tapi di sisi lain dia juga merasa narsis dengan ketampanannya yang bahkan Azam pun mengakui. Meskipun setengah wajah Jevi tertutupi masker, tentunya saja sorot mata, wangi, postur badan, tak akan berdusta jika laki-laki itu memang enak untuk dipandangi lama-lama.

Tresna mengecek pesan-pesan yang ada di Wa-nya. Isinya tak lebih dari masalah teknis kepulangan mereka berdua dan bagaimana besok mereka bisa mendatangi kantor polisi agar tak diserang media. Tak lebih tak kurang.

"Aman kok Nak, keluarga besar kita semua sudah merencanakan agar semuanya rapi. Jalani saja, pengacara yang akan membelamu juga sudah ada, semuanya insyaallah dapat dikendalikan lagi."

Jevi mengangguk mengerti, ada sedikit lega di hati. Tiba-tiba matanya tertuju pada satu sosok laki-laki yang berkemeja rapi dengan menarik satu koper kecil di tangan kirinya. Iya, itu Demian, mungkin teman Jevi yang jago IT itu ada urusan perusahaan yang hendak dia selesaikan juga di Singapura.

"Dem, Woy!"

Jevi melambaikan tangannya dan sedikit berteriak. Dia naikkan tubuhnya sesegera mungkin, tak sabaran bertemu kawan dekat.

"Mi, Jevi ke Demian dulu ya, ada teman Jevi di sana!"

"Ya udah, hati-hati ya, sampaikan juga salam Mami ke dia."

Jevi mengangguk, lalu segera bergerak menuju Demian yang kini menatapnya ragu.

"Eh, ngapain lu, mau pulang ke Indonesia juga, Pakai Gar*da juga?" Jevi menepuk bahu Demian yang sekarang seperti orang linglung. Pandangan laki-laki itu berkeliaran seperti mencari seseorang.

"Dem, lu kenapa? Eh benar, ah, kita satu pesawat ternyata!"

Jevi memperhatikan boarding pass Demian yang terletak di tangan kiri laki-laki itu. Tapi Demian langsung menyembunyikannya ke belakang punggungnya.

"Dua? Lu jalan-jalan sama bini lu sekarang Dem? Tumben kalian akur!" tutur Jevi menerka-nerka.

"Jev, maaf gue musti ke belakang dulu. Kebelet boker gue. Gue udah dulu ya, ntar gue ke sini lagi! Bye Jev!"

Demian langsung terbirit-birit dan menggerek kopernya pergi seketika itu juga. Dahi Jevi berkerut-kerut, sudah dua kali dia temukan Demian dengan lagak aneh seperti itu. Sebenarnya apa yang terjadi pada laki-laki itu, jarang-jarang dia menghindari Jevi dan memilih pergi meninggalkan begitu saja tanpa sapaan yang biasanya dilakukan oleh orang yang bersahabatan dekat.

Pesona Pembantu Seksi (TAMAT)Where stories live. Discover now