SIALAN!

91 1 0
                                    

Hidup benar-benar tak semudah membalikkan telapak tangan bagi mereka sekarang. Sudah semingguan Gita tak dapat kerjaan, Cika putus sekolah, dan hanya Amri yang pergi membelah lautan untuk menyambung kehidupan mereka bertiga. Selalu ada ketakutan saat melepas anak bujang itu ke tengah samudera, takut jika dia hilang ditelan ombak seperti nasib ayah mereka, tapi Amri selalu meyakinkan Gita dan Cika akan pulang ke rumah dengan selamat serta membawa uang setelah ikan tangkapannya dijual di pelelangan di pagi harinya.

Memang tak seberapa penghasilan yang dia bawa jika berhasil melabuh, hanya beberapa lembar uang puluhan ribu karena penghasilannya harus dibagi dengan pemilik perahu dan juga biaya makan malam saat terombang ambing di lautan lepas, tapi syukurnya uang itu selalu cukup tanpa harus membongkar tabungan Gita selama bekerja di rumah Jevi. Lautan memang akhir-akhir ini memang tak banyak berulah, cuaca bersahabat, dan ombakpun bisa dibilang lebih tenang. Tak banyak guncangan di kapal, pergi dengan tenang, pulangpun dapat cukup hasil tangkapan meski Amri sebenarnya adalah seorang nelayan pemula yang bertahun-tahun menakuti lautan.

Amri tak banyak mengeluh memang, tapi yang paling kasihan adalah Cika yang kini sering terlihat murung karena kehilangan teman-temannya di asrama dan dia harus berhenti bersekolah di usia yang terlalu muda. Di rumah dia seperti anak kecil yang kehilangan jiwanya, sering memenung, dan hanya sesekali ke rumah teman lamanya untuk bermain bersama tentunya setelah mereka pulang sekolah juga.

Gita ingin dapat pekerjaan, agar adik-adiknya ini bisa menyambung sekolah lagi tentunya. Dia tak tega dengan Amri yang harus bertaruh nyawa tiap harinya atau Cika yang kehilangan masa anak-anaknya. Meski ijazah beserta berkas-berkas pendidikan fisik mereka masih terdapat di sekolah sebelumnya di kota, tetapi Gita akan mendaftarkan kembali mereka sekolah di sini bermodalkan beberapa soft file yang masih disimpan di flashdisk beserta emailnya itu.

"Ri, kamu janji balik sekolah setelah kakak dapat kerjaan ya. Kamu bisa nyari penghasilan tambahan yakni ngajar ngaji di taman pendidikan al-quran habis pulang sekolah. Kakak nggak mau kamu begadang terus buat nangkap ikan ikut perahu Pak De rahmat."

Amri mengangguk setelah mengantarkan seplastik ikan kembung ke dapur. Remaja tampan itu segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sedangkan Gita menyiapkan makan pagi untuk mereka bertiga.

"Kak, Cika mau nonton kartun ke rumah Rani ya Kak? Mumpung Rani libur sekolah!"

"Makan dulu Cik, kakak masak dulu. Ntar habis sarapan, baru kamu ntar nonton ke sana ya?"

Cika terdiam, anak kecil itu sebenarnya ingin mengutarakan apa yang terpikirkan olehnya.

"Kak, Cika ingin sekolah. Udah boleh belum? Cika bosan di rumah terus."

"Ya udah besok ya, besok kakak anterin Cika ke sekolah lama."

Cika agak muram, meskipun dijanjikan hal yang baik.

"Cika kangen teman-teman di asrama. Kita nggak bakal ke kota lagi ya, kak? Cika ingin belajar bareng mereka. Di sana Cika nggak pernah ditertawai karena kita miskin, di sekolah lama Cika suka diledek karena selalu pakai seragam dan sepatu yang buruk. Dulu Om Jevi selalu tau kebutuhan kita ya Kak?"

Amri yang berada tepat di ruangan sebelah dapur ini, langsung memukul pintu seng agar mereka berdua tak membicarakan masalah tersebut. Gita lalu berbisik pada Cika agar memelankan suaranya.

"SSssttt, Cika jangan nyebut-nyebut kota keras-keras dekat Kak Amri, ntar Kak Amri marah!"

"Padahal Om Jevi baik loh Kak, Tante Dahlia aja yang jahat dan selalu bilang Kakak menjadi penghancur hubungannya dengan Om Jevi. Cika yakin, kakak nggak seburuk itu!" ucap Cika pelan.

Sebenarnya Dahlia tak sepenuhnya salah, karena Gitalah yang senantiasa membuat pencitraan seperti itu agar calon istri Jevi itu marah. Ini sebenarnya efek domino dari semua drama yang sudah dibuat olehnya dengan tujuan awalnya untuk menghancurkan hubungan Jevi dan calon istrinya. Tapi semuanya runyam karena Amri seratus persen percaya jika kakaknya itu adalah benar-benar orang ketiga di antara mereka berdua.

"Kapan-kapan ya Cik, Kakak juga nggak tau apa yang akan terjadi ke depan. Tapi kita berdoa saja, semoga kita dapat bertahan meskipun kesusahan. Doain kakak dapat kerjaan supaya Kak Amri nggak melaut lagi dan bisa bersekolah sama kayak Cika!"

"Kak Amri nekat banget padahal dia juga takut laut!"

Gita bernostalgia, Amri selalu punya traumatis terhadap apapun hal buruk yang terjadi di hidupnya. Saat ayahnya hilang di sana, maka saat itu dia sangat takut bersentuhan dengan air laut, dia hanya berani sampai bibir pantai dan itupun selalu menjauhi ombaknya. Begitu juga saat Ibunya meninggal di salah satu kamar di rumah ini, dia juga takut untuk tidur di kamar tersebut. Tapi saat ini, dia mengalahkan semua ketakutannya terhadap laut demi menjadi tulang punggung keluarga.

Cika membantu Gita memasak sambil bercanda dan tak lama Amri keluar dari kamar mandi dengan muka masam. Dia tak menyapa kedua orang di dapur itu, dan langsung membaringkan dirinya di ruang utama untuk tidur. Dia masih luka dengan semua yang terjadi di kota. Betapa kecewanya dia pada kakaknya tersebut.

"Ri, bangun, makan dulu Yuk!"

"Makan aja kak, aku udah makan tadi di tempat pelelangan ikan. Aku mau istirahat dulu!"

Gita mengiyakan, Amri tak bisa dipaksa dengan apapun jika tak mau melihat laki-laki tampan itu marah dengan mata dan muka yang memerah. Dia memang masih menyimpan bara di hatinya itu, yang siap menyemburkan api kapan saja saat dia merasa terganggu dengan semuanya.

Gita menyuapi Cika agar anak kecil itu bisa makan lebih lahap. Akhir-akhir ini Cika harus belajar lagi makan nasi dengan lauk tanpa bumbu lainnya kecuali garam; layaknya makanan rutinnya seperti yang dulu-dulu.

***

Jevi memasukkan satu sim card yang baru dibelinya itu dengan tergesa-gesa, lalu dia mencari satu nama di kontak HP dan menyentuh bagian 'panggil' pada kontak tersebut secepatnya.

Masuk, setelah 4 nomor lainnya diblok, dia berharap nomor ini tidak bernasib sama dengan sebelumnya. Dia ingin Amri dapat berkomunikasi dengannya lebih panjang mengenai keadaan mereka bertiga dimanapun mereka berada.

"Halo, maaf ini siapa?"

"Ri, lu gimana kabarnya? Baik?"

Tut tut tut

Sialan, lagi, lagi, dan lagi, lagi. Jevi harus gigit jari karena sebentar lagi Amri akan memblok nomornya kembali. Apakah ini artinya Jevi harus membeli nomor baru satu konter agar bisa membujuk adik Gita yang keras kepala itu sampai dia melunak? Andai saja Jevi tak sesibuk ini mengurusi pembukaan cabang travelnya di daerah Cirebon, Jevi mungkin bisa menemui Gita dan keluarganya di kampung.

Jevi geregetan dengan dirinya sendiri, lagian Indonesia seluas apa sehingga tak bisa dia datangi dengan moda transportasi yang tersedia dan bermodalkan uang yang dia punya. Kenapa dia selambat ini untuk membuat keadaan seperti sedia kala dengan menjemput tiga orang itu di desa, dan mengembalikan lagi mereka ke kota?

Rindu ini menyesakkan dada, waktu terasa lambat berjalan, padahal baru sepuluh hari dia kehilangan.


Pesona Pembantu Seksi (TAMAT)Where stories live. Discover now